Oligarki tersebut juga menciptakan organisasi yang berlabel lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-government organization (NGO) sebagai alat untuk menghadapi LSM atau NGO oposisi oligarki. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan kekuasaan sosial informal yang seperti yang dimiliki lembaga atau para pemuka agama. Oligarki itu juga didukung oleh para advokat handal. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika oligarki itu merasuki pori-pori spirit penegakan hukum, membuat lembaga penegak hukum juga tunduk kepada mereka.
Modus baru
Andaikan gejala yang turut-temurut dalam kasus lumpur Lapindo dapat disimpulkan (dengan alat-alat bukti) sebagai ‘serangan sistematis’ untuk ‘memindahkan penduduk’ (selaku korban), yaitu dengan cara: tidak memasang selubung pelindung (casing) di kedalaman tertentu dalam pemboran sehingga terjadi semburan lumpur; memindahkan rig pemboran saat semburan lumpur untuk memperkecil kemudahan penanganan awal; pura-pura menanggulangi semburan lumpur dengan beberapa teknik yang tidak tuntas; menanggul kolam lumpur dengan cara berbeda, untuk sisi tertentu tanggul diperkuat, untuk sisi lain tidak diperkuat supaya ambrol sehingga penduduk akan menyingkir; memakai kekuasaan pemerintah untuk menelurkan Perpres No. 14/2007 agar penduduk ‘terpaksa’ menjual tanah mereka; mendesain akta jual-beli tanah dengan korban dengan klausul subyektif agar korban tidak menuntut; dan seterusnya.
Tidak seluruh perbuatan di atas harus merupakan unsur-unsur yang harus dirangkaikan. Misalnya, perbuatan sengaja memperlemah tanggul lumpur Lapindo di sisi tertentu sehingga akhirnya tanggul ambrol sehingga penduduk terusir, adalah merupakan ‘serangan sistematis’ yang bersifat ‘luas’. Tetapi akal sehat korban tidak terlalu berpedoman pada ‘cara’ pelaku menyingkirkan atau memindahkan mereka, namun yang substansial adalah akibatnya yang luas, menghancurkan nasib hidup mereka. Normal jika itu disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).
Merancang ‘pengusiran penduduk’ bisa dengan cara penetapan kawasan hutan yang dihuni kelompok penduduk asli atau adat di hutan menjadi hutan lindung, sehingga penduduk asli yang tidak mau pindah dipidanakan; lalu negara menerbitkan aturan untuk memberi izin korporasi untuk melakukan usaha pertambangan di hutan lindung itu. Itu juga merupakan modus baru kejahatan kemanusiaan.
Interpretasi progresif
Kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan oleh pasal 7 huruf b jo. pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ‘menjiplak’ Rome Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Tapi sayangnya UU No. 26 Tahun 2000 memangkas pasal 7 ayat (1) huruf k Statuta Roma yang menentukan: “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.”
Tanpa tafsir progresif untuk kembali pada asal substansi UU No. 26 Tahun 2000 (yaitu: Statuta Roma) maka hukum HAM tak akan bisa menjangkau kejahatan kemanusiaan gaya baru yang dilakukan oligarki (korporasi selaku pelaku sentralnya) dengan modus baru tersebut, sebelum legislator mengubah undang-undang itu untuk merumuskan formulasi baru tentang kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.
Dengan contoh kasus di atas, saya coba hubungkan dengan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan berdasar pasal 9 huruf d UU No. 26 Tahun 2000 yang menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”
Unsur “serangan yang meluas” atau unsur “sistematik” serta unsur “terhadap penduduk sipil” (selaku korban) dalam ketentuan tersebut seharusnya tidak lagi ditafsir sempit sebagai perbuatan pelaku militer kepada korban sipil. Dalam dunia baru ini, kelompok penduduk anggota militer di suatu kawasan hunian pun bisa mungkin menjadi korban ‘pengusiran’ sistematis oleh korporasi yang membutuhkan tanah hunian mereka melalui cara bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan pengambil keputusan atau pembuat regulasi. Pun istilah “serangan” juga tak relevan lagi ditafsir secara tunggal sebagai perbuatan fisik. “Serangan” sistematis secara paksa bisa juga melalui keputusan pemerintahan yang tanpa atau didasarkan landasan regulasi yang tidak adil.
Maka, Komisi Nasional (Komnas) HAM seharusnya menjadi pioner dalam menafsir dengan cara baru, cara progresif atas suatu kasus yang dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, yang seharusnya akan menjadi bahan bagi legislator untuk meluruskan UU No. 26 Tahun 2000.
Guna penegakan HAM yang lebih obyektif – karena pelakunya juga bisa pejabat penting pemerintah – maka kekuasaan independen Komnas HAM mestinya tidak dibatasi sekedar penyelidik, tapi diperluas hingga dalam penyidikan dan penuntutan, seperti halnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain soal korupsi, kejahatan pelanggaran HAM berat juga merupakan extra ordinary crimes sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000. Maka, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 harus diperbaharui.
Oleh Subagyo, Ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar