Selasa, 10 Juni 2008

Kasus Korupsi KUT yang Mandek Di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR DIMINTAI KETERANGAN KEJAKSAAN AGUNG

Benarkah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur serius memberantas korupsi?


Pada 8 Juni 2008 Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya menerima surat tembusan dari Kejaksaan Agung c.q. Jaksa Agung Muda Pengawasan, MS Rahardjo dengan surat tertanggal 19 Mei 2008 No.: R-660/H/Hp t.2/05/2008. Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sebagai respon atas surat Ketua Komisi Ombudsman Nasional No.: 0035/KLA/0024.2008/SH-09/III/2008 tertanggal 19 Maret 2008 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang ditembuskan diantaranya ke Kejaksaan Agung dan LHKI Surabaya tentang lambatnya penanganan kasus korupsi KUT tersebut.


Memang, lebih 3 (tiga) tahun lalu, tepatnya 14 Pebruari 2005, kami Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya melaporkan dugaan korupsi dana kredit usaha tani (KUT) yang dilakukan para pengurus LSM Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Jawa Timur. Setelah melalui penyelidikan, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menemukan kerugian negara sekitar Rp. 30 Miliar.

Tanggal 13 April 2007 kami pernah berkirim surat ke Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Jaksa Agung tentang permohonan agar segera melimpahkan kasus korupsi KUT tersebut ke pengadilan, tetapi tidak ada tanggapan


Penanganan kasus tersebut lambat. Bahkan untuk bisa mengarah sampai ke tingkat penyidikan kami harus melakukan aksi demo di depan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.


Setelah sampai pada tahap penyidikan, para jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Timur meminta bantuan kepada saksi kunci dari LSM PPM Jawa Timur bernama Tri Kardiono untuk mengantarkan surat-surat panggilan ke Banyuwangi, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Surabaya dan lain-lain. Bahkan para jaksa pernah mendatangi rumah-rumah para tersangka bersama saksi Tri Kardiono, tetapi anehnya setelah itu penanganannya berhenti.


Pada Maret 2008 kami mendatangani Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menanyakan kelanjutan penanganan perkara tersebut, tetapi jawaban dari para jaksa yang menangani perkara itu mengecewakan. Kata mereka: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tak mempunyai cukup tenaga menangani kasus tersebut sehingga kami disarankan melaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Tentu saja itu saran yang cukup bodoh secara hukum. Bagaimana penyelidikan kasus korupsi di Kejaksaan yang sudah sampai pada tahap penyidikan akan dihentikan dengan alasan TIDAK CUKUP TENAGA lalu meminta agar dilaporkan ke Kepolisian?


Selanjutnya kami berkirim surat kepada Komisi Ombudsman Nasional (KON) tanggal 6 Maret 2008, mengadukan berlarutnya penanganan kasus korupsi KUT tersebut. Lalu KON merespon surat kami dan berkirim surat ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tersebut.


Kasus korupsi KUT ini masih menyisakan banyak penggelapan uang negara oleh para pemain LSM yang tak lain juga para pemain politik (sebab uang KUT juga digunakan membiayai kegiatan parpol dan pelaku politik di daerah-daerah). Dalam catatan keuangan LSM PPM Jawa Timur juga ditemukan aliran dana kepada para penegak hukum Polda Jawa Timur (dengan istilah: “Kampus UBHARA”) dan para hakim. Bahkan Bank Jatim sebagai salah satu bank yang ditunjuk sebagai penyalur dan penerima pengembalian KUT menerangkan kepada kami bahwa sejak tahun 2000 tak ada lagi setoran pembayaran uang KUT padahal setelah tahun 2000 masih ada ‘para siluman’ yang menarik angsuran KUT dari para petani yang rata-rata hanya menerima KUT paling besar Rp. 2 juta per orang. Sedangkan yang dimakan para koruptor penyalur dari LSM dan koperasi adalah puluhan miliar rupiah.


Di Jakarta ada korupsi BLBI ratusan triliun yang cara penyelesaiannya juga dengan cara-cara politik. Di daerah-daerah ada korupsi KUT yang membohongi para petani, yang juga digunakan untuk kegiatan politik. Lalu cara menyelesaikan kasus-kasus korupsi itu juga dengan cara korupsi, seperti contoh besarnya ada pada kasus jaksa Urip yang menerima suap miliaran rupiah dalam kasus BLBI itu.


Jika Kejaksaan hendak mengubah citra buruknya, tak ada cara lain selain REVOLUSI: membersihkan virus-virus korup dalam tubuhnya sendiri. Jika korporasi, baik perusahaan negara atau swasta, dapat melakukan rasionalisasi, memangkas sumber daya manusia yang tidak produktif dan menjadi parasit, maka lembaga negara penegakan hukum harus melakukan hal yang sama. Ganti orang-orang lama dengan orang-orang baru yang diseleksi oleh konsorsium rakyat yang peduli terhadap pembersihan negara. Ciptakan mekanisme hukumnya! Jika mau, itu soal gampang. Jika ada orang baru yang mulai macam-macam, langsung dipecat. Caranya: ikat orang-orang baru itu dengan ‘perjanjian antikorupsi.’ Jadi, pemecatan itu konsekuensi perjanjian, bukan tindakan otoriter.


Pengusutan kasus korupsi KUT hanyalah bagian dari sarana untuk membersihkan negara. Di luar itu masih berjibun kasus korupsi lainnya. Tapi yang jelas: Tak akan berhasil memberantas korupsi dengan cara korupsi.


LHKI Surabaya, 10 Juni 2008

Tidak ada komentar: