Kamis, 21 Agustus 2008

Mahkamah Pemupus Harapan Seorang Buruh

Seorang guru SMA bekerja di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) Surabaya telah diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh YPPI selaku majikannya yang dipimpin oleh Kresnayana Yahya, pakar statistik itu, tapi juga oleh lembaga pengadilan yang menjalankan proses peradilan yang tidak tunduk pada hukum itu sendiri.

Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .

Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.

Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.

Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.

Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.

Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).

YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.

Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.

Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.

Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.

Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.

YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?

Jumat, 08 Agustus 2008

Pekerja Gugat Manajemen PT. Phillips Indonesia Jawa Timur

Di bawah ini kutipan analisis gugatan 10 pekerja PT. Phillips Indonesia yang didaftarkan tanggal 08 Agustus 2008, mendapatkan register perkara No. 154/G/2008/PHI-Sby.

Gugatan ini melebar ke arah tuntutan ganti kerugian imateriil dan memperluas tergugat bukan hanya perusahaan tapi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo. Perluasan itu sebagai bentuk eksperimen hukum mengingat selama ini belum ada saluran hukum untuk gugatan kerugian lain di luar uang pesangon yang ditentukan Hukum Ketenagakerjaan. Jika kelak Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ganti kerugian di luar pesangon dan lain-lain yang ditentukan UU No. 13 Tahun 2003 maka putusan itu dapat menjadi dasar gugatan ganti kerugian selain pesangon di Pengadilan Negeri.

Terima kasih.

ANALISIS HUKUM POKOK PERKARA
    1. Bahwa upaya Tergugat I untuk menggantikan kedudukan kerja para Penggugat di perusahaannya dengan pekerja outsourcing tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebab dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Tergugat I telah berlaku curang dan tidak adil, apalagi ada kewajiban hukum bagi Tergugat I untuk tidak mempekerjakan pekerja outsourcing pada kegiatan utama perusahannya (vide Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003).

    1. Bahwa akal-akalan evaluasi kerja yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat akan tampak ‘kepalsuannya’ jika dilihat dari faktor-faktor:

      1. Para Penggugat terbukti bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun dengan peningkatan prestasi kerja sehingga tidak masuk akal jika dikatakan tidak cakap bekerja;

      1. Dalam perundingan-perundingan antara pengurus SPSI PUK perusahaan Tergugat I dengan Tergugat I tampak adanya pembicaraan penggantian pekerja tetap dengan pekerja outsourcing, dengan adanya tawaran ‘pensiun diri’ kepada para pekerja.

      1. Terdapat alat bukti kecurangan atau kesalahan dalam melakukan penilaian evaluasi sehingga itu bisa menjadi petunjuk adanya manipulasi tersebut.

    1. Bahwa selain itu Tergugat I telah melanggar pasal 40 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menentukan bahwa Surat Peringatan Terakhir (SP III) haruslah melalui tahap-tahap SP I dan SP II.

    1. Bahwa Tergugat I juga melanggar pasal 126 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

    1. Bahwa Tergugat I melanggar pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 juga menentukan tahap-tahap surat peringatan pertama, kedua dan ketiga.

    1. Bahwa dengan demikian SP III yang dikeluarkan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut adalah tidak sah sebab bertentangan dengan PKB dan UU No. 13 Tahun 2003.

    1. Bahwa Tergugat I dan II telah keliru menggunakan dasar hukum, yaitu pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000 yang bertentangan dengan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori derogat lex inferiori, di mana kedudukan UU No. 13 Tahun 2003 lebih tinggi dibandingkan Kepmenaker No. Kep.150/Men/2000.

    1. Bahwa hukum harus menyarakan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sudah tidak berlaku lagi sebab peraturan tersebut sudah tak mungkin lagi dapat digunakan mengingat lembaga-lembaga penyelesaian hubungan industrial Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4P yang diatur di dalamnya sudah tak ada, diganti dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

    1. Bahwa pasal 125 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1957 masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2004. Sedangkan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1957 bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 sebab mengandung hukum acara perselisihan hubungan industrial yang berbeda dengan UU No. 2 Tahun 2004.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I dan II yang memaksakan penggunaan dasar pasal 7 ayat (1) Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 tersebut merupakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaannya yang lebih dominan).

    1. Bahwa untuk menentukan performance para Penggugat dalam bekerja tidak mudah dilakukan secara invidual mengingat unit kerja masing-masing para Penggugat dijalankan oleh masing-masing Tim atau kelompok pekerja. Seandainya suatu saat ada kegagalan kerja sebuah tim kerja yang ditempati masing-masing Pekerja maka tidak mudah untuk dikatakan sebagai kesalahan personal. Maka, alat bukti Pengusaha untuk membuktikan tuduhannya tidaklah cukup hanya dengan hasil ujian di atas kertas subyektivitas dengan penilaian personal.

    1. Bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memberikan batas ukuran ketidakmampuan bekerja diformulasikan dengan ‘masa percobaan’ selama 3 (tiga) bulan bagi para pekerja tetap (pasal 60). Padahal para Penggugat sudah bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun.

    1. Bahwa seandainya hasil evaluasi terhadap para Penggugat tidak curang – padahal curang – maka Tergugat I pun tidak adil dan subyektif dalam menentukan standar kelulusan evaluasi kerja sebab menetapkan standar nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Tergugat I memutuskan tidak lulus jika hasil ujian para Penggugat kurang dari angka 100. Padahal dalam standar internasional pencapaian angka 70 (dalam rentang skor 0 – 100) adalah dianggap lulus. Charles R. Thomas, Mechanical Engineering Technology Purdue University dalam Rational Standard and Ability Adjusted Standard Transformed Score Models memberikan abstrak standar model skor yang rasional sebagai berikut:

A rational approach to standard transformed scores which always results in the numerical to letter grade correspondence A (90 & above), B (80-89.99), C (70-79.99), D (60-69.99), and F (59.99 & below) for any chosen hypothetical grade distribution model is developed.”

(Sumber: http://epm.sagepub.com/cgi/content/abstract/45/4/803)

Dalam standar nasional (Indonesia), angka 60 (dalam rentang skor 0 – 100) dianggap lulus. Dengan kondisi sosial saat ini, bahkan dalam Ujian Nasional skor kelulusan anak-anak sekolah minimalnya hanya 5,5 (atau 50,50 dalam skor rentang 0 – 100). Pun dalam kondisi sosial ketenagakerjaan nasional Indonesia saat ini, penetapan skor kelulusan harus (mutlak) 100 merupakan cara yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Dengan demikian Tergugat I telah melanggar hak asasi manusia (HAM) terkait hak memperoleh pekerjaan dan hak mendapatkan syarat-syarat yang adil dalam ketenagakerjaan. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan: “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

    1. Bahwa tindakan Tergugat I yang selalu melanggar hukum tersebut terkait dengan kebiasaannya yang memang cenderung melanggar hukum, diantaranya:


        1. Tergugat I biasa menerapkan pola hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ketika pekerja baru mulai bekerja pada perusahaannya. Hal itu melanggar pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No. Kep100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT.


        1. Tergugat I biasa menggunakan tenaga kerja outsourcing pada bidang-bidang pekerjaan proses produksi sebagai bagian melekat kegiatan utama perusahaan Tergugat I yang dikerjakan di dalam perusahaannya (tidak terpisah). Hal itu melanggar ketentuan pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003.


Kedua bentuk kebiasaan pelanggaran tersebut berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada teguran atau tindakan administratif dari lembaga pemerintah yang berwenang. Sehingga timbullah kebiasaan berlaku sewenang-wenang.


    1. Bahwa perbuatan Tergugat II yang berkonspirasi dengan Tergugat I tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan para Penggugat.


    1. Bahwa karena SP III Tergugat I kepada para Penggugat secara langsung tanpa melalui SP I dan SP II yang dilandasi oleh perbuatan curang atau tidak adil serta melanggar PKB dan melanggar UU No. 13 Tahun 2003 maka harus dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I yang memPHK para Penggugat tanpa ijin tersebut juga melanggar hukum dan merugikan para Penggugat maka harus dinyatakan batal demi hukum.

    1. Bahwa kerugian para Penggugat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I dan II adalah bentuk kerugian imateriil, yaitu:


      • Kerugian moril dalam keluarga dan tetangga dari perasaan menderita akibat menyimpan rasa malu. Para Penggugat harus menyembunyikannya dengan tetap ‘pura-pura’ berangkat bekerja.


      • Kerugian sosial di lingkungan kerja yang lebih luas di perusahaan Tergugat I sebab tidak semua pekerja di sana mengetahui sebab-sebab perkara ini sehingga para Penggugat seolah-olah adalah orang-orang yang bersalah dan tidak berkualitas.


Kerugian imateriil tersebut jumlahnya tak terhingga tetapi cukup masuk akal dan adil jika dinilai masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk masing-masing Penggugat.


    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I dan II secara tanggung-renteng harus dihukum membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara tunai, seketika dan sekaligus, bagi tanggungan Tergugat I dengan jaminan harta kekayaannya.

    1. Bahwa agar gugatan ini tidak sia-sia apabila dikhawatirkan Tergugat I tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini maka mohon agar pengadilan ini meletakkan sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I berupa barang-barang bergerak, dan jika tak ditemukan atau tak mencukupi atau tak memungkinkan secara hukum maka sita jaminan mohon diletakkan pada tanah dan bangunan hak Tergugat I yang terletak di Jl. Berbek Industri I Kav. 5 -19 Sidoarjo dan di tempat lain yang ditemukan, serta agar dinyatakn sah dan berharga sita jaminan tersebut.

    1. Bahwa jika Tergugat II tidak tunduk pada putusan perkara ini untuk membayar ganti kerugian bagian tanggungannya maka dapat melalui mekanisme hukum pemerintahan yang ada.

    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I harus dihukum untuk memperbaiki hubungan industrial dengan para Penggugat dan mengembalikan masing-masing para Penggugat untuk bekerja pada jabatan masing-masing, serta diperlakukan adil dan sama dengan pekerja lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta standar umum ketenagakerjaan nasional Indonesia.

    1. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut berkaitan dengan penggunaan pekerja outsourcing maupun pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu di perusahaan Tergugat I, sehingga untuk mencegah akibat buruk lanjutannya maka mohon agar pengadilan ini menghukum Tergugat I menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa untuk menghindari problem ketenagakerjaan yang lebih luas yang juga berakibat buruk bagi diri para Penggugat maka mohon agar pengadilan ini memerintahkan Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tak tertentu (pekerja tetap) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa berkaitan dengan pelanggaran hukum Tergugat I yang mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT maka mohon pula pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat II untuk melarang Tergugat I menggunakan pekerja outsourcing dan PKWT memberikan hukuman administratif kepada Tergugat I.

    1. Bahwa berkenaan dengan gugatan agar Tergugat I dan II melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dijelaskan di depan kecuali gugatan pembayaran uang maka apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini yang telah telah bersifat dapat dilaksanakan maka mohon agar Tergugat I dan II dihukum membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini sampai dengan Tergugat I dan II tunduk melaksanakannya.

    1. Bahwa apabila Tergugat I dan II dikalahkan dalam perkara ini mohon untuk dihukum membayar biaya perkara ini.

    1. Bahwa oleh karena Tergugat I menggunakan dasar Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 maka dikhawatirkan akan melanggar ketentuan pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 maka mohon dalam putusan sela pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


  1. PETITUM GUGATAN

Berdasarkan uraian tersebut para Penggugat memohon agar pengadilan ini memutuskan:

DALAM PUTUSAN SELA:

Memerintahkan Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


DALAM POKOK PERKARA:

  1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;

  1. Menyatakan bahwa Surat Peringatan III yang dikeluarkan untuk para Penggugat dalam perkara ini batal demi hukum;

  1. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat I dan disarankan Tergugat II kepada para Penggugat batal demi hukum;

  1. Menyatakan Tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan para Penggugat;

  1. Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung-renteng membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara seketika, tunai dan sekaligus;

  1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I tersebut;

  1. Menghukum Tergugat I untuk memperbaiki hubungan industrialnya dengan para Penggugat dan mengembalikan kedudukan atau jabatan kerjanya seperti sediakala sebelum diberikan skorsing dan memperlakukan para Penggugat dengan syarat-syarat dan standar pengelolaan ketenagakerjaan nasional yang adil terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja tetap terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini;

  1. Menghukum Tergugat II untuk segera melarang Tergugat I mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT serta memberikan sanksi adminsitratif kepada Tergugat I.

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di pengadilan ini apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini;

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar biaya perkara ini.


Subsider: Mohon diputuskan seadil-adilnya.