Sabtu, 15 Maret 2008

Petani Margorukun Tetap Disiksa

Rupanya PTPN XII dan Polres Banyuwangi belum puas dalam menyiksa 24 petani Margorukun Lestari (Marules) Kebonrejo Kalibaru Banyuwangi Jawa Timur beserta keluarganya. Kekerasan terus berlanjut hingga bulan Maret 2008 ini. Komnas HAM harus turun untuk melakukan investigasi.

Kasus tersebut merupakan sengketa agraria antara PTPN XII dengan para petani. Berdasarkan hasil wawancara LHKI Surabaya dengan para petani Marules, ternyata pada mulanya beberapa di antara mereka yang sudah tua adalah mantan buruh perkebunan yang turun-menurun sejak jaman Belanda yang sudah tinggal di lahan yang menurut mereka mulanya tidak termasuk lahan PTPN XII. Mereka tidak tahu jika tiba-tiba lahan yang telah menjadi pemukiman penduduk tersebut telah di-HGU-kan (HGU = Hak Guna Usaha) oleh PTPN. Berarti proses pengukuran lahan pada waktu dilakukan pengumpulan data fisiknya dengan cara menganggap angin para penduduk tani yang ada di situ.

Memang di antara para petani itu ada yang 'orang baru' membeli dari orang lama yang tinggal di situ. Mereka yang bukan asli warga Marules telah pergi ketakutan dengan adanya tindakan penyiksaan dan pembakaran rumah di pemukiman mereka yang dilakukan petugas keamanan PTPN XII dibantu Polres Banyuwangi. Bagi 'penduduk asli' di situ tetap bertahan meski hidup dalam suasana yang mencekam dan ketakutan.

Wah... ini jaman penjajahan atau jaman kemerdekaan, kok rakyat disiksa, diteror dan rumah-rumahnya dirusak?

Indonesia ini bernasionalisme busuk. Pemerintah begitu santun menawarkan kekayaan alamnya kepada asing, tetapi menyiksa rakyat miskin yang dianggapnya sampah. Bangsa ini tetap terjajah, dan benar kata Bung Karno: lebih mudah menghadapi penjajah asing dibanding penjajah dari bangsa sendiri.

Kapan rakyat merdeka? Harus berjuang dulu!

Analisis Hukum & HAM Kasus Sendi Mojokerto

LEGAL MEMO HAK ASASI MANUSIA (HAM)
DALAM SENGKETA TANAH
ANTARA WARGA DUSUN SENDI, DESA PACET, KECAMATAN PACET
KABUPATEN MOJOKERTO MELAWAN PERHUTANI

  1. Uraian Fakta


Dusun Sendi pada mulanya merupakan desa tersendiri, termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Alat bukti permulaan yang dimiliki warga Sendi adalah:

          1. keberadaan tanah ganjaran Desa Sendi yang kini dikelola Pemerintah Desa Pacet, Kecamatan Pacet, Mojokerto,

          2. kesaksian para orang tua,

          3. peta Desa Sendi tahun 1915 diubah tahun 1936.

          4. Daftar himpunan ketetapan dan pembayaran pajak hak atas tanah yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Mojokerto 1993 yang menyebutkan adanya 30 subyek Wajib Pajak untuk tanah Desa Sendi dengan kode wilayah 07, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.

Berdasarkan kesaksian tersebut tanah Desa Sendi adalah tanah hak milik adat milik mereka yang telah ditinggalkan sebagian penduduknya sejak tahun 1942 karena adanya perang antara Jepang dengan Belanda. Tahun 1948 semua penduduk Desa Sendi kocar-kacir meninggalkan Desa Sendi karena peperangan Agresi Belanda. Setelah perang usai, Kepala Desa Singo Setro kembali ke Desa Sendi untuk menjual tanahnya sedangkan tanah rakyatnya tidak dijual.

Tahun 1949 lahan rakyat Desa Sendi dikuasai Jawatan Kehutanan ditanami kayu Waru, Salaman, Abasia dan Sono oleh masyarakat. Tahun 1965 tanaman tersebut diganti Mahoni dan Kaliandra. Tahun 1965 Pemerintah Daerah Mojokerto menawarkan pertukaran lahan warga Desa Sendi dengan tanah di daerah Bandulan tetapi ditolak warga. Tahun 1999 tanaman pinus dilahan itu ditebang dan bekas tebangan ditanami warga dengan istilah dikontrak untuk ditanami tanaman umur pendek.

Pihak Perhutani mengakui lahan warga Desa Sendi tersebut adalah hak Perhutani dengan dasar alat bukti surat berupa Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932, terjadi pembebasan tanah oleh Pemerintah Belanda qq. Boschwezen / Kehutanan seluas 762,9 hektar (Ha). Khusus untuk Desa Sendi yang telah dibebaskan seluas 72,55 Ha. Dan yang lahan yang tidak dibebaskan seluas 50,0 Ha. (sebagaimana diterangkan dalam Nota Dinas Sekretaris Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto No. 973/2/416-011/2006, tanggal 26 Januari 2005 dan kronologi yang dibuat Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan, tanggal 26 Januari 2005).

Upaya penyelesaian melalui Pemkab Mojokerto tidak membuahkan kesepakatan sebab Sekretaris Daerah Pemkab Mojokerto dalam nota dinasnya tersebut malah menyarankan agar Bupati Mojokerto memberi saran untuk adanya pelibatan penegak hukum karena menganggap kegiatan warga Desa Sendi sebagai ‘perambahan hutan.’ Sebagai kelanjutannya pihak Perhutani melaporkan warga Dusun Sendi ke Kepolisian Resort (Polres) Mojokerto dengan tuduhan melakukan tindak pidana penyerobotan tanah (Laporan tanggal 02 Maret 2006 No. Pol.: SKTL / 83 / III / 2006 / Res Mjk) yang selanjutnya disidik sebagai tindak pidana perambahan hutan.

Dengan berbagai upaya kasus tersebut sambil berjalan penyidikan pidananya pihak Polres Mojokerto melakukan mediasi, mempertemukan warga Sendi dengan Perhutani. Selanjutnya pihak Perhutani melakukan ‘pengukuran ulang’ yang dilaksanakan Kodam V Brawijaya yang menentukan hasil pengikuran bahwa tanah Sendi yang tersisa hanya 1,09 (satu koma enam) Ha. Hal itu dikatakan oleh Kasatreskrim Polres Mojokerto dalam acara ‘sosialisasi hukum’ bersama-sama dengan Koramil Mojokerto (TNI AD) yang dilakukan di Dusun Pacet Selatan (Ngepre) tanggal 10 Desember 2007 dan mereka (Polres Mojokerto dibantu Koramil) memberikan peringatan agar warga Sendi segera mengosongkan lahan sengketa dengan membongkar rumah-rumah mereka dalam waktu 30 hari


  1. Masalah

- Bagaimanakah penyelesaian masalah tersebut yang telah dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari perspektif HAM?


  1. Pembahasan

Untuk menguraikan problematika HAM dalam sengketa tanah Sendi tersebut haruslah menganalisis lebih dulu persoalan legalitas hak sebab persoalan dalam kasus Sendi tersebut setidak-tidaknya memuat masalah:

    1. Sengketa hak atas tanah;

    2. Status hukum tanah sengketa;

    3. Cara-cara penyelesaian sengketa;

    4. Peran negara (pemerintah) dalam penyelesaian masalah.

Posisi hukum warga Sendi secara hukum mengandalkan alat-alat bukti materiil berupa data-data fisik di lapangan, kesaksian para orang tua, peta Desa Sendi, himpunan ketetapan pembayaran pajak. Tetapi selanjutnya setiap orang warga Sendi yang mengaku mempunyai hak atas tanah sengketa tersebut haruslah membuktikan kebenaran garis hukum tentang asal hak atas tanah tersebut, misalnya apakah dengan cara mewarisi dan dari pewaris atau garis keturunan siapa, atau membeli atau memperoleh hibah dari siapa. Jika tidak dapat membuktikan hal tersebut maka haknya atas atas tanah sengketa menjadi kabur. Hal itu jika ditinjau dari sudut pandang hukum formalistik.

Namun dalam sudut pandang HAM, persoalan kekaburan hak warga masyarakat atas tanah tidak dijadikan alasan untuk adanya tindakan represif. Perlu dipahami bahwa proses administrasi pendaftaran hak atas tanah justru mewajibkan pemerintah melakukan inisiatif untuk membantu masyarakat untuk memperoleh kepastian alat bukti hak atas tanah yang belum terdaftar. Pendaftaran hak atas tanah bertujuan termasuk untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Penyelenggara pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional / BPN (pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran hak atas tanah pertama kali juga dilakukan secara sistematik oleh pemerintah (pasal 13 PP No. 24 Tahun 1997) selain secara sporadik oleh pemilik hak. Jika seandainya tak ada alat bukti suratpun (misalnya letter C atau apapun) maka pendaftaran bisa dibuktikan dengan pengakuan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun secara berturut-turut termasuk oleh pendahulu pemilik tanah dengan syarat: penguasaannya dengan itikad baik diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan atau pun pihak lain (pasal 24 ayat 2 PP No. 24/1997). Artinya, pemerintah justru mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hak, berlaku aktif, bukan malah melakukan tindakan represif.

Sedangkan pihak Perhutani juga harus membuktikan alas haknya. Selama ini Perhutani membuktikan haknya atas tanah Sendi tersebut berdasarkan transaksi pembebasan hak atas tanah antara dengan Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932.

Atas dasar alat bukti dokumen tersebut ada beberapa hal yang harus diperjelas. Pertama, transaksi tukar-menukar antara Pemerintah Belanda qq. Boschwezen dengan warga Sendi haruslah jelas. Obyek tanah yang ditukar dengan obyek penggantinya harus dapat ditunjukkan. Dalam perspektif syarat sah perjanjian yang berlaku saat transaksi, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) pasal 1320 menentukan syarat sah, antara lain:

  1. Adanya kesepakatan para pihak;

  2. Kecakapan hukum para pihak;

  3. Adanya obyek perjanjian;

  4. Sebab halal.

Jika tanah yang ditukar oleh Boschwezen tersebut ada, tapi tanah penggantinya tidak ada, maka syarat obyektifnya tidak sempurna, sehingga batal demi hukum.

Begitu pula menurut Hukum Adat, dalam transaksi hak atas tanah berlaku asas cul duit, cul barang (lepas uang ditukar dengan lepas barang). Dalam transaksi tukar-menukar harus padha cul barang (sama-sama melepas barang). Jika tanah pengganti yang dimaksudkan Boschwezen ternyata tidak ada maka perjanjian tersebut batal demi hukum sebab tidak terlaksana secara sempurna.

Kedua, transaksi tukar-menukar antara warga Desa Sendi tersebut berlatar belakang misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan), sebab penduduk Sendi yang tidak menyetujui pelepasan hak atas tanahnya dipenjara (contoh kakek dari Sumadi, Kepala Dusun Ngepre). Memang secara hukum telah menjadi fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi) bahwa pembebasan tanah hak milik penduduk zaman kolonial Belanda selalu dengan cara paksa sehingga hukum tidak dapat menganggap sah tindakan-tindakan peralihan hak atas tanah dengan cara paksa yang tidak dilandasi oleh wewenang sah.

Selain itu, tanah Desa Sendi merupakan hak asal Hak Adat (hak milik Indonesia). Setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria maka berlaku ketentuan konversi hak atas tanah. Tanah Desa Sendi tersebut belum pernah dikonversi. Jika Perhutani mengakui tanah Desa Sendi sebagai haknya maka yang perlu diperjelas adalah: Jenis hak apakah yang dimiliki oleh Boschwezen dan apakah sudah dipastikan haknya atas tanah Desa Sendi tentang jenis hak atas tanah tersebut?

Sedangkan hak atas tanah dengan jenis hak milik adat dikonversi sebagai hak milik dengan wewenang untuk diturunkan turun-temurun (diwariskan) atau dialihkan oleh pemegang haknya. Dengan demikian sesungguhnya Perhutani juga bukan merupakan pemilik sah hak atas tanah Desa Sendi yang dengan demikian tidak mempunyai hak kelola yang sah pula.

Perhutani bukan hanya tunduk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi juga harus tunduk kepada Hukum Agraria sebab tanaman hutan tumbuh di atas tanah, bukan di atas langit (lihat pasal 1 angka 5). Kecuali terhadap hutan negara maka tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4). Hutan negara ditetapkan oleh pemerintah dan bisa dalam bentuk hutan adat (pasal 5 ayat 2 dan 3). Jika kawasan Desa Sendi belum pernah ditetapkan sebagai hutan negara maka Perhutani dibebani hak atas tanah. Jika Perhutani tidak mempunyai hak atas tanah di atas hutan yang belum ditetapkan sebagai hutan negara maka kegiatan Perhutani di kawasan Desa Sendi adalah ilegal atau tidak sah. Soal ini harus diperjelas lebih dulu. Tetapi karena Perhutani hanya menunjukkan alat bukti hak berupa Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932 maka kemungkinan besar Perhutani tidak mempunyai hak atas tanah formil. Sehingga kejelasan yang perlu dicari adalah: apakah kawasan Desa Sendi telah ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara?

Berdasarkan Hukum Administrasi yang ada, dalam perspektif implementasi otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan wewenang-wewenang khusus untuk tata laksana pengaturan pertanahan yang berkaitan dengan tata ruang, sebagaimana salah satu peraturan pelaksanaan berkaitan dengan penetapan batas kawasan hutan adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-H/2001 tanggal 12 Pebruari 2001 yang menentukan: bahwa penetapan batas kawasan hutan dilakukan oleh suatu Panitia Tata Batas areal yang dibentuk dan disahkan oleh Bupati/Walikota hal mana unsur-unsur Panitia tersebut juga harus melibatkan perangkat-perangkat pemerintah daerah serta tokoh masyarakat (Pasal 8) dan kreteria status areal hutan harus memperoleh pengakuan masyarakat, badan hukum, pemerintah di sepanjang trayek penetapan batas (Pasal 7 ayat (2) c.) Padahal, dalam hal ini penetapan kawasan areal hutan tersebut di wilayah Sendi dan sekitarnya belum ditetapkan berdasarkan prinsip otonomi daerah menurut Keputusan Menteri Kehutanan tersebut.

Dasar hukum lain yang perlu diperhatikan mengenai wewenang-wewenang otonomi daerah berkaitan dengan kawasan hutan di antaranya:

  1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

Pemerintah menyelenggarakan pengkuhan kawasan hutan melalui proses: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan, (pasal 14 dan 15).

  1. PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah :

Urusan penataan batas mencakup kegiatan proyeksi betas, pemancangan patok batas (sementara), inventarisasi hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas, pengukuran dan pemetaan, pemasangan pal betas (tanda batas tetap), dan pembuatan Berita Acara Tata Batas (pasal 3 ayat 2).

Namun untuk melaksanakan wewenang otonomi daerah di bidang kehutanan tersebut terlebih dahulu harus ada peraturan administratif yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, sebagaimana menurut pasal 15, 16 dan 17 PP No. 62 Tahun 1998.

    1. Berdasarkan pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999, masyarakat di dalam dan sekitar hutan mempunyai hak-hak: memanfaatkan hutan dan hasilnya, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan, memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik secara langsung maupun tidak langsung (ayat 2). Masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 3).

    2. Wewenang izin-izin usaha kehutanan yang berada di dalam wilayah provinsi lintas kabupaten diberikan oleh gubernur, sedangkan yang berada diwilayah kabupaten diberikan oleh Bupati (lihat pasal 37 – 42 PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Setelah era otonomi daerah, hal mengenai penetapan batas kawasan hutan serta perizinannya yang diatur berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih belum dilakukan, terutama termasuk di kawasan sekitar Desa Sendi, sehingga secara yurudis formal pun pihak Perhutani tidak dapat melakukan klaim sepihak atas hak kawasan hutan di Desa Sendi. Artinya, penataan kawasan hutan Indonesia memang masih belum selesai, sehingga Perhutani belum bisa memastikan diri sebagai pemilik hak yang sah atas hutan-hutan yang dikelolanya. Sayangnya banyak pemerintah daerah yang belum paham terhadap aturan-aturan dan wewenang mereka dalam tata guna usaha serta kelola hutan, termasuk penetapan, perencanaan dan pemberian izin-izin soal kehutanan.

