Kamis, 31 Juli 2008

KEJAHATAN KEMANUSIAAN GAYA BARU

Perkembangan gaya pikir manusia membuahkan cara baru kejahatan kemanusiaan dalam bekerja. Modus ‘serangan’ terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak lagi didominasi oleh militer. Senjata fisik bukan lagi cara dominan. Kekuasaan sipil bisa lebih militeristik dibandingkan militer sendiri. Pun sistematisasi serangan terhadap HAM bisa dengan alat hukum tertulis yang dioperasikan oleh kekuasaan yang bersekongkol, terdiri atas empat unsur oligarki, yaitu: pemilik kapital, penguasa politik (pemerintah pusat atau daerah), kekuasaan ilmiah (ahli), dan kekuasaan keamanan dan atau pertahanan (militer atau polisi).

Oligarki tersebut juga menciptakan organisasi yang berlabel lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-government organization (NGO) sebagai alat untuk menghadapi LSM atau NGO oposisi oligarki. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan kekuasaan sosial informal yang seperti yang dimiliki lembaga atau para pemuka agama. Oligarki itu juga didukung oleh para advokat handal. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika oligarki itu merasuki pori-pori spirit penegakan hukum, membuat lembaga penegak hukum juga tunduk kepada mereka.


Modus baru


Andaikan gejala yang turut-temurut dalam kasus lumpur Lapindo dapat disimpulkan (dengan alat-alat bukti) sebagai ‘serangan sistematis’ untuk ‘memindahkan penduduk’ (selaku korban), yaitu dengan cara: tidak memasang selubung pelindung (casing) di kedalaman tertentu dalam pemboran sehingga terjadi semburan lumpur; memindahkan rig pemboran saat semburan lumpur untuk memperkecil kemudahan penanganan awal; pura-pura menanggulangi semburan lumpur dengan beberapa teknik yang tidak tuntas; menanggul kolam lumpur dengan cara berbeda, untuk sisi tertentu tanggul diperkuat, untuk sisi lain tidak diperkuat supaya ambrol sehingga penduduk akan menyingkir; memakai kekuasaan pemerintah untuk menelurkan Perpres No. 14/2007 agar penduduk ‘terpaksa’ menjual tanah mereka; mendesain akta jual-beli tanah dengan korban dengan klausul subyektif agar korban tidak menuntut; dan seterusnya.

Tidak seluruh perbuatan di atas harus merupakan unsur-unsur yang harus dirangkaikan. Misalnya, perbuatan sengaja memperlemah tanggul lumpur Lapindo di sisi tertentu sehingga akhirnya tanggul ambrol sehingga penduduk terusir, adalah merupakan ‘serangan sistematis’ yang bersifat ‘luas’. Tetapi akal sehat korban tidak terlalu berpedoman pada ‘cara’ pelaku menyingkirkan atau memindahkan mereka, namun yang substansial adalah akibatnya yang luas, menghancurkan nasib hidup mereka. Normal jika itu disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).

Merancang ‘pengusiran penduduk’ bisa dengan cara penetapan kawasan hutan yang dihuni kelompok penduduk asli atau adat di hutan menjadi hutan lindung, sehingga penduduk asli yang tidak mau pindah dipidanakan; lalu negara menerbitkan aturan untuk memberi izin korporasi untuk melakukan usaha pertambangan di hutan lindung itu. Itu juga merupakan modus baru kejahatan kemanusiaan.


Interpretasi progresif


Kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan oleh pasal 7 huruf b jo. pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ‘menjiplak’ Rome Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Tapi sayangnya UU No. 26 Tahun 2000 memangkas pasal 7 ayat (1) huruf k Statuta Roma yang menentukan:Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Tanpa tafsir progresif untuk kembali pada asal substansi UU No. 26 Tahun 2000 (yaitu: Statuta Roma) maka hukum HAM tak akan bisa menjangkau kejahatan kemanusiaan gaya baru yang dilakukan oligarki (korporasi selaku pelaku sentralnya) dengan modus baru tersebut, sebelum legislator mengubah undang-undang itu untuk merumuskan formulasi baru tentang kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Dengan contoh kasus di atas, saya coba hubungkan dengan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan berdasar pasal 9 huruf d UU No. 26 Tahun 2000 yang menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”

Unsur “serangan yang meluas” atau unsur “sistematik” serta unsur “terhadap penduduk sipil” (selaku korban) dalam ketentuan tersebut seharusnya tidak lagi ditafsir sempit sebagai perbuatan pelaku militer kepada korban sipil. Dalam dunia baru ini, kelompok penduduk anggota militer di suatu kawasan hunian pun bisa mungkin menjadi korban ‘pengusiran’ sistematis oleh korporasi yang membutuhkan tanah hunian mereka melalui cara bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan pengambil keputusan atau pembuat regulasi. Pun istilah “serangan” juga tak relevan lagi ditafsir secara tunggal sebagai perbuatan fisik. “Serangan” sistematis secara paksa bisa juga melalui keputusan pemerintahan yang tanpa atau didasarkan landasan regulasi yang tidak adil.

Maka, Komisi Nasional (Komnas) HAM seharusnya menjadi pioner dalam menafsir dengan cara baru, cara progresif atas suatu kasus yang dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, yang seharusnya akan menjadi bahan bagi legislator untuk meluruskan UU No. 26 Tahun 2000.

Guna penegakan HAM yang lebih obyektif – karena pelakunya juga bisa pejabat penting pemerintah – maka kekuasaan independen Komnas HAM mestinya tidak dibatasi sekedar penyelidik, tapi diperluas hingga dalam penyidikan dan penuntutan, seperti halnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain soal korupsi, kejahatan pelanggaran HAM berat juga merupakan extra ordinary crimes sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000. Maka, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 harus diperbaharui.

Oleh Subagyo, Ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya

Selasa, 29 Juli 2008

Bank Rakyat Indonesia ( BRI ) Kembali Digugat Alkatra


Bank Rakyat Indonesia (BRI) kembali digugat oleh mantan karyawannya yang tergabung dalam Alkatra. Gugatan yang bernomor 412/PDT.G/2008/PN.SBY berpoin pada:

  1. Tergugat BRI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum perdata.
  2. Tergugat BRI telah menyalahgunakan keadaan (misbruik van omstandigheden).
  3. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 38 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil'.
  4. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 3 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum'.
  5. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran atas UU no 13/ th 2003 ttg Ketenagakerjaan, pasal 64-66.
  6. Tergugat BRI telah melakukan perbudakan manusia atas hegemoni kapitalisme.
Selain memnggugat BRI kantor wilayah Jatim, para Penggugat juga menggugat Menteri Tenaga Kerja sebagai Tergugat II. Ini terkait persetujuan dari kebijakan atas mekanisme kerja didijalankan oleh usaha perbankan.


Kuasa Hukum
1. Subagyo (+62-81615461567)
2. Tasnim Ilmiardhi (+62-8523-0606-888)

Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional

Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Surabaya bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Dalam Statuta Roma tersebut mengamanatkan untuk dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC/International Criminal Court).
Ratifikasi ini dianggap sangat penting, selain sudah menjadi agenda RANHAM (Rancangan Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia) tahun 2004-2009, ini juga dimaksudkan untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas hukum nasional dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Selain itu juga menghapuskan berbagai praktek impunitas, mengatasi kelemahan sistem hukum nasional serta memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban.
Yang lebih patut dicermati adalah, bahwa meratifikasi Statuta Roma akan memberikan benefit berupa: Hak preferensi aktif dalam Mahkamah Pidana Internasional, Berkesempatan untuk menjadi bagian dari organ Mahkamah Pidana Internasional, Mempercepat proses reformasi hukum di Indonesia, efektivitas sistem hukum nasional, peningkatan upaya perlindungan HAM, dan pemantapan posisi diplomatik.
Memang ratifikasi ini memberikan konsekwensi terhadap hukum nasional. Diharapkan beberapa langkah penyesuaian akan dilakukan pasca ratifikasi Statuta Roma. Amandemen terhadap sejumlah undang-undang di Indonesia merupakan konsekwensi dari ratifikasi Statuta Roma, diantaranya: KUHP, KUHAP undang-undang HAM, dan undang-undang peradilan HAM.


TASNIM ILMIARDHI
085230606888

Senin, 07 Juli 2008

Pekerja PT. Phillips Menolak Sistem Outshourcing

PT. Phillips Indonesia di Berbek Industri I Kav 9 - 15 Sidoarjo kini menghadapi keberatan 10 pekerjanya yang akan di PHK.

Pada mulanya PT. Philips (Pengusaha) hendak melakukan efesiensi dengan cara mempekerjakan para pekerja outsourcing pada bidang pekerjaan rangkaian produksi - di pekerjaan pengepakan lampu, administrasi, mekanik, elektrik dan tenaga penyedia bahan produksi (supply chain) - dengan cara mengurangi para pekerja tetap. Hal itu disampaikan pihak manajemen Pengusaha pada tanggal 2 Oktober 2007 kepada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) selaku organisasi para pekerja. Untuk itu, Pengusaha menawarkan program pensiun dini (pengunduran diri dengan kompensasi) kepada para pekerja yang bersedia, sebagaimana hal itu disampaikan oleh Pengusaha kepada kepada SPSI pada 9 Januari 2008. Dengan berbagai cara - termasuk upaya-upaya ancaman PHK - maka ada banyak pekerja yang menerima program pensiun dini tersebut. Sejak Oktober 2007 sampai dengan 6 Maret 2008 Pengusaha telah mengeksekusi 70 (tujuh puluh) orang pekerjanya yang mengundurkan diri karena hanya diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu: Pilih mengundurkan diri dengan kompensasi atau di PHK hanya menerima pesangon.

(Saat ini pada perusahaan Pengusaha di Berbek Industri I Sidoarjo terdapat sekitar 1.000 orang pekerja outsourcing).

Selanjutnya, terhadap para pekerja yang tidak bersedia menerima tawaran pensiun dini direncanakan akan ditempuh pembinaan berupa pelatihan kerja dan tes tertulis. Tetapi bersamaa dengan rencana tersebut Pengusaha memberikan Surat Peringatan Terakhir (SP III) kepada 24 (duapuluh empat) orang pekerja, termasuk diri para Pekerja yang dianggap nonperformance, menggunakan dasar pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000.

Dalam rangka penyelesaian secara bipartit maka telah diadakan perundingan antara para Pekerja yang didampingi dan diwakili oleh organisasi tempat bernaung para Pekerja yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) qq. SPSI Perwakilan Unit Kerja (PUK) PT. Philips Indonesia, yaitu:

Perundingan I pada tanggal 17 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan;

Perundingan II pada tanggal 29 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan.


Kemudian Pengusaha menggunakan dalih upaya pembinaan dengan melakukan ujian materi serta seolah-olah pelatihan kerja (training).

Pengusaha menetapkan standar sebagai syarat kelulusan dalam evaluasi hasil pembinaan kepada para Pekerja dengan nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Jika hasilnya kurang dari 100 maka dianggap tidak lulus.

Dari seluruh pekerja yang direncanakan di-PHK berjumlah 24 (duapuluh empat) orang hanya ada 2 (dua) orang yang diluluskan dalam evaluasi. Para Pekerja juga dinyatakan tidak lulus.

Selanjutnya diantara 24 (duapuluh empat) orang pekerja yang diminta mengundurkan diri oleh Pengusaha, hanya tinggal 10 (sepuluh) orang para Pekerja ini yang bertahan.

Bersamaan dengan surat pemberitahuan ketidaklulusan hasil program pembinaan tersebut, pada hari yang sama Pengusaha juga memberikan surat skorsing kepada para Pekerja yang menuju pada PHK pada Juni 2008. Tampaknya hal itu sudah dipersiapkan matang.

Selanjutnya para Pekerja melalui perwakilannya pada SPSI PUK PT. Philips Indonesia membawa perkara ini untuk penyelesaian tripartit ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo.

Sidang mediasi I digelar di Disnaker Sidoarjo tanggal 25 Juni 2008.