Seorang guru SMA bekerja di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) Surabaya telah diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh YPPI selaku majikannya yang dipimpin oleh Kresnayana Yahya, pakar statistik itu, tapi juga oleh lembaga pengadilan yang menjalankan proses peradilan yang tidak tunduk pada hukum itu sendiri.
Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .
Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.
Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.
Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.
Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.
Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).
YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.
Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.
Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.
Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.
Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.
YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).
Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?
Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .
Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.
Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.
Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.
Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.
Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).
YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.
Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.
Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.
Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.
Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.
YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).
Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar