Kamis, 05 Juni 2008

Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERAT

DALAM KASUS LUMPUR LAPINDO

A. ABSTRAK


Jika dilihat dari hasil investigasi tentang proses eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Sidoarjo yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo, atau banyak disingkat menjadi LBI), termasuk temuan fakta-fakta pelanggaran berbagai peraturan perundang-undangan tentang syarat-syarat perizinan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (disingkat migas), tatacara penanggulangan semburan lumpur Lapindo serta upaya-upaya masalah sosialnya, maka akibat yang menimpa masyarakat korban lumpur Lapindo sudah dapat diprediksi sebelumnya.

Dengan melihat begitu besarnya intensitas, kualitas serta meluasnya penderitaan (great suffering) masyarakat korban lumpur Lapindo yang tidak memperoleh perlindungan khusus dan responsif dari pemerintah maka dalam kasus lumpur Lapindo tersebut telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang melibatkan para pengambil keputusan korporasi di Lapindo, induk korporasinya serta para pejabat pemerintah pengambil keputusan. Maka perkara tersebut harus diajukan dalam Pengadilan HAM. Jika pemerintahan Indonesia tidak dapat menuntaskan persoalan tersebut maka perkara itu dapat diajukan dalam Forum Internasional sesuai dengan prinsip Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (disingkat UU No. 39 Tahun 1999).

B. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Persoalan HAM yang berkaitan dengan jenis-jenis pelanggaran HAM yang diuraikan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (disingkat UU No. 26 Tahun 2006) tidak dapat dilepaskan dari ketantuan Hukum Pengadilan HAM Internasional yaitu: Roma Statute of The International Criminal Court yang dideklarasikan di Roma 17 Juli 1998 (selanjutnya disebut Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi pelanggaran HAM berat oleh UU No. 26 Tahun 2000.

Tampaknya ketentuan hukum HAM tersebut belum dilaksanakan konkrit di Indonesia dengan berbagai contoh kasus yang direkomendasikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) – berdasarkan hasil investigasi yang mendalam – seperti pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (kini negara Timor Leste) yang membuahkan putusan bebas terhadap seluruh terdakwa dan kasus Trisaksi-Semanggi I dan II yang ditolak oleh Kejaksaan. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia belum serius dalam upaya menegakkan HAM di negara ini. Tetapi hal itu tidak akan menyurutkan bangsa ini untuk terus berusaha melakukan perubahan-perubahan.

Tulisan ini bermaksud membuat korelasi antara kasus semburan lumpur Lapindo yang telah menjadi tema internasional itu dengan penegakan HAM di Indonesia. Seperti diketahui umum – telah menjadi fakta yang tak perlu lagi dibuktikan sebab telah menjadi pengetahuan umum – kasus lumpur Lapindo telah mengakibatkan penderitaan yang meluas dan luar biasa (great suffering) bagi ribuan korban yang harus hidup dalam pengungsian yang jauh dari kelayakan hidup normal.

Untuk menjaga obyektivitas tulisan ini, dalam hal kronologi peristiwa dan temuan-temuan yang berkaitan dengan proses perolehan izin serta peralihan kepemilikan Blok Brantas maka penulis akan lebih banyak menggunakan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga negara yang telah secara lebih teliti dan detil melakukan investigasi dengan memeriksa seluruh dokumen penting yang ada di pemerintah maupun milik Lapindo dan induknya yaitu PT. Energy Mega Persada, Tbk. (EMP).

Dalam perspektif hukum pembuktian, hasil audit BPK tersebut merupakan alat bukti surat otentik yang memuat kebenaran formil sekaligus kebenaran materiil sebab hasil audit tersebut didasarkan pada penyelidikan dan temuan-temuan fakta materiil. Wewenang BPK melakukan audit terhadap pengelolaan Blok Brantas yang merupakan aset atau kekayaan negara didasarkan pada UU No. 15/2006 tentang BPK dalam rangka audit kinerja atau untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat (3)) sehingga hasil auditnya merupakan dokumen atau surat otentik sebagai salah satu bentuk alat bukti perkara.

Hasil audit BPK untuk kasus lumpur Lapindo tersebut tertanggal 29 Mei 2007, diantaranya menjelaskan sebagai berikut:

1. Kasus semburan lumpur itu bermula dari peristiwa eksplorasi Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) Sidoarjo, dimulai pada tanggal 8 Maret 2006. Lapindo sebagai operator Blok Brantas telah menunjuk PT. Medici Citra Nusa (MCN) sebagai pemenang tender kontrak pengeboran, berdasarkan kontrak Integrated Drilling Project Management Contract (IDPMC) No. Con-0144/DRLG/2005 tanggal 23 Desember 2005 dengan nilai kontrak sebesar US$24,054,625.33, untuk melakukan pengeboran 5 (lima) sumur di Blok Brantas termasuk Sumur BJP-1. Aktivitas pengeboran telah berlangsung selama 80 hari, pada saat terjadi semburan lumpur panas di sekitar Sumur BJP-1 pada tanggal 29 Mei 2006 (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

2. Dengan IDPMC, PT. MCN sebagai kontraktor utama bertanggungjawab terhadap semua pekerjaan yang terkait dengan eksplorasi sumur seperti cementing, mud lodging, penyediaan peralatan pemboran (rig) maupun pekerjaan terkait lainnya. PT. MCN telah menunjuk beberapa sub kontraktor pelaksana sebagai berikut :

PT. Halliburton Indonesia untuk pekerjaan cementing equipment and services dan directional drilling services.

PT. MI Indonesia untuk pekerjaan mud material and services.

PT. Baker Atlas Indonesia untuk pekerjaan wireline logging services.

PT. Elnusa untuk pekerjaan mud logging services.

PT. Tiga Musim Mas Jaya untuk pekerjaan drilling rig contracto.

PT. Asri Amanah untuk pekerjaan drilling waste managemen.

PT. MI Swaco untuk pekerjaan verti “G” dryer.

PT. Fergaco untuk pekerjaan H2S monitoring services.

3. PT. MCN bersama dengan perusahaan-perusahaan sub kontraktornya memulai pemboran pada tanggal 8 Maret 2006 dan terus berlangsung hingga tanggal 29 Mei 2006. Pada tanggal 29 Mei 2006 pukul 4.30 WIB sekitar 200 meter arah barat daya dari Sumur BJP-1 muncul erupsi (semburan) lumpur panas yang kemudian dikenal dengan Lumpur Sidoarjo. Pada saat terjadinya semburan PT. MCN (dan LBI) belum menurunkan/memindahkan rig (peralatan pemboran) (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

4. Pada awalnya, Blok Brantas, lokasi terjadinya semburan, dikelola oleh operator Huffco Brantas Inc, sebuah perusahaan milik pengusaha Texas, Terry Huffington yang didirikan berdasarkan wilayah hukum negara bagian Delaware USA, berdasarkan kontrak production sharing contract (PSC) antara Pertamina dengan Huffco Brantas Inc, yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1990. Huffco Brantas Inc sebagai operator mengalami perubahan nama menjadi Lapindo Brantas Inc pada tanggal 11 April 1996. Setelah mengalami perubahan nama, kepemilikan Lapindo Brantas Inc dijual atau dialihkan kepada PT. Ladinda Petroindo pada tanggal 17 April 1996. Sejak saat itu kepemilikan atas Lapindo Brantas Inc. mengalami beberapa kali perubahan. Lapindo Brantas Inc terakhir dimiliki oleh PT. Kalila Energy Ltd (82,42%) dan Pan Asia Enterprises (15,76%). Kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada (99,99%). Dalam operasi migas di Blok Brantas, LBI selain bertindak sebagai kontraktor dengan participating interest sebesar 50%, juga bertindak sebagai operator dengan participating partners PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd (18%) sesuai dengan Joint Operating Agreement (JOA) Blok Brantas. Participating partner, kontraktor dan pemilik operator Blok Brantas telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu:

- Pada tahun 1990, Blok Brantas dimiliki 100% oleh Huffco Brantas Inc.

- Pada tahun 1992, pemilik Blok Brantas berubah menjadi Huffco Brantas Inc, Inpex Brantas Inc dan Norcen Brantas Ltd masing-masing dengan partisipasi sebesar 20% serta Oryx Indonesia Brantas Coy dengan partisipasi 40%.

- Pada tahun 1996, Oryx Brantas Coy berubah nama menjadi Novus Indonesia Brantas Coy.

- Pada tahun 1996, kepemilikan Blok Brantas berubah menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Coy masing-masing 50%.

- Pada tahun 1997, Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Inc mengalihkan masingmasing 5% partisipasinya kepada PT. Sarimbi Menur Sari sehingga komposisinya menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Brantas Inc masing-masing 45% dan PT. Sarimbi Menur Sari 10%.

- Pada tahun 1998, pemilik Blok Brantas menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Pty Ltd masing-masing 50%.

- Pada tahun 2004, Novus Indonesia Brantas Pty Ltd menjual sebagian partisipasinya (18%) kepada Santos Brantas Pty Ltd.

- Posisi terakhir pemilik Blok Brantas adalah Lapindo Brantas Inc, PT Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd dengan participating interest masing-masing sebesar 50%, 32% dan 18%. LBI bertindak pula sebagai operator, sementara Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd sebagai participating partners.

5. Pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Inpex Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Novus Indonesia Brantas Coy, dan pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Norcen Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Lapindo Brantas Inc hanya berdasarkan persetujuan Pertamina/BP Migas, tanpa mendapat persetujuan dari Pemerintah (Departemen ESDM). BP Migas/Pertamina dan Pemerintah perlu memberikan persetujuan perubahan participating interest kepada perusahaan non afiliasi untuk menjamin kompetensi finansial, teknis dan keahlian profesional lainnya dari participating partner baru untuk melaksanakan PSC. Pengalihan participating interest di atas tidak sesuai dengan PSC section V article 5.1.2 yang antara lain mengatur bahwa pengalihan keseluruhan hak dan participating interest kepada perusahaan non afiliasi dapat dilakukan setelah disetujui terlebih dahulu oleh Pertamina dan Pemerintah. BP Migas menjelaskan bahwa pengalihan interest ini dikategorikan sebagai pengalihan sebagian participating interest yang sesuai dengan PSC hanya memerlukan persetujuan dari Pertamina/BP Migas. BPK-RI berpendapat bahwa penjelasan tersebut tidak sejalan dengan PP No. 35 tahun 1994 yang memberikan wewenang kepada Menteri ESDM untuk menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan nasional jika terjadi pengalihan participating interest kepada pihak non afiliasi. Untuk melaksanakan ketentuan ini, maka Pemerintah perlu mengawasi perubahannya.

6. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh LBI sebelum memulai pemboran Sumur BJP-1 di antaranya adalah ijin lokasi pemboran dan ijin gangguan dari Pemda Sidoarjo. Selain itu peralatan dan personil pemboran harus disertifikasi oleh Departemen ESDM. Di samping itu, dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) juga harus telah disetujui oleh Ditjen Migas. Semua persyaratan di atas telah dipenuhi, sehingga LBI dapat memulai pemboran Sumur BJP-1. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa pelanggaran ketentuan yang terkait dengan pemberian ijin lokasi oleh Pemda Sidoarjo, yaitu :

a. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh LBI yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman, yaitu Sumur Wunut-3, Wunut-4, Wunut-5, Wunut-6, Wunut-16 Wunut-20, dan Carat-1. Sementara Sumur Wunut-19 dan Carat-2 letaknya juga diperkirakan kurang 100 meter dari sarana umum dan pipa gas. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur Migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul. Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967.

b. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda No.16 tahun 2003. Peruntukan lokasi tanah dimaksud sesuai Perda tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada LBI, Perda No. 16 tahun 2003 tersebut belum direvisi. Pemda Kabupaten Sidoarjo mengakui bahwa pemberian ijin lokasi ekplorasi Sumur BJP-1 di pemukiman tersebut tidak sesuai dengan aturan dalam Inpres No. 1/1976 dan UU No. 11/1967 karena bukan sumur eksploitasi tetapi hal itu dilakukan karena tidak tersedianya aturan yang lebih teknis. Terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas.

7. Berkaitan dengan pelanggaran kaidah keteknikan yang baik BPK menjelaskan:

a. PT MCN sebagai kontraktor pemboran belum berpengalaman yang memadai untuk melaksanakan pekerjaan IDPM. Company profil PT MCN menunjukkan bahwa perusahaan tersebut baru memiliki pengalaman satu kali dalam menangani kontrak sejenis IDPM yaitu kontrak integrated drilling service (IDS) dari Semco pada tahun 2001. Kurangnya pengalaman akan meningkatkan risiko pekerjaan gagal dan berlarut-larut. LBI menjelaskan bahwa penunjukkan PT. MCN tersebut telah melalui proses tender terbuka yang highly regulated procurement process dan telah mendapat persetujuan BP Migas.

b. PT. MCN dan sub kontraktornya menggunakan personel (drilling crew) yang kurang memiliki kemampuan dalam melaksanaan pekerjaan pemboran. Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran. LBI menjelaskan bahwa personil tersebut telah bersertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu) dan telah menyampaikan CV sebelum ditunjuk untuk bekerja di Sumur BJP-1.

c. Peralatan pemboran yang digunakan oleh PT MCN dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari. LBI menjelaskan bahwa kontrak IDPM telah dibuat untuk melindungi kepentingan LBI jika kondisi di atas terjadi dan PT. MCN cedera janji.

8. Soal adanya dugaan faktor kesalahan manusia sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo itu BPK menjelaskan:

a. Konsultan PT. Exploration Think Tank Indonesia (PT. ETTI) yang membantu BPK RI untuk mengidentifikasi penyebab semburan menyatakan bahwa penanganan kick dengan menggunakan lumpur yang beratnya melebihi kekuatan formasi batuan pada kedalaman 3.605 kaki telah mengakibatkan pecahnya formasi batuan (batu lempung) sekitar kedalaman tersebut dan keluar melalui lubang bor, lalu mengikuti rekahan yang ditimbulkan untuk akhirnya muncul di permukaan pada tanggal 29 Mei 2006 di dua tempat yang berbeda yaitu di dalam lokasi rig dan di luar lokasi rig (150-200 meter dari Sumur BJP-1). PT ETTI menegaskan bahwa eksplorasi Sumur BJP-1 telah memicu terjadinya semburan lumpur ke permukaan.

b. Pihak LBI/PT MCN sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor Sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

c. Ada indikasi operator terlambat menutup Sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

d. Selain hal-hal tersebut di atas, ada indikasi tidak dilakukannya prinsip kehati-hatian dalam proses pencabutan pipa bor. Selama pencabutan pipa bor sejak kedalaman 9.297 kaki telah terjadi indikasi adanya partial loss maupun displasemen lumpur yang sulit diatasi. Namun demikian pencabutan pipa tetap dilakukan sehingga hal tersebut akhirnya menginduksi terjadinya kick.

9. Selanjutnya BPK menjelaskan bahwa pendapat BPK RI tersebut di atas sejalan dengan pendapat beberapa ahli dan instansi lain mengenai semburan lumpur Sidoarjo. Pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun LBI sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

b. Hasil pengujian oleh LBI Perbandingan data ekstrapolasi temperatur pada saat melakukan logging dengan data temperatur lumpur dan air yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa sumber air diperkirakan berasal dari Formasi Kujung dan adanya kontribusi dari lapisan sandstone pada kedalaman di bawah 6.300 kaki. Uji analisa korelasi geokimia indeks kematangan batuan dengan membandingkan contoh cutting Sumur BJP-1 dengan lumpur yang keluar dari semburan menunjukkan lumpur yang keluar kemungkinan berkorelasi dengan sedimen shale pada kedalaman 5.600 kaki di Sumur BJP-1. Oleh karenanya, diasumsikan sumber lumpur berasal dari interval kedalaman 5.100 kaki s.d. 6.300 kaki. Uji analisa fosil formanifera dengan membandingkan contoh cutting pemboran Sumur BJP-1 dan lumpur yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa asal lumpur yang keluar dari pusat semburan berkorelasi dengan kedalaman 4.000 s.d. 6.000 kaki di Sumur BJP-1.

c. Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

d. Pernyataan PT Energi Mega Persada Tbk (pemilik LBI) dalam press release tanggal 30 Mei 2006 yang menyatakan antara lain bahwa “perusahaan telah bekerja sama dengan pejabat Pemerintah setempat sehingga tercapai situasi yang aman terkendali dan melaporkan bahwa tekanan semburan telah berkurang setelah dilakukan upaya pemompaan lumpur pemboran ke dalam sumur.

10. Berkaitan dengan upaya penghentian semburan Lumpur tersebut BPK melakukan pemeriksaan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo dengan mengevaluasi ketaatan pada prosedur (SOP) yang berlaku, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan dan action plan. Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut.

a. Penggunaan snubbing unit, side tracking dan relief well yang dilakukan oleh LBI dan Timnas PSLS tidak dapat menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Upaya penghentian semburan tersebut telah menghabiskan dana lebih kurang sebesar US$ 21.832,8 ribu atau Rp 200.862 juta (kurs 1 US$ = Rp 9.200). Tidak berhasilnya upaya penghentian semburan tersebut mengakibatkan dana yang telah dikeluarkan menjadi tidak efektif dan sia-sia.

b. Operasi snubbing dan relief well tidak mencapai sasaran yang diharapkan karena terkendala oleh faktor-faktor non teknis, seperti peralatan yang tidak tersedia di lapangan pada saat dibutuhkan, peralatan yang tidak memenuhi syarat, luapan lumpur yang tidak terkendali sehingga menggenangi lokasi rig dan keterbatasan dana operasional.

c. Tiga skenario penghentian semburan yaitu dengan menggunakan metode snubbing, side tracking dan relief well tidak berhasil. Sampai akhir pemeriksaan, Timnas PSLS sedang berupaya memperlambat semburan lumpur Sidoarjo dengan menggunakan metode insersi High Density Chained Ball (HDCB).

11. Salah satu akibat kasus semburan lumpur Lapindo adalah ledakan pipa gas yang merenggut 13 nyawa. BPK menjelaskan dampak kerugian ekonominya sebagai berikut:

Pada tanggal 22 November 2006 terjadi ledakan pipa gas Transmisi East Java Gas Pipeline (EJGP) milik Pertamina dilokasi jalan tol Surabaya – Gempol KM 38 di Porong, Jawa Timur. Pipa gas tersebut digunakan untuk menyalurkan gas sebanyak 63 MMscfd milik EMP Kangean yang akan didistribusikan ke Petrokimia Gresik (PKG) sebesar 50 MMscfd serta ke PLN PLTU Gresik sebesar 13 MMscfd dan menyalurkan 77 MMscfd milik Santos Maleo yang akan didistribusikan ke Perusahaan Gas Negara (PGN). PKG yang mendapat pasokan gas dari EMP Kangean sebesar 50 MMscfd pada saat terjadinya ledakan tidak dapat berproduksi sehingga dapat mengganggu penyediaan pupuk nasional terutama jenis ZA. Kebutuhan gas PKG untuk sementara di ganti dengan Swap gas PGN sebesar 15 MMscfd, PKG dari Kodeco sebesar 7 MMscfd, dan gas dari PLN dari Kodeco sebesar 27 MMscfd. Untuk memproduksi listrik karena pasokan gas dari Kodeco sebesar 27 MMscfd/hari disalurkan ke PKG maka PLN mensubstitusikan kebutuhan energi dari gas tersebut dengan menggunakan solar sebanyak 907.500 liter per hari atau memerlukan biaya produksi tambahan sebesar Rp 3.792,03 juta per hari. Jumlah biaya tambahan yang telah dikeluarkan selama periode 14 Januari s/d 28 Pebruari 2007 adalah sebesar Rp 174.433 juta.”

Demikian beberapa fakta hasil pemeriksaan BPK yang sudah menjadi data dalam bentuk akta otentik, dapat dijadikan sebagai dasar analisis perkara lumpur Lapindo tersebut berkaitan dengan pelanggaran ataupun pelaksanaan HAM.

2. Masalah

Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah yang dikemukakan di sini adalah: “Apakah dalam kasus semburan lumpur Lapindo tersebut terdapat fakta pelanggaran HAM berat?”

C. ANALISIS

1. Dasar Hukum

Dasar hukum yang dimaksudkan bersumber dari sumber-sumber hukum yang tak terbatas pada peraturan perundang-undangan (written law) tapi juga prinsip-prinsip atau asas keadilan termasuk pendapat ahli hukum. Doktrin hukum modern tidak lagi secara kaku berpegangan pada aturan hukum tertulis saja (positivistik) tetapi juga memperhatikan kebutuhan hukum sosial.

Dalam persoalan penegakan HAM, hukum tertulis juga bukan satu-satunya instrumen atau sumber hukum. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Abepura Papua, terdapat dessenting opinion hakim yang berpendapat berbeda dalam menanggapi putusan bebas terhadap para terdakwa. Hakim tersebut berpendapat bahwa dari pertimbangan-pertimbangan dan teori yang dipakai dalam putusan yang dikeluarkan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan sebagian hakim yang menyidang kasus Abepura terkesan positivisik dan menggunakan prinsip-prinsip hukum kolonial yang jauh dari rasa keadilan korban. Selain itu, majelis hakim inkonsisten dan inrasional antara fakta hukum dengan prinsip sistematis dan meluas terhadap kejahatan dalam hukum kemanusian. Dikatakan, putusan majelis hakim dalam hal ini tidak mempertimbangkan psikologi massa masyarakat Papua yang selama ini mendapat ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif dalam perjuangan hak-haknya. Praktek pengadilan hak seperti itu menambah deretan fakta bahwa paradilan HAM Indonesia merupakan 'kuburan' bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (www.freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00197.html).

Tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia mengikuti kecenderungan global yang mengindikasikan bahwa pelanggaran HAM berat, antara lain kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes) termasuk kejahatan internasional (international crimes). Tujuan tuntutan ini adalah memperoleh keadilan transisional (transitional justice). Instrumen hukum yang telah dibuat oleh pemerintah tidak efektif dalam penerapannya. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM. Dengan demikian dikembangkanlah studi hukum kritis. (Critical Legal Studies) untuk membangun serangan terhadap peradilan dalam iklim demokrasi liberal (judiciary within liberal democracy). Berhadapan dengan praktek dan watak liberal tersebut, Critical Legal Studies menginginkan penyelenggaraan peradilan secara obyektif (judicial objectivity) dan tuntutan terhadap keadilan sosial (social justice). (Khaerul H. Tandjung pada http://khaerulhtanjung.blogster.com, 20/2/2007).

UU No. 16 Tahun 2000 diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Penegak HAM mau tidak mau harus memasuki kawasan tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut dengan memahami substansi Statuta Roma, yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘pelanggaran HAM berat’ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.” Di sinilah pentingnya Critical Legal Studies dibangun sehingga penegakan hukum HAM dijalankan dengan cara mengembalikan politisasi hukum (dalam arti negatif) HAM ke jalan hukum HAM yang benar dengan tujuan dasar perlindungan dan penegakan HAM. Artinya, hambatan-hambatan pembatasan politis dalam undang-undang (yang positivistik) harus diatasi dengan cara menemukan kembali prinsip-prinsip HAM yang telah ‘dikorupsi’ oleh pembuat undang-undang.

Selain itu, dasar hukum HAM juga berupa prinsip-prinsip Hukum HAM Internasional yang diantaranya telah diformulasikan dalam bentuk-bentuk Kovenan Internasional.

2. Pelanggaran HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.

Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.

Akal sehat (logika obyektif) manusia bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dalam memperoleh ijin eksplorasi Sumur BJP-1 (dan lain-lainnya) tersebut menunjukkan adanya unsur kesengajaan (dollus) terhadap hukum keselamatan sosial.

Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi pelanggaran secara sengaja terhadap hukum yang bertujuan menyelematkan penduduk dari bahaya kegiatan pemboran pertambangan migas cukup memberikan gambaran rasional bahwa semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya dan akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya. Jadi, unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu.

Alasan lain soal adanya unsur kesengajaan tersebut juga dapat disimpulkan dari hasil temuan BPK yang menyebutkan adanya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, mulai dari penggunaan peralatan pemboran yang tidak layak serta tenaga pemboran yang kurang berkompeten sampai dengan kesengajaan tidak memasang selubung casing di kedalaman tertentu yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut.

Sedangkan akibatnya sudah menjadi pengetahuan umum yang tak perlu dibuktikan lagi (menjadi fakta notoir) bahwa ada ribuan penduduk yang terusir (mengungsi) dan mengalami apa yang digambarkan oleh huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk lain kejahatan kemanusiaan, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Fakta tersebut dapat dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …”

Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tersebut adalah:

- Salah satu perbuatan;

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; atau:

- Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

- Salah satu perbuatan;

Salah satu perbuatan (bersifat alternatif) yang disebutkan dalam pasal 9 UU No. 26/2000. Dalam perkara lumpur Lapindo ini dapat ditentukan bentuk perbuatan menurut pasal 9 huruf d dan huruf e yang akan diuraikan dalam analisis selanjutnya ini.

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

Pengertian kata “serangan” ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan yang bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan militer untuk secara ofensif membunuh atau mengusir kelompok penduduk, tapi dapat dalam bentuk “serangan” dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan atau kemampuan teknis, konspirasi kekuasaan. Di jaman yang semakin moderen, bentuk serangan bisa bermacam-macam cara dengan metode yang moderen pula. Misalnya serangan dengan menggunakan senjata kimia, kuman atau virus penyakit, meracuni tempat atau media hidup penduduk. Dalam kasus lumpur Lapindo, bentuk “serangan” tersebut terletak pada melubernya semburan lumpur Lapindo yang dapat atau patut diduga sebelumnya bahwa semburan lumpur tersebut akan bisa terjadi. Cara-cara yang tidak memenuhi kaidah teknis yang baik dalam penanggulangan lumpur yang mengakibatkan tanggul lumpur jebol berkali-kali juga merupakan cara lain dari serangan tersebut. Pada intinya, dalam kasus lumpur Lapindo, perbuatan “serangan” ini baru dapat dilihat ketika semburan lumpur Lapindo itu terjadi akibat kesengajaan pelanggaran kaidah-kaidah hukum dan keteknikan yang baik – karena konspirasi – sehingga dengan terpaksa para penduduk korban lumpur Lapindo harus pergi untuk mengungsi atau berpindah dari tempat tinggal mereka yang sah.

Sedangkan sifatnya yang meluas dapat dilihat dari jumlah korban yang mencapai ribuan penduduk sipil yang berasal dari beberapa desa yang tergenang lumpur Lapindo. Sistematisasi serangan tersebut tampak pada fakta konspirasi antara para petinggi Lapindo (pengambil keputusan strategis) dengan aparatur negara yang berwenang mengeluarkan perijinan.

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

Dalam kasus lumpur Lapindo, serangan tersebut sudah jelas ditujukan langsung terhadap penduduk sipil yang berada di sekitar wilayah Sumur BJP-1 Porong Sidoarjo tersebut. Masyarakat korban lumpur Lapindo merupakan penduduk sipil.

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa dalam kasus lumpur Lapindo dengan cara sengaja membiarkan semburan lumpur menggenangi tempat tinggal penduduk, melakukan upaya penyelesaian semburan lumpur secara tidak serius dengan lebih memilih pertimbangan ekonomi (efesiensi) dibandingkan dengan orientasi penyelamatan penduduk di sekitar Sumur BJP-1 tersebut. Hal itu juga terjadi dalam contoh penggunaan metode relief well yang ditunda-tunda dan tidak dilanjutkan, penggunaan metode insersi bola beton yang direncanakan 400 bola tapi hanya dilakukan dengan 250 bola, dan lain-lain yang menunjukkan bahwa akibat dari ketidakseriusan dalam penghentian semburan lumpur tersebut akan mengakibatkan luberan lumpur terus bertambah sehingga memaksa penduduk untuk berpindah tempat (mengungsi) dan terusir.

- Atau: Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

Bentuk perampasan kemerdekaan dalam kasus lumpur Lapindo bermula dari pembiaran nasib ribuan penduduk korban lumpur Lapindo yang diserahkan kepada Lapindo di mana negara (pemerintah) tidak memberikan tindakan perlindungan yang maksimum kepada para korban. Kondisi penderitaan luar biasa (great suffering) para korban dimanfaatkan pihak Lapindo dengan penyodoran kontrak baku transaksi jual-beli yang disusun pihak Lapindo yang memuat klausul untuk tidak menuntut atau menggugat Lapindo, memuat pernyataan pengakuan bahwa semburan lumpur tersebut akibat bencana alam, dan lain-lain yang tidak memberikan pilihan secara wajar bagi masyarakat korban untuk mengemukakan hak-hak mereka selaku korban. Hal itu tampak dengan adanya Paguyuban korban lumpur Lapindo yang bernama PAGAR REKONTRAK yang menolak menandatangani kontrak atau perjanjian baku jual-beli tanah mereka yang telah terendam lumpur yang tidak diberikan opsi apapun untuk mengemukakan hak-hak mereka yang bahkan beberapa kali diminta dan diintimidasi dengan ancaman akan dipaksa untuk meninggalkan tempat pengungsian di Pasar Porong Baru. Hal itu membuktikan bahwa korban lumpur Lapindo tidak diberikan kebebesan atau dirampas kemerdekaan mereka untuk memperoleh ganti kerugian atau keadilan, diperdaya dengan memanfaatkan kondisi lemah mereka. Di sini terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Dalam Preamble (Pembukaan) International Covenant on Civil and Political Rights ditentukan bahwa setiap negara yang yang dimaksudkan kovenan tersebut :

“Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and cultural rights.

”Considering the obligation of States under the Charter of the United Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedoms.”

Dalam kasus lumpur Lapindo justru dilakukan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, politik, hak kebebasan berupaya memperoleh keadilan, serta diciptakan ketakutan dengan ancaman pengusiran dari tempat pengungsian sehingga masyarakat korban tidak mungkin dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Pemerintah yang seharusnya berkewajiban untuk mendorong penghormatan, menegakkan serta memenuhi HAM, tetapi dalam kasus lumpur Lapindo justru sebaliknya memberikan impunitas kepada Lapindo dan memberikan alat legalitas pelanggaran HAM berupa Perpres No. 14/2007.

Dalam menerapkan ketentuan pasal 9 UU No. 26/2000 – berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo tersebut - haruslah melihat pada tujuan keadilan substansialnya dimana yang sangat dan lebih penting untuk dilihat adalah luasnya penderitaan dan banyaknya korban akibat konspirasi pelanggaran kaidah-kaidah hukum keselamatan rakyat serta kaidah-kaidah keteknikan yang baik pada praktik usaha pertambangan yang sengaja dilakukan di wilayah padat penduduk. Kejahatan kemanusiaan dalam kasus itu tampak pada kuatnya pertimbangan ekonomi korporasi yang mengabaikan hak-hak keselamatan manusia (penduduk). Tafsir demikian itu mutlak dilakukan untuk melindungi hak-hak para korban dan guna mencegah agar peristiwa semacam itu tidak akan terulang di masa depan. Jika kasus sebesar itu dengan ekskalasi korban yang sedemikian luas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, justru itu tidak masuk akal.

3. Penegakan HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Salah satu cara penegakan HAM dalam kasus lumpur Lapindo tersebut adalah membawa para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo tersebut ke Pengadilan HAM sesuai dengan Hukum Acara yang diatur menurut UU No. 26/2000.

Para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo yang terpenting harus bertanggung jawab adalah:

a. Para pejabat pemerintahan yang mengeluarkan ijin eksplorasi Sumur BJP-1, yaitu Menteri yang menawarkan wilayah pertambangan, pejabat BP Migas yang mengeluarkan rekomendasi, Bupati Sidoarjo atau Gubernur Jawa Timur yang menyetujui adanya eksplorasi serta memberikan ijin lokasi.

b. Para penanggungjawab (intelectual actor) korporasi yang memerintahkan dilakukannya pemboran di Sumur BJP-1 yang ada di Grup Bakrie. Lapindo hanyalah anak korporasi dari EMP yang berada dalam imperium bisnis Grup Bakrie.

c. Para pejabat pemerintah yang melakukan pembiaran dilakukannya kejahatan kemanusiaan, termasuk Presiden RI yang melegalisasi pelanggaran HAM berat tersebut dengan Perpres No. 14/2007 yang bahkan memfasilitasi akibat pelanggaran HAM berat itu dengan dana APBN.

Jika forum hukum nasional setelah ditempuh tetapi tidak dapat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut maka sesuai dengan prinsip penegakan HAM internasional maka kasus tersebut dibawa ke forum hukum internasional untuk mendapatkan penyelesaian yang adil sebab persoalan HAM sudah menjadi Hukum Internasional.

Namun salah satu kendala dalam penegakan HAM di Indonesia adalah tidak adanya kebaruan sistem penyidikan dan penuntutan sebab masih dilakukan oleh Kejaksaan, sedangkan wewenang Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik. Padahal kultur lembaga penegakan hukum konvensional di Indonesia masih cenderung korup dan bergaya positivistik meski mulai juga ada perkembangan sedikit ke arah hukum yang terbuka (unstrict law).

D. SIMPULAN

Kasus lumpur Lapindo merupakan perkara kejahatan kemanusiaan yang merupakan bentuk pelanggaran HAM berat.

E. SARAN

1. Dilakukan tafsir progresif terhadap bentuk kejahatan kemanusiaan menurut UU No. 26/2000 dengan melihat luasnya korban dan beratnya penderitaan korban lumpur Lapindo. Tafsir ini diterapkan pula dalam kasus-kasus lainnya.

2. Alat bukti hasil audit BPK tersebut agar diperkuat dengan alat bukti lainnya temuan Komnas HAM.

3. Komnas HAM melakukan konsolidasi publik agar mendesak legislator untuk memperbaiki UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000 agar Komnas HAM diberikan wewenang sebagai lembaga penyelidik, penyidik dan penuntut seperti contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Minggu, 25 Mei 2008

Melawan Kekerasan

SERUAN SOLIDARITAS
MELAWAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN PEMERINTAH
KEPADA MAHASISWA / AKTIVIS
PADA AKSI DAMAI MENOLAK KENAIKAN HARGA BBM
DI SURABAYA, 24 MEI 2008
Surabaya, 24 Mei 2008
Aliansi Pembela Rakyat (APR) menyerukan hal sebagai berikut:
1. Pada 24 Mei 2008, para mahasiswa / aktivis melakukan aksi damai menolak keputusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY – JK) yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
2. Pasukan Polisi di Surabaya telah menyerang aksi damai tersebut yang sedianya hendak membakar poster SBY – JK sebagai simbol ketidakpercayaan kepada pemerintahan SBY – JK karena keputusan yang menyengsarakan dan melukai perasaan rakyat tersebut.
3. Akibat serangan polisi kepada para mahasiswa / aktivis dalam aksi tersebut maka jatuh korban, yaitu:
Melly, mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, anggota PMII, menderita luka bakar.
Anisa Puji Lestari, mahasiswi Unair Surabaya, BEM Fisip Unair, menjadi korban pemukulan polisi.
Maryamah, mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota LMND, menjadi korban pemukulan polisi.
Didik Setyabudi alias Simon, mahasiswa IAIN Surabaya, anggota FMN, menderita luka bakar.
M. Darwis, mahasiswa Akademi Wartawan Surabaya (AWS), menderita luka bakar di tangan, punggung dan kaki.
Imron, mahasiswa Unair Surabaya, anggota PMII menderita luka di kaki (sobek).
Anggoro, anggota GSBI menderita luka di sekitar mata akibat pukulan polisi.
Rangga Bisma Aditya, mahasiswa Unair Surabaya, anggota BEM Fisip Unair, menderita luka sekitar mata akibat pemukulan polisi.
Iswandi Saputra, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, anggota SRMI, menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan polisi.
Para korban tersebut dipukuli dengan popor senjata, dan yang terluka bakar akibat serangan polisi sehingga bensin tertumpah terbakar api saat peserta aksi akan membakar poster SBY – Kalla yang mereka bawa sendiri.
Korban lainnya belum kami ketahui.
Seruan:
  1. Kami menyeru agar para advokat yang peduli bersedia memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada gerakan moral di seluruh Indonesia yang menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM yang tidak memihak rakyat dan hanya menguntungkan korporasi penguasa migas di negara ini.
  1. Gerakan perlawanan tersebut harus dilanjutkan secara terus-menerus dan semakin merapatkan barisan serta agar setiap orang / organisasi / perkumpulan turut andil dalam gerakan damai untuk melawan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada para mahasiswa / aktivis.
  1. Kita tidak akan berhenti dan akan terus-menerus semakin membesarkan gerakan untuk memperbaiki keadaan negara yang semakin parah akibat kepengurusan negara yang tidak adil dan memihak korporasi-korporasi asing.
  1. Setiap orang / organisasi / perkumpulan agar menyatukan langkah dan perjuangan untuk menuju pada reformasi yang sejati setelah 10 tahun reformasi terbukti gagal.

APR

Subagyo
Jurubicara
Tlp 081615461567
Di Surabaya --
Empat Aktivis Ditangkap setelah
Bakar Foto SBY-JK

Surabaya (Bali Post) -
Kenaikan harga BBM disikapi puluhan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) dengan berunjuk rasa Sabtu (24/5) kemarin. Aksi ini mengusung tema penolakan kenaikan BBM di depan Grahadi Surabaya. Hanya, aksi mulia dari mahasiswa dan buruh yang semula damai berakhir rusuh. Terutama saat puluhan mahasiswa dan buruh yang berbuat nekat dengan membakar foto Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla serta membakar ban bekas.

Aksi membakar foto Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, sebagai simbol ketidakpercayaan kepada pemerintahan SBY - JK karena keputusan menaikkan harga BBM dianggap menyengsarakan dan melukai perasaan rakyat. Saat massa aksi akan membakar poster bergambar Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, tiba-tiba polisi datang dan membubarkan aksi massa FPR Surabaya.

Beberapa pengunjuk rasa khususnya perempuan, berteriak histeris melihat kawan-kawannya dihalau polisi. Beberapa di antara mahasiswa yang tidak sempat menghindar dari kerusuhan itu, langsung diseret dan ditangkap. Sempat terjadi kejar-kejaran antara massa aksi dan polisi. Akibat bentrokan itu, sejumlah mahasiswa di sekujur tubuhnya mengalami luka-luka akibat pentungan dan pukulan polisi serta luka bakar. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap empat mahasiswa dan buruh yang diduga sebagai provokator.

Kasat Reskrim Polres Surabaya Selatan, AKP Yimmi Kurniawan, mengatakan dalam aksi itu empat orang diamankan petugas di Mapolres Surabaya Selatan. Keempat mahasiswa dan buruh yang diamankan itu sempat menjalani perawatan di rumah sakit karena mengalami luka ringan, sebelum dibawa ke Mapolres Surabaya Selatan. Jubir Aliansi Pembela Rakyat (APR), Subagyo, menyerukan agar para advokat yang peduli bersedia memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada gerakan moral di seluruh Indonesia yang menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM yang tidak memihak rakyat dan hanya menguntungkan korporasi penguasa migas.

Menurut dia, gerakan perlawanan harus dilanjutkan terus dan semakin merapatkan barisan agar setiap orang dan organisasi turut andil dalam gerakan damai untuk melawan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada para aktivis. ''Kita tidak akan berhenti dan akan membesarkan gerakan untuk memperbaiki keadaan negara yang semakin parah akibat kepengurusan negara yang tidak adil dan memihak korporasi-korporasi asing,'' katanya. (059)

Sumber: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2008/5/25/n1.html

Rabu, 14 Mei 2008

ANALISIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

TENTANG

SENGKETA ANTARA WARGA PETANI MARGORUKUN LESTARI BANYUWANGI DENGAN PTPN XII



  1. KASUS POSISI


Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi (selanjutnya disebut warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun korporasi manapun.

Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.

Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007.

Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.

Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata, ”Tanae embahe seng kok tiduri!” (Terjemahan: ”Tanah nenekmu yang kamu tiduri ya!”).

Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.

Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.

Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka.

Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.

Selanjutnya upaya-upaya pengusiran paksa terhadap warga petani Margorukun Lestari terus terjadi, termasuk dengan cara-cara kriminalisasi, hingga mereka para petani tersebut mengungsi di DPRD Banyuwangi dan setelah itu juga diusir oleh Kepolisian Resor Banyuwangi bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2008.



  1. MASALAH


    1. Bagaimanakah kedudukan hak hukum antara warga petani Margorukun Lestari dibandingkan dengan PTPN XII terhadap lahan seluas sekitar 568 hektar tersebut?


    1. Bagaimanakah konsekuensi upaya penyelesaian yang telah dilakukan PTPN XII dan Kepolisian dalam perkara tersebut?



  1. ANALISIS


    1. Komparasi Kedukukan Hak Warga Petani Margorukun Lestari dengan PTPN XII Atas Lahan Sengketa.


Perlu dipahami lebih dulu bahwa perkara atau sengketa antara warga dengan PTPN XII merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan adalah warga petani tersebut. Setelah itu PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya dengan alas hak PTPN XII adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No. 5 tahun 1988, sertifikat HGU No. 16 tahun 1988, dan sertifikat HGU No. 11 tahun 1999.

Sebenarnya secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.

Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat 2).

Artinya, warga negara Indonesia mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan baik.

Masyarakat petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka.

Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.

Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam pemberian HGU kepada PTPN XII tersebut sebab mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14). Jika PTPN XII memperoleh alas hak berdasarkan sertifikat HGU tahun 1988 maka pada waktu itu berlaku PP No. 10 / 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang juga mengatur prosedur pengumpulan data fisik dan yuridis. Tetapi ternyata pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. Ini yang secara hukum dikatakan sebagai manipulasi pengumpulan data fisik, sehingga konsekuensinya adalah cacat yuridis.

Jika dilihat dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih dulu untuk mengajukan permohonan hak milik. Hukum Agraria bukanlah seperti lomba lari cepat, siapa yang mencapai garis finish yang dianggap memenangkan pertandingan, tapi hal ini berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat. Artinya, seharusnya dalam proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Seharusnya warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut mempunyai hak prioritas. Jika ini dilanggar maka sertifikasi HGU tanah sengketa atas nama PTPN XII adalah melanggar HAM, terutama hak untuk bertempat tinggal dan hak untuk mendapatkan keadilan serta akses ekonomi atas tanah negara yang mereka kuasai lebih dulu.

Hakikat Hukum Agraria bersifat menciptakan keadilan sosial sebagaimana menurut pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. PTPN XII tidak boleh dengan alasan legal formal sebagai pemegang HGU lantas menyingkirkan warga dengan cara yang kasar sebab hal itu melanggar Hukum Agraria yang berkeadilan sosial. Pasal 2 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan juga menentukan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Warga sebagai warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara. Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa ataupun pihak-pihak lain.

Jadi, pemberian HGU atas lahan yang telah ditempati warga petani Margorukun Lestari tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial, melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Seandainya pernah ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga petani Margorukun Lestari selaku pihak yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh HGU atas tanah tersebut barulah PTPN XII berkomunikasi dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah.

Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan kehendak pemerintah pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.

Ketidakadilan sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah berat bagi pemerintah sendiri.

Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti itulah maka warga petani Margorukun Lestari dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.



    1. Pelanggaran HAM dan Tindakan Penyelesaian


Tindakan PTPN XII dan Kepolisian yang melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat petani tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kategori Kejahatan Kemanusiaan sebagaimana pasal 7 huruf b jo. pasal 9 huruf d UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan ancaman pidana penjara sekurang-kurangnya 10 tahun penjara dan selama-lamanya 25 tahun penjara (pasal 37), sebab tindakan tersebut melampaui batas hukum atau bahkan tanpa adanya perintah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pemidanaan terhadap 24 warga petani Margorukun Lestari di Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak dapat dieksekusi dengan cara pengusiran sebab eksekusi dalam putusan pidana adalah ‘pemidanaan’.

Fakta pengusiran paksa secara sistematis dilakukan dengan cara merusak tanaman warga, membongkar paksa serta membakar rumah, menganiaya, menakut-nakuti serta memaksa menandatangani perjanjian penyerahan lahan. Cara-cara itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menumbulkan penderitaan berat bagi warga petani Margorukun Lestari.

Persoalan bahwa legalitas tempat tinggal warga petani Margorukun Lestari, jika masih dalam sengketa maka merujuk pada fungsi sosial tanah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan dalam hal ini setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan pemerintah wajib memenuhinya. (pasal 28H ayat (1) jo. pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Jika PTPN XII melaporkan warga telah melakukan tindak pidana menurut UU No. 18/2004 tentang Perkebunan pasal 21 jo. 47 ayat (1) dan pasal 335 KUHP, maka warga pun dapat melaporkan para petinggi PTPN XII serta aparat Kepolisian yang terlibat, termasuk Kapolsek Kalibaru, Kapolres Banyuwangi serta para pejabat Kepolisian pengerah pasukan BRIMOB tersebut sebagai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat. Laporan tersebut dialamatkan ke Komnas HAM yang berwenang sebagai penyelidik. Tetapi karena perkara tersebut sudah masuk kategori ‘diketahui umum’ maka Komnas HAM bisa mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah projustisia guna membawa persoalan tersebut ke Pengadilan HAM.

Kepolisian sendiri seharusnya juga melakukan tindakan hukum penyidikan berkaitan dengan adanya perusakan hutan lindung oleh PTPN XII di wilayah operasional mereka di PTPN XII UUS Malangsari. Ini juga berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Dengan pembiaran adanya kejahatan lingkungan hidup tersebut menunjukkan bahwa negara juga melanggar (by ommision) HAM.

Dengan demikian, selain masalah pelanggaran HAM beratnya diajukan ke Pengadilan HAM maka pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan Pusat harus mengambil langkah-langkah guna memenuhi, menegakkan dan melindungi HAM warga petani Margorukun Lestari serta warga di sekitar hutan lindung yang dikelola PTPN XII. Hak-hak yang harus dipenuhi diantaranya hak atas lingkungan yang baik, tempat tinggal serta hak-hak ekonomi. Hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana ditentukan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.



KESIMPULAN


  1. Warga petani Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi sebenarnya mempunyai kedudukan hak yang sama dengan PTPN XII dalam memperoleh hak atas tanah. Warga petani Margorukun Lestari tersebut seharusnya mempunyai hak prioritas sebab lebih dulu menguasai dan mengelola tanah negara bebas tersebut. Perolehan HGU oleh PTPN XII dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi sebagai itikad tidak baik adalah cacat hukum sehingga warga petani Margorukun Lestari dapat mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah dan PTPN XII dalam soal itu agar negara memperlakukan warga secara adil untuk memperoleh hak milik atas tanah dari negara yang wajib memberikannya.


  1. Penyelesaian perselisihan antara warga dengan PTPN XII tersebut upaya-upaya represif berupa pengusiran paksa penduduk dari sebuah wilayah, yang dilakukan oleh PTPN XII, para Polisi yang merupakan kejahatan kemanusiaan, merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM yang berwenang selaku penyelidik kasus pelanggaran HAM dapat secara inisiatif melakukan tindakan projustisia untuk menyelidiki kasus tersebut agar nantinya dapat diadili di Pengadilan HAM. Tindakan pengusiran paksa terhadap komunitas masyarakat yang dilakukan sistematik ataupun dengan akibat meluas merupakan kejahatan kamanusiaan yang diancam pidana penjara minimum 10 tahun dan maksimum 25 tahun, berdasarkan UU No. 26/2000 pasal 7 huruf b jis. pasal 9 huruf d dan pasal 37.


Rabu, 07 Mei 2008

KRONOLOGI PENANGKAPAN 26 ORANG PETANI PENEGAL MARGORUKUN LESTARI DESA KEBONREJO, KECAMATAN KALIBARU, BANYUWANGI

29 April 2008, sekitar jam 14.00 -15.00 wib, serombongan polisi tak berseragam datang ke warga Margo Rukun Lestari (marules). Mereka menangkapi setiap penegal yang ditemui.

Warga Penegal yang ditangkap pada hari itu ± 26 orang, yaitu:

  1. Sugianto (ketua)
  2. Pak Wahid
  3. Pak Samiati
  4. Antok
  5. Pak Surawi
  6. Bu Samiati
  7. Ropi’i
  8. Pak Sunar
  9. Bu Sop
  10. Pak Ketut
  11. Pak Win
  12. Farhan (3th) anak Bu Sop
  13. Pak Ti Cikrak
  14. Bisri
  15. Pak Sop
  16. Pak Hikmah
  17. Pak Yusuf
  18. Pak Imron
  19. Pak Sanusi
  20. Pak Paesa
  21. Pak Siti
  22. Pak Sulhan
  23. Zaini
  24. Pak Atim
  25. Pak Slamet
  26. Pak Karim

Informasi tambahan, bahwa masih ada proses penangkapan oleh pihak kepolisian. Walaupun tanggal 30 april, Komnas HAM melalui surat No: 875/K/PMT-WATUA I/IV/08. yang ditandatangani wakil Ketua KOMNASHAM Ridha Saleh telah meminta Penghentian Penangkapan.
Penegal yang tidak tertangkap tercerai berai. Sebagian besar mereka lari ke hutan tanpa membawa perbekalan.

30 April 2008, 2 (dua) orang penegal (Agus dan Musleh) mengadu ke Komnas HAM. Pengaduan berkenaan dengan penangkapan terhadap ± 28 penegal Margo Rukun Lestari (marules) yang ditangkap pada tanggal 29 April 2008. Saat itu juga, Komnas HAM melalui wakil ketuanya (M. Ridha Shaleh) mengirimkan surat kepada Kapolres Banyuwangi, berisi penghentian tindakan penangkapan kepada para petani. Dalam surat ini, Komnas HAM mendesak Kapolres Banyuwangi untuk menghentikan penangkapan dan mengeluarkan 28 orang penegal yang ditangkap sebelumnya. Komnas HAM juga mengingatkan bahwa sengketa agraria antara Penegal Margorukun Lestari dengan PTPN XII UUS Malangsari masih dalam tahap mediasi.

1 Mei 2008, sebanyak 2 truk polisi bersama keamanan kebun (PTPN XII UUS Malangsari) datang kembali ke Margo Rukun Lestari (marules). Mereka mengintimidasi penegal yang masih bertahan di Margorukun Lestari. Penegal diberi batas waktu hingga hari senin tanggal 05 mei 2008 untuk meninggalkan tanah yang dikelola penegal.

4 Mei 2008, serombongan keamanan dan polisi masih terus mengintimidasi penegal (ibu-ibu dan anak-anak). Mereka juga mendobrak rumah-rumah penegal. Penegal yang dicari adalah: Pak Mat Rais, pak Slamet, dan Pak Yusuf Bahri

Sampai dengan 6 Mei 2008 ini masyarakat petani penegal tersebut telah diblokir aksesnya dari jalan keluar melaui PTPN XII UUS Malangsari, lalu warga penegal memutar melalui Glenmor hendak mengungsi di gedung DPRD Banyuwangi. Tetapi tampaknya mereka dihadang oleh petugas Polres Banyuwangi.(*)

Senin, 05 Mei 2008

LAPORAN INVESTIGASI KASUS PETANI MARGORUKUN LESTARI (MARULES)

28 Pebruari 2008 :

Pukul 04.30 Rumah Pak Marsamo dibakar. Letak rumah berada di kelompok 1, samping Musholla. Dalam kejadian itu rumah sebelah kirinya sebagian dinding rumahnya juga ikut terbakar. Padahal Musholla di samping rumah tersebut Pukul 04.00 masih digunakan untuk tempat jaga sekitar 8 orang Marules.


29 Pebruari 2008 :

Sururi, Gangsar, Amin, dan Embah bertemu dengan Kyai Hasan Afdillah yang beralamat di pasar Glenmore. Dalam pertemuan tersebut petani Marules meminta dukungan, perlindungan dari kemungkinan – kemungkinan serangan yang dilakukan oleh buruh kebun dan juga izin lebih dulu untuk menemui PCNU Banyuwangi. Hasil dari pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa PCNU bukanlah lembaga Politik tetapi merupakan ormas Islam yang tidak mengurusi masalah politik tanah.


1 Maret 2008:

Relawan pendamping warga Marules (Yoyok, Amin, dan Mbah) bertemu dengan ketua PCNU Banyuwangi Kyai Maskur Ali untuk meminta dukungan agar PCNU sebagai Ormas terbesar di Banyuwangi untuk mengeluarkan pernyataan secara politik untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan dan penangkapan yang dilakukan oleh PTPN XII Malangsari. Dalam kesempatan tersebut Kyai menghubungi Ketua DPRD Banyuwangi yaitu Wahyudi namun sampai beberapa waktu di hubungi HP-nya tidak diangkat. Kemudian Kyai menghubungi Samsul dari Komisi A DPRD Banyuwangi. Dalam percakapan tersebut Samsul menjelaskan akan berencana ke Marules besok harinya tepatnya tanggal 2 Maret 2008 bersama “ Tim “. Pada pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa Kyai bersedia membantu asal mendapat Fatwa dari Kyai Hasan Afdillah selaku Dewan Penasihat PCNU Banyuwangi.

Dalam perjalanan naik ke atas di tengah jalan Yoyok, Amin dan Mbah dihubungi salah satu Dewan Pimpinan Marules agar jangan naik dulu. Hal ini dikarenakan bila kami naik pasti akan dihadang oleh 2 anggota polisi dan puluhan keamanan yang sedang membersihkan jalan di kelompok 1, guna mencegah konflik.


2 Maret 2008:

Samsul (dari Komisi A DPRD Banyuwangi) datang ke lokasi atas desakan Marules. Saat bertemu warga Marules di kelompok 1 Samsul mengatakan hanya untuk melihat – lihat pembangunan jalan lintas. Dalam percakapan di kantor Samsul berjanji akan menjadi orang paling depan untuk membantu Marules asalkan Marules benar. Dalam kunjungan itu Samsul datang secara individu ditemani dengan Iskhak yang mengaku dari LSM Gempa, bukan sebagai Tim DPRD Banyuwangi.


3 Maret 2008:

Warga Marules bernama Nanang salah satu dari 3 saksi (selain Muslih dan Agus) yang akan memberikan kesaksiaannya terhadap perkara Pak Supardi pada kasus Marules ditangkap di Depan PN Banyuwangi oleh sekitar 8 orang dari Reserse Polres Banyuwangi beserta surat panggilan dengan alasan Nanang merupakan Daftar Pencarian Orang atas dugaan Penyerobotan Lahan.

Nanang ditangkap saat akan meluncur ke DPRD Banyuwangi beserta Agus. Hal itu dilakukan karena ternyata pada persidangan Pak Supar yang digunakan sebagai saksi hanyalah Muslih.


4 Maret 2008:

7 warga Marules mendatangi Ketua PCNU Banyuwangi untuk meminta dukungan dan bantuan penyelesaian agraria kasus Marules. Kyai menganjurkan untuk bertemu Haji Hasan di Kalibaru. Herman dan Janarko dua anggota Polres Banyuwangi mengantar surat panggilan dan penahanan terhadap Nanang.


5 Maret 2008:

9 warga Marules atas saran Kyai Maskhur Ali meluncur ke Haji Hasan dalam pertemuan itu NU ternyata sudah membentuk Tim antara lain anggotanya Asmadi (LPBHNU) dan Misnadi (LPBHNU) dengan nomor kontak 08124910596 atau 420770.


9 April 2008:

Pak Poniri, salah satu penegal Marules meninggal di LP Banyuwangi. (sebelumnya penegal bernama MISLADI meninggal dunia tanggal 18 Juni 2007 di LP Banyuwangi).


Selama bulan April 2008:

Intimidasi untuk mengusir warga Marules tetap terjadi, namun warga Marules tetap bertahan.


29 April - 1 Mei 2008:

28 warga tani Marules ditangkap polisi Polres Banyuwangi dibantu petugas keamanan PTPN XII di rumah-rumah mereka. Diantaranya seorang ibu dengan anaknya berumur 3 tahun.


1-5 Mei 2008:

Rumah-rumah warga tani Marules dijarah dan dirusak para petugas keamanan PTPN XII, para petani tersebar di beberapa titik, dan jalan masuk serta akses makanan ke warga Marules ditutup.

--- bersambung ---

Catatan komentar:

Itulah penyelesaian kasus sengketa agraria antara warga Marules dengan PTPN XII yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang dibiarkan pemerintah daerah kabupaten Banyuwangi, pemerintah provinsi Jawa Timur dan pemerintah Pusat. Katanya jaman reformasi ini mau lebih demokratis, tapi hanya pemilunya saja yang ramai dihiasi puluhan parpol dan menghabiskan anggaran negara. Rakyat kecil tetap saja disiksa.

Lembaga-lembaga atau organisasi keagamaan serta kampus di sekitarnya juga tidak terlalu responsif. Ada banyak rakyat di sini yang telah kehilangan negara, seperti halnya para korban lumpur Lapindo.