Minggu, 13 April 2008

Petani Margorukun Lestari Meninggal Lagi di LP Banyuwangi

Seorang petani penegal Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kalibaru, Banyuwangi, bernama P. PONIRI telah meninggal di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banyuwangi dalam masa penahanan sebab yang bersangkutan dikriminalisasi oleh PTPN XII UUS Malangsari.

Menurut keterangan SUGIANTO, koordianator petani Margorukun Lestari (Marules), kematian P. PONIRI terjadi tanggal 9 April 2008, tetapi pihak LP Banyuwangi tidak memberitahukan hal itu kepada keluarga petani penegal Marules.

Perlu diingat, sebelumnya juga salah satu dari 24 petani penegal Marules yang dipenjarakan bernama MISLADI meninggal dunia tanggal 18 Juni 2007 di LP Banyuwangi, dikarenakan yang bersangkutan telah sakit-sakitan sejak mulai ditahan oleh Penyidik Polres Banyuwangi, Kejaksaan Negeri Banyuwangi dan Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, diperparah oleh perlakuan kekerasan selama menjalani proses penyidikan, hingga keadaan yang tidak sehat di LP Banyuwangi disebabkan keadaan ruangan LP yang terlalu padat sehingga para terpidana setiap malam TIDUR DENGAN KAKI DITEKUK.

Pada saat jenazah almarhum MISLADI hendak dimakamkan di lahan petani penegal Marules yang disengketakan dengan PTPN XII, hal itu dicegat dan dihalang-halangi paksa oleh pihak keamanan PTPN XII yang dibantu oleh petugas polisi Polres Banyuwangi.

Tampaknya perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat kecil masih terus terjadi. Semoga dengan informasi ini semakin banyak pihak yang bersolidaritas.

Perkembangan penanganan kasus tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sedang melakukan mediasi dan mengalami perkembangan yang menarik sebab mulai menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Banyuwangi meski tidak intensif, tetapi kekerasan demi kekerasan masih berjalan.

Kamis, 10 April 2008

Membuka Teka-teki Penyebab Semburan Lumpur Lapindo

MEMBUKA TEKA-TEKI PENYEBAB SEMBURAN LUMPUR LAPINDO

Analisis Perbandingan Pendapat Para Ahli

Oleh: Subagyo


ABSTRAK

  1. Pendapat para ahli geologi, pemboran, dan perminyakan yang berpendapat bahwa semburan lumpur Sidoarjo disebabkan gempa Jogja telah meragukan sebab para ahli tersebut bukanlah ahli atau peneliti gempa bumi. Para ahli tersebut juga tidak pernah menganalisis secara mendalam pengaruh jeda waktu atau perbedaan peristiwa gempa Jogja 27 Mei 2006 dengan awal semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006. Sedangkan para ahli geologi serta pemboran yang berpendapat bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi Lapindo cocok atau sesuai dengan kejadian kronologi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo yang disusun oleh Lapindo Brantas Inc., BP Migas, Mekanik Kontraktor Pemboran Lapindo Brantas Inc (PT. Tiga Musim Jaya Mas) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun demikian untuk menghilangkan keraguan adanya pengaruh gempa Jogja atau tidak sebagai penyebab semburan lumpur tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang dilakukan ahli gempa berkerjasama dengan ahli geologi lainnya serta ahli pemboran minyak dan gas bumi (migas) dengan data-data primer. Lapindo Brantas Inc seharusnya buka-bukaan, tidak menyembunyikan data pentingnya untuk tujuan kemudahan menyimpulkan penyebab semburan lumpur itu guna penentuan metode upaya penghentian semburan lumpur Lapindo.


PENDAHULUAN

Hingga saat ini (tulisan ini dimulai 27 Maret 2008) penyebab semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) yang berlokasi di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo masih menjadi teka-teki. Ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan eksplorasi yang dilakukan kontraktor yang ditunjuk Lapindo (yang tanggung jawabnya ada di Lapindo) dan ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan fenomena alam mud volcano terkait gempa Jogja 27 Mei 2006.

Dua kelompok pendapat ahli tersebut mempengaruhi penegak hukum. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. (atas gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia / YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’. Dalam pertimbangan hukumnya Hakim PN Jakarta Pusat tersebut menyatakan:

Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.”

Tetapi hakim PN Jakarta Pusat tersebut tidak menghukum Lapindo dan para tergugat lainnya dengan alasan bahwa para Tergugat telah melaksanakan upaya secara optimal dalam memenuhi hak perlindungan korban maupun upaya penghentian semburan lumpur.

Sedangkan hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel. (atas gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia / WALHI) menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:

Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”

Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur dengan alasan adanya dualisme pendapat para ahli tersebut.

Untuk itulah, tulisan ini dimaksudkan untuk membedah dualisme pendapat para ahli yang selama ini dipersepsikan sebagai ‘bertolak belakang’ sehingga kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut menjadi polemik yang tidak jelas. Tulisan ini tunduk menggunakan formula ilmiah dalam menuju konklusi, melalui koleksi data, komparasi, klasifikasi, analisis hingga sampai pada konklusi untuk menjawab teka-teki tersebut. Oleh sebab penulis bukan ahli geologi dan bukan ahli pemboran perminyakan maka penulis mencari kebenaran penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut dengan menggunakan pendapat para ahli, termasuk mereka yang berada dalam dua kelompok yang berbeda pendapat.

Teknik pencarian kebenaran yang penulis gunakan adalah teknik komparatif seperti yang biasa digunakan oleh hakim, membandingkan pendapat para ahli yang berbeda pendapat, mencari titik-titik lemah dan titik-titik kuat, menggunakan logika obyektif, lalu menemukan konklusi sebagai teori, yang memungkinkan dalam bentuk:

  1. Menyetujui salah satu kelompok pendapat dengan menganggap kelompok pendapat lainnya tidak benar; atau

  2. Menemukan hukum atau teori berdasarkan titik singgung yang mempertemukan dua kelompok pendapat ahli yang berbeda; atau

  3. Tidak menemukan kebenaran dengan menyimpulkan bahwa kedua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut telah keliru dalam menyimpulkan penyebab semburan lumpur, atau

  4. yang lainnya.


KRONOLOGI KEJADIAN SEMBURAN

Penulis merupakan salah satu anggota Tim Advokasi Kemanusiaan Korban Lumpur Lapindo yang turut merumuskan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah. Untuk berusaha menjaga obyektivitas dan keadilan dalam merumuskan tulisan ini maka penulis juga menggunakan kronologi serta pendapat versi Lapindo dan pemerintah.


    1. Kronologi Versi Lapindo dan BP Migas


Berdasarkan fotocopy dokumen kronologi kejadian semburan lumpur Lapindo yang dibuat Lapindo dan Badan Pengawas Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tertanggal 12 Juni 2006, semburan lumpur Lapindo terjadi di lokasi sekitar Sumur BJP 1 Sidoarjo sebagai berikut:

      1. Pemboran sumur mulai 8 Maret 2006.

      2. Pemboran aman sampai dengan kedalaman 3.580 feet, casing 13 3/8” diset dan disemen.

      3. Pemboran dilanjutkan sampai dengan kedalaman 9.297 feet, terjadi kehilangan lumpur Sabtu pagi (Sabtu pagi tersebut adalah tanggal 27 Mei 2006, pen). Kejadian ini ditanggulangi dengan LCM (singkatan dari lost circulation material, pen).

      4. Selanjutnya direncanakan penyemenan di daerah loss (yang kehilangan lumpur itu, pen) dan pemasangan casing.

      5. Rangkaian pemboran dicabut (diangkat ke atas, pen) sampai kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well kick pada Minggu (hari Minggu tersebut adalah tanggal 28 Mei 2006, pen).

Kejadian well kick tersebut ditangani dengan Kill Mud sampai sumur tersebut mati dan bisa terkendali lagi. Selanjutnya dilakukan dilakukan sirkulasi lumpur untuk membersihkan sumur dari sepih bor.

      1. Rangkaian mata bor direncanakan untuk dicabut sampai ke permukaan tetapi tidak berhasil (terjepit).

      2. Pada Senin pagi (Senin pagi tersebut tanggal 29 Mei 2006, pen) timbul semburan lumpur alami 150 meter dari lokasi pemboran.

