Jumat, 06 Agustus 2010

Reformasi Hukum Ala Keong

Ada sebuah cerita dari nelayan Jepang. Ia memamerkan ikan tuna besar hasil tangkapannya. Katanya, ia menangkap ikan tuna tersebut dari perairan laut Indonesia. Ia tebarkan jaring ke perairan Indonesia, lalu ia berada di luar batas perairan Indonesia agar tidak bisa ditangkap petugas Indonesia. Itu contoh pencuri yang mengakali penegak hukum. Memang, ikan tuna asal Indonesia itu tak punya KTP Indonesia. Kita sedih melihat pencurian ikan laut Indonesia karena nelayan Indonesia masih miskin kumus-kumus.

Thailand tak punya laut, tapi bisa mengekspor ikan senilai 4 miliar USD pertahun. Indonesia kaya laut, tapi hanya bisa ekspor sekitar 2 miliar USD pertahun. Ke mana ikan-ikan lautan Indonesia? Yang jelas tidak sedang mengungsi ke Jepang, Thailand, Singapura, Tiongkok atau Taiwan, tapi dicuri. Itu salah satu contoh, yang dalam banyak hal kita menjadi bangsa linglung, karena mentalnya yang terjajah. Reformasi hukum yang diharap bisa menegakkan kedaulatan Indonesia kadang menghasilkan hukum yang bersekutu dengan para penggarong Indonesia.

Maret 1933, Bung Karno di Pengalengan Jawa Barat menulis bahwa masyarakat intransformasi diistilahkannya sebagai masyarakat ‘sakit’, sedang berganti bulu, makanya bangsa Indonesia yang besar bisa dijajah oleh imperialis kecil Eropa. Imperialisme itu anak dari kapitalisme, kata Bung Karno. Kapitalisme tua melahirkan imperialisme tua. kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen Seperti tak dapat dipungkiri hingga saat ini kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen yang membuat bangsa Indonesia tetap menjadi bebek, tertatih-tatih dalam bernegara, terlalu bodoh untuk memikirkan nasib bangsa dan negara, tapi pintar untuk sekadar penjadi tikus-tikus pengerat terhadap bangsa dan negaranya sendiri, bersekongkol dengan asing untuk meludeskan kekayaan Indonesia. Mental terjajah itu benar-benar menyublim, membatu ke dalam jiwa bangsa Indonesia, terwariskan dari generasi ke generasi.

Terlalu banyak dimensi sebagai bukti ketertundukan bangsa ini. Umat hanya berputar-putar untuk memikirkan masing-masing nasib sendiri, langka dengan semangat kolektivitas untuk mewujudkan kebesaran Indonesia. Salah satu bukti tersebut adalah reformasi bidang hukum yang berjalan tleyak-tleyek, klemak-klemek, loyo seperti jalannya keong di atas lumpur. Para penegak hukum sibuk memikirkan kesenangan diri, mengabaikan tanggung jawab publik mereka. Taruhlah contoh kasus penyalahgunaan narkoba yang diduga dilakukan terdakwa Hany Risdiansya yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya (diberitakan hampir semua media di Surabaya, 1 – 2 /2/2008) yang memunculkan kisah tabiat buruk para jaksa di negara ini. Jaksa tak hanya meminta uang, cermin mental pengemis, tapi juga ‘meminta’ isteri terdakwa. Bagaimana negara bisa merekrut penegak hukum seperti itu? Itu tak akan terjadi jika tidak pada budaya hukum yang korup. Masyarakat lebih banyak disandera kekuasaan hukum oleh para pejabat penegak hukum. Tak ada perlawanan berarti, cermin kaum tunduk terjajah.

Jika dikuliti sebenarnya bukan hanya satu kasus itu yang terjadi. Boleh jadi setiap hari ada ‘transaksi’ jual-beli hukum dan keadilan yang terdapat di ruang-ruang tersembunyi. Dalam sebulan ini saja saya menerima keluh-kesah tentang seorang tersangka penggelapan gitar yang dimintai penyidik (polisi) uang Rp. 10 juta, kasus kecelakaan lalu-lintas orang kurang mampu yang dimintai uang Rp. 1,5 juta oleh polisi, kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) yang disimpan penyidik di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selama tiga tahun dengan alasan: “Wis gak ana sing iso digraji.” (tak ada tersangka yang mampu dimintai uang). Ada juga orang Jepang yang geram sebab berkas perkara pidananya dipingpong selama tiga tahun di Polwiltabes Surabaya dan Kejaksaan Negeri Surabaya. Ada juga seorang ibu-ibu tua tidak mampu di Surabaya yang kasusnya disimpan di Polwiltabes Surabaya selama 9 (sembilan) tahun dan berujung mengenaskan sebab akhirnya penyidikannya dihentikan dan saksi kuncinya meninggal dunia sebelum si ibu tua pencari keadilan itu mendapatkan keadilan. Si ibu tua itu mengeluh, katanya dahulu ia dibantu para pengacara ‘sosial’ yang biasa parkir di pengadilan, tapi di tengah jalan ‘diterlantarkan.’ Pasti ada sebabnya. Menyedihkan.

Itu kasus-kasus yang luput dari pemberitaan media dan memang media hanya mampu memberitakan sedikit saja dari banyaknya kasak-kusuk penegak hukum. Herannya juga tak ada wartawan yang ‘berani’ menginvestigasi kebobrokan advokat Indonesia, tapi malah lebih banyak menulis kebaikannya. Padahal dunia advokat juga simpul penegakan hukum yang harus dikontrol oleh media. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pengacara Indonesia, Sugeng Teguh Santoso mengatakan profesi advokat sudah menjadi profesi bisnis sehingga kepentingan advokat adalah kemenangan kliennya. Seringkali masyarakat tidak mengenal advokat sebagai penegak hukum, tetapi sebagai trouble maker (Kompas, 29/6/2004).

Seperti halnya korupsi di Indonesia merajalela. Dari tahun ke tahun Indonesia melahirkan para wakil rakyat dan pejabat nggragas, tukang caplok uang rakyat. Kalkulator Indonesia sudah tak sanggup menampung angka kerugian negara dan jumlah koruptor di Indonesia. Padahal, ketika KUHP dirasa tidak cukup dibuat Undang-undang untuk memberantas korupsi (pidana khusus): UU No. 3/1971 (jaman Orde Baru), diubah dengan UU No. 31/1999, diperbaharui dengan UU No. 20/2001. Apa hasilnya? Korupsi malah menjadi hamparan ‘perkebunan’ di republik ini. Koruptor menjadi peternakan yang beranak-pinak. Para polisi, jaksa dan hakim malah bebas menjual hukum. Para advokat menikmati suasana itu sebagai ‘berkah’.

Kalau masih banyak masyarakat yang mengeluh menjadi korban ’pemerasan’ penegak hukum, itu tanda bahwa tak ada kemajuan apa-apa dalam mereformasi hukum Indonesia. Indonesia tak akan benar-benar menjadi negara dan akan terus didera bencana jika hukumnya tak mampu melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat. Pun hanya hukum yang bermental keong dan tunduk kepada uang yang membiarkan kehancuran lingkungan, membawa petaka longsor dan banjir di mana-mana, di samping raibnya kekayaan dan uang negara. Kapan kita melepas mental keong terjajah?