Dalam hal ini Pemkab Mojokerto juga mempunyai otoritas menentukan berkaitan dengan penetapan wilayah administratifnya serta penetapan kawasan hutan. Masyarakat yang mempunyai hak adat atas tanah menurut sejarah hukumnya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Hal itu juga menjadi jaminan HAM menurut pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999. Mereka, warga Desa Sendi harus diperhatikan kepastian hak atas tanahnya. Dengan demikian kasus tersebut harus diselesaikan dengan berfungsinya wewenang-wewenang otoritas otonomi daerah.

Perhutani hanya merupakan Badan Hukum Milik Negara (BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, sedangkan otoritas pengaturan pertanahannya ada di Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional), wewenang tata ruangnya, penetapan kawasan hutannya serta perizinannya ada di Pemerintah Daerah.

Maka cara penyelesaian kriminalisasi dalam sengketa antara warga Desa Sendi dengan Perhutani merupakan cara yang tidak tepat sebelum dapat diperjelas tentang status hak atas tanah Desa Sendi yang belum terdaftar di BPN tersebut. Tetapi tanah Desa Sendi sudah jelas terdaftar di Desa Pacet sesuai dengan peta Desa Sendi yang ada sejak zaman Belanda (dibuat tahun 1915 dan diperbaharui 1936). Logika hukum obyektif yang perlu dikembangkan pula: Jika pemerintah menarik pajak kepada wajib pajak pemilik tanah Desa Sendi berdasarkan bukti yang dimiliki warga Desa Sendi tersebut menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap hak milik atas tanah Desa Sendi. Jika dianggap tidak maka pemerintah telah melakukan ‘pungutan liar’ dan harus dihukum.

Jika Perhutani terbukti melakukan pengelolaan ilegal tanah Desa Sendi – karena tidak mempunyai hak atas tanah dan bukti izin pengelolaan hutan maupun pemungutan hasil hutan di Desa Sendi - maka Kepolisian juga wajib mengusutnya, tanpa harus adanya laporan masyarakat, tetapi hal itu diketahui sendiri oleh Kepolisian dalam proses penanganan perkara tersebut.

Selain itu berdasarkan kesaksian masyarakat Desa Sendi dan Desa Pacet, ternyata Perhutani melakukan penebangan pohon-pohon yang ada di dekat-dekat jurang dan sumber mata air di kawasan Pacet Selatan dan Sendi, dilakukan sejak 1999 hingga tahun 2004. Hal itu merupakan pelanggaran pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999, sehingga para pengurusnya seharusnya dipidana dengan ancaman pidana penjara maksimum 10 tahun penjara dan denda maksimum Rp. 5 miliar sesuai pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 dan diganjar sanksi administratif sesuai pasal 80.


  1. Kesimpulan

Cara-cara penyelesaian sengketa agraria antara warga Desa Sendi dengan Perhutani tersebut menunjukkan adanya pelanggaran HAM, yaitu:

  1. Pemerintah pusat dan daerah melakukan pembiaran sengketa tersebut, mengabaikan hak warga Desa Sendi untuk memperoleh kepastian hak dan perlindungan hukum, hal mana itu merupakan pelanggaran HAM pasal 3 ayat (2) jis. pasal 71, 72 UU No. 39 Tahun 1999;

  2. Kepolisian Negara RI qq. Polda Jawa Timur qq. Polres Mojokerto mengambil langkah kriminalisasi terhadap warga Desa Sendi dengan keadaan kekurangpahaman terhadap aspek Hukum Agraria dan Hukum Kehutanan serta Hukum Administrasi Negara, hanya mengandalkan wewenang penyidikannya, dengan cara-cara mengintimidasi warga menggunakan wewenang penyidikannya sebelum paripurna soal kejelasan hak atas tanah Sendi yang disengketakan. Hal tersebut menimbulkan rasa takut, cemas dan tidak aman bagi warga Desa Sendi, hal mana itu merupakan pelanggaran HAM pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999.

  3. TNI AD qq. Kodam V Brawijaya qq. Koramil Mojokerto turut serta melakukan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polres Mojokerto tersebut;

  4. Perhutani merupakan pihak penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut.


Surabaya, 15 Maret 2008

LHKI Surabaya