      3. Seminggu kemudian semburan lumpur alami tidak mengalami penurunan intensitas. Kondisi pemboran dinilai tidak aman. Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran. Rangkaian pemboran dilepaskan dan dipasang cement plug di bawah mata bor dan di atas pipa.

      4. Drilling rig dan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari lokasi dan dikembalikan kepada pemilik (siapa pemilik drilling rig dan alat pemboran?, pen).


    1. Kronologi Versi BPK


Dalam laporan auditnya tertanggal 29 Mei 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai berikut:

      1. Pemboran Sumur BJP 1 dimulai pada tanggal 8 Maret 2006.

      2. Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.

      3. Pada tanggal 29 Mei 2006 sejak jam 4.30 muncul semburan H2S, air dan lumpur ke permukaan. Lokasi semburan + 150 meter dari lokasi Sumur BJP 1.

      4. Karena luapan semburan lumpur mulai menggenangi area Sumur BJP 1, ada rekahan dan pipa terjepit, maka pada tanggal 4 Juni 2006 Sumur BJP 1 ditinggal untuk sementara (temporary well abandonment). Pada saat ditinggalkan, tinggi semburan berkisar 1-2 meter dan berasal dari tiga titik semburan.

      5. Akhirnya LBI (Lapindo) menutup sumur secara permanen (permanent well abandonment) pada tanggal 18 Agustus 2006 setelah upaya menghentikan semburan lumpur melalui Sumur BJP-1 gagal.


    1. Kronologi Versi Mekanik Kontraktor Pemboran


Syahdun, sorang mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas selaku kontraktor pemboran yang ditunjuk Lapindo menjelaskan kepada media (Kompas, 8/6/2006). Syahdun juga telah diperiksa penyidik Polda Jawa Timur dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Syahdun menjelaskan:

      1. Pada mulanya formasi sumur pemboran pecah.

      2. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet, gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa.

      3. Lumpur panas keluar dari kedalaman 9.000 feet atau 2.743 meter dari perut bumi, juga keluar dari enam titik lainnya.


Ketiga versi kronologi tersebut tidak berbeda secara substansial, sehingga dalam soal tersebut tidak ada masalah.


PENDAPAT PARA AHLI


Pendapat ahli yang penulis kutip selanjutnya ini hanya beberapa ahli geologi dan pemboran perminyakan berasal dari Indonesia yang relevan dalam mencaritahu penyebab semburan lumpur Lapindo. Penulis sengaja tidak menggunakan hasil analisis Prof. Richard J Davies sebagaimana di di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 maupun hasil laporan PBB Juni-Juli 2006 dengan alasan menghindari kecurigaan subyektivitas persepsi sebab keduanya merupakan produk 'asing', meski sesungguhnya dalam kajian ilmiah tidak etis untuk berlaku diskriminatif.

Dengan ukuran obyektivitas maka hasil analisis Prof. Richard J Davies tersebut menurut penulis sebenarnya yang paling ilmiah dan masuk akal sebab bisa dengan tepat menjelaskan pengaruh gempa Jogja yang berbeda waktu dengan awal peristiwa semburan lumpur Lapindo. Maka penulis mencoba sengaja untuk memulai analisis ini dengan mengakomodasi pemikiran para ahli yang telah 'meminjam data-data' pihak Lapindo (termasuk Energi Mega Persada), sebab penulis merupakan salah satu anggota perumus gugatan kepada Lapindo Brantas Inc dan tergugat lainnya yang dilakukan YLBHI dan WALHI.

Pada dasarnya terdapat dua kelompok ahli yang berpendapat dalam soal penyebab semburan lumpur Sidoarjo, yaitu: Kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur karena bencana alam, dan kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur Lapindo karena kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Bencana Alam


Penulis tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pada dasarnya pendapatnya dilandasi argumentasi yang sama. Dalam kelompok ahli ini saya kutip pendapat beberapa ahli yang cukup mewakili sebab para ahli ini diantaranya diminta pihak Lapindo untuk menjadi ahli di PN Jakarta Pusat dan Selatan dalam sidang atas gugatan YLBHI dan WALHI. Para ahli tersebut adalah:

      1. Agus Guntoro, ahli Teknik Geologi Universitas Trisaksi, peneliti anggota Tim Investigasi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

      2. Sukendar Asikin, Guru Besar, ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB).

      3. Mochamad Sofian Hadi, ahli geologi dipekerjakan di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

      4. Dody Nawangsidi, ahli Teknik Perminyakan dari ITB.


Pendapat ahli Agus Guntoro :

Ia menjelaskan perdapatnya dalam Temu Ilmiah Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Analisa Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya, di Jakarta, 7 Desember 2006 yang diorganisasi oleh Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas). Dalam acara tersebut Agus Guntoro memaparkan makalahnya berjudul: Hipotesa Semburan Lumpur Sidoarjo dari perspektif Geologi. Agus Guntoro menjelaskan 4 (empat) hipotesa penyebab semburan lumpur Lapindo, yaitu:

  1. Semburan akibat pemboran Sumur BJP 1,

  2. Semburan akibat Gempa Jogja (terjadi dua hari sebelum semburan Lusi),

  3. Semburan akibat proses aktivitas Gunung Lumpur (mud volcano), dan

  4. Semburan akibat adanya aktivitas panas bumi (geothermal).


Dalam makalahnya tersebut Agus Guntoro berkesimpulan diantaranya khusus dalam soal penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut di kesimpulan huruf d dinyatakan: “Sangat mungkin semburan lumpur Sidoarjo tidak berkaitan dengan pemboran tetapi merupakan sebuah fenomena alam berupa mud volcano yang keluar melalui zona patahan yang teraktifasi yang dapat disebabkan oleh gempa Jogjakarta yang mendahului 2 hari sebelum semburan.”


Agus Guntoro menjelaskan bahwa naiknya erupsi semburan lumpur panas di daerah sekitar Sumur BJP 1 merupakan hasil dari adanya zona plastis yang merupakan bagian dari shale diapirism yang naik ke permukaan sebagai mud volcano. Fenomena ini tersebar secara regional dari Jawa Barat hingga utara Lombok. Patahan-patahan yang terekam pada bawah permukaan bukan semata terbentuk secara tektonik dan merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Contemporaneuous Fault System. Patahan tersebut sangat labil terhadap pergerakan masa dari sepih yang masih plastis dan inkompetibel.


Menurut Guntoro, dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.


Dalam keterangannya di muka PN Jakarta Selatan (gugatan WALHI kepada Lapindo dll.) Agus Guntoro menerangkan telah melakukan penelitian sehingga menyimpulkan, diantaranya:

    • Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    • Hasil analisis air menunjukkan lumpur dan air itu merupakan dua sistem yang berbeda letaknya.

    • Adanya gas H2S yang biasanya menunjukkan di dalam geologi untuk Jawa Timur berasal dari formasi Kujung.

    • Kandungan Florid berkisar sekitar 14.000 ppm, sangat tinggi dan tidak berasal dari formasi Kalibeng di mana lumpur itu berasal.


Dalam korelasi antara gempa Jogja dengan masalah pemboran Guntoro menjelaskan:

    • Bahwa terjadi korelasi antara gempa dengan proses loss yang terjadi pada saat pemboran yaitu sekitar 10 menit setelah terjadinya gempa Jogja yang terjadi persis loss yang hilangnya lumpur pemboran yang digunakan, kemudian 6 jam setelah itu terjadi loss mengakibatkan terjadinya loss dan kick.


Dalam acara Temu ilmiah di Jakarta (7/12/2006), Agus menjawab pertanyaan korelasi antara pemboran sumur Banjar Panji1 dengan mud volcano sebagai berikut:

    • Apa yang kita hadapi saat ini sangat kompleks, sehingga tidak bisa dilihat dari satu disiplin ilmu. Yang dilihat secara geologi adalah melihat fakta secara regional dengan menggunakan metode induksi dan deduksi. Karena tidak mungkin seorang geogolog memutuskan secara final, yang kita sampaikan adalah dari sudut pandang geologi.”


Guntoro di sidang PN Jakarta Selatan memastikan semburan lumpur Lapindo bukan karena aktivitas pemboran dengan alasan:

    • ada beberapa penelitian yang saksi (Agus Guntoro) lakukan menunjukkan bahwa air dan lumpur berasal dari dua sistem yang berbeda. Kemudian yang kita lihat adalah temperatur yang begitu tinggi tidak menunjukkan sebagai fluida yang dari titik bor sampai pada kedalaman.

    • Volume yang begitu besar sulit dibayangkan keluar dari lubang sumur yang diameternya 12,5 inchi, karena itu saksi (Agus Guntoro) berpendapat keluarnya semburan melalui suatu bidang yang berkaitan dengan aktivitas dari pergerakan kulit bumi.


Pendapat ahli Sukendar Asikin:

Ia menjelaskan secara lebih umum di hadapan hakim PN Jakarta Selatan berkaitan dengan adanya korelasi antara semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja. Asikin mengatakan:

    • Bahwa yang menyebabkan keluarnya lumpur di Sidoarjo adalah ada beberapa patahan atau cekungan yang diisi oleh sedimen. Sedimen ini lunak disebut lempung yang sangat tebal pada waktu terjadi gerak tektonik cekungan tadi sudah diiris oleh patahan-patahan, patahan-patahan itu akan bergerak kembali pada saat gerak tektonik. Patahan inilah menstimuler lempung bergerak ke atas.

    • Bahwa yang menyebabkan adanya lumpur Sidoarjo karena gerakan tektonik itu terjadi hanya beberapa saat setelah terjadi gempa.

    • Bahwa selain di Sidoarjo di tempat lain saksi pernah melihat gunung lumpur ini di Timor, di Irian, di Bangkalan dan di Purwodadi itu semuanya karena gerak kerak bumi atau tektonik tadi di Timor tidak ada pemboran, tapi gunung lumpur itu bersamaan keluarnya dengan oilship atau rembesan-rembesan minyak. Di situ ada lumpur yang bergerak ke atas tapi juga ada rembesan minyak.


Dalam kaitannya dengan jarak gempa Jogja dengan Sumur BJP 1 Sidoarjo yang lebih jauh (250 km) dibandingkan lokasi Bleduk Kuwu yang lebih dekat (120 km), Asikin menjawab:

    • Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya hanya sedikit.

(Keterangan Asikin ini tidak dicatat dalam putusan PN Jakarta Selatan tersebut, tapi direkam oleh Walhi: www.walhi.or.id, 8/11/2007)


Pendapat ahli Mochamad Sofian Hadi:

Ia menerangkan penyebab semburan lumpur Lapindo di PN Jakarta Selatan, diantaranya:

    • Saksi ahli dalam bidang tektonik dan telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan lumpur itu disebabkan tektonik terjadi apabila ada benturan.

    • Bahwa lumpur tersebut sampai keluar karena air bersentuhan dengan magma yang sanggup mendorong fluida keluar.

    • Bahwa yang menyebabkan lumpur Sidoarjo keluar adalah karena tektonik, lumpur yang sekarang ini keluar sama dengan di Madura.


Selanjutnya ia juga menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar setelah pemboran itu hanya kebetulan.

    • Bahwa luapan lumpur itu bisa dihentikan ada dua sisi tinjau, kalau sisi tinjau keliling melihat ini underground blowout jawabannya bisa dihentikan luapan lumpur tersebut, tapi kalau ini sisi tinjau mud volcano di mana air mendidih karena dapur magma menjawabnya tidak bisa dihentikan luapan lumpur tersebut.


Pendapat ahli Dody Nawangsidi:

Soal tidak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran di Sumur BJP 1 tersebut Dody Nawangsidi di PN Jakarta Selatan menerangkan:

    • Bahwa pemasangan casing itu adalah kick toleran apa terlampau atau tidak dan pada saat itu kick toleran belum melampaui harga minimum maka pemboran tersebut bisa dilakukan sampai sedalam mungkin. Ini hal yang normal dan di mana-mana orang mengebor itu dengan open hole tanpa casing itu sangat panjang, jauh melebihi yang di Banjar Panji. Di dunia ternyata lebih panjang itu misalnya di Laut Cina Selatan, Selat Madura, Kalimantan 6.000 feet belum dipasang casing.

    • Bahwa sumur BJP 1 belum terpasang casing sampai kedalaman lubang terbuka 6.000 feet itu merupakan hal yang wajar, bukan kesalahan.

    • Bahwa proses pemboran di Sumur BJP 1 setelah saksi pelajari dari data perencanaan hingga operasi dan penanggulangan masalah, semuanya tidak ada yang menyalahi prosedur, semuanya sudah sesuai dengan prosedur yang ada.


Soal keluarnya lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa degan pemboran ini tidak ada hubungannya dengan keluarnya lumpur. Patahan ini dalamnya 20.000 kaki sedangkan pemboran hanya 900 kaki (maksudnya 9.000 kaki, pen) dan casingnya tidak pecah.

    • Bahwa operasi pemboran di BJP 1 tidak ada yang menyalahi prosedur, dapat dipertanggungjawabkan.

    • Bahwa korelasi antara semburan lumpur dengan pemboran Sumur BJP 1 adalah salah satu korban dari kejadian tektonik itu.

    • Bahwa lumpur Lapindo itu tidak disebabkan drilling accident, karena lumpur tidak berasal dari lubang sumur.


Soal pengaruh gempa dengan jauh-dekatnya jarak suatu tempat, Dody menerangkan:

    • (Tergantung) tingkat kestabilannya, kalau gempa terjadi di suatu lokasi maka pengaruh yang paling dirasakan belum tentu di daerah yang paling dekat, bisa juga di tempat lebih jauh lebih terasa, tergantung struktur lempeng di bawahnya.

    • Saya bukan ahli gempa.” (lihat rekaman Walhi di http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/Lapindo_2007_11_14/).


Tentang lumpur yang muncul dari pemboran Dody berteori:

    • (Lumpur pemboran itu dari) yang pertama berasal dari kaki casing yang pecah, lalu lumpur menyembur keluar dari tempat pemboran, tapi kalau terjadi underground blowout itu keluar dari kaki casing dan kemudian muncul ke atas.

    • Pada umumnya (lumpur karena pemboran) terjadi di lubang pemboran bisa juga di tempat lain yang jauh dari pemboran kurang lebih radius 40 meter.


Soal asal lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar dari tempat lain selain pemboran karena lumpur itu ada di lapisan 3.000 – 4.000, lempung yang keras kemudian ada air mengalir dari bawah kira-kira 20.000 kaki, dia akan bercampur dengan lempung sehingga akan terjadi lumpur karena selnya reaktif maka lumpur bertekanan tinggi mencari jalan keluar melalui rekahan dan kalau semburan akibat pemboran tidak lebih dari 750 m3 per hari. Ini 200 kali lipat.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Pemboran Lapindo.


Penulis juga tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pendapat mereka juga hampir sama secara substansial.

      1. Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo.

      2. Andang Bachtiar, ahli geologi dan pemboran perminyakan, anggota Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI).

      3. Adi Susilo, ahli geosains, Kepala Laboratorium Geosains Universitas Brawijaya Malang.

      4. Amin Widodo, ahli studi bencana, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.


Pendapat ahli Rudi Rubiandini:

Tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu Rudi menerangkan sebagai ahli di PN Jakarta Selatan sebagai berikut:

    • Bahwa semburan lumpur Lapindo ini terjadi (hasil dari hasil investigasi yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan) disimpulkan keluarnya air panas dan asin yang naik ke permukaan menggerus tanah liat kemudian meretakkan batuan di permukaan di dalam lubang yang tidak terpasang casing kemudian keluar ke permukaan menjadi semburan gunung lumpur, itu fenomena yang terjadi di Sumur BJP 1 sekarang.

    • Bahwa data-datanya diperoleh dari daily drilling report yaitu sebuah data-data yang selalu dicatat oleh ahli pemboran, dari situ dapat dilihat bahwa tekanan yang terjadi dalam lubang melebihi kekuatan tekanan batuan yang dimiliki oleh batuan selama pemboran. Akibat tekanan yang melebihi tadi mengakibatkan bahwa batuan menjadi rekah dan tidak mungkin lagi fluida di dalam lubang selamanya sehingga mencari jalan keluar, keluarlah seperti sekarang akhirnya membesar. Sekarang sudah sangat membesar sekali lubangnya sehingga laju alir atau debitnya sudah jauh lebih besar daripada saat awal alirannya sangat kecil, dengan waktu fluktuasi sekarang aliran sudah kontinyu dan mengalir membesar karena lubangnya besar.

    • Bahwa dari data-data, secara ringkas penyebab utama semburan lumpur ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.

    • Bahwa penyebab semburan lumpur ini dari investigasi kami sejak bulan Juni tahun yang lalu kesimpulannya kami bahwa tetap semburan ini disebabkan pada awalnya pada lubang Sumur BJP 1 yang saat itu sedang dibor oleh PT. Lapindo Brantas.


Soal kelanjutan upaya penghentian semburan dengan relief well yang pernah dilakukan Lapindo, Rudi menerangkan:

    • Bahwa ketika saksi (Rudi, pen) sudah masuk Timnas sudah menyarankan relief well tersebut. Saran itu jelas dilaksanakan dan diterima oleh sistem namun kemudian tidak dapat dilanjutkan, yang terakhir kendalanya adalah bahwa biaya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut sudah habis, karena itu pekerjaan tidak diteruskan dan pemboran hanya berhenti di tengah jalan.


Rudi menyinggung kaitannya dengan Sumur Porong sebagai berikut:

    • Bahwa jarak Sumur BJP 1 dengan Porong kira-kira 4,5 km sudah dibor lebih dulu kedalamannya relatif sama, tidak menghasilkan, itu juga sumur eksplorasi yang memiliki kedalaman sama. Ada yang sudah menghasilkan di dekat situ namanya sumur Wunut jaraknya kira-kira 2,5 atau 3 km, namun sumurnya cukup dangkal sehingga tidak korelatif dengan sumur yang sedang dibor.


Soal prinsip kick toleran Rudi menjelaskan:

    • Bahwa dikatakan aman atau tidak aman keadaan di bawah tanah secara teknis ada beberapa metode. Metode pertama adalah engineering yaitu melihat berapa kick toleran. Toleran itu adalah berapa sempat sebuah lumpur nanti pada saat dibor ketika terjadi kick dia bertahan. Dalam hitungan saksi (Rudi, pen) Sumur BJP 1 itu sampai kedalaman 9.297 itu hanya memiliki 0,5 pond per gallon dan itu secara operasional dapat diperbolehkan selama tidak ada kejadian apapun jika ketika membor normal itu aman. Namun ketika terjadi proses tadi tekanan kick pasti tidak aman karena tekanan jauh melebihi tekanan tersebut.


Dalam soal kaitan antara casing dengan kejadian kick, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang menyebabkan terjadinya kick bukan karena tidak dipasang casing. Kick adalah sebuah kecelakaan pemboran yang kita temui. Ada loss, ada kick, ada stuck. Tapi ketika ada kick kemungkinan kita punya casing maka akan aman-aman saja.


Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang berkembang sekarang di media massa adalah beberapa ahli menyatakan gempa bumi, menyatakan geothermal, semua pernyataan tersebut setelah dianalisa kembali dengan data-data dari hasil pemboran dari luapan, dari tekanan, termasuk juga dari hasil evaluasi ahli geofisis tentang gempa ternyata bahwa hipotesa-hipotesa itu terlalu lemah untuk menyatakan bahwa penyebab semburan itu dalah hasil metode tersebut. Sedangkan data-data otentik yang diperoleh dari hasil pemboran cukup memperkuat bahwa aliran itu pertama keluar pada saat pemboran terjadi pada saat kick terjadi.


    • Bahwa hubungan kejadian gempa dengan tidak terpasangnya casing dari analisa ahli geofisis mengatakan itu terlalu jauh untuk mengakibatkan terjadinya semburan Lapindo dari Jogjakarta dan itu jaraknya kira-kira 300 km, itu tidak ada hubungannya.


Soal fungsi rig pemboran saat semburan lumpur terjadi, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa pada saat terjadinya blowout, rig itu tidak boleh pergi. Rig itu harus melakukan killing sampai rig