Jumat, 23 Januari 2009

Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah

Latar belakang

Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.

Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.

Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.

Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.

Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.

Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.


BENTUK ADVOKASI

Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:

1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;

2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;

3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;

4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.

Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.

Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:

1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.

2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).

3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.

4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.

Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.

Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.

Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.

Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.

Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.

Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.

Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.

Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.

Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.


PRINSIP ADVOKASI

Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.

Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.

Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).

Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.

Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.

Surabaya, 22 Januari 2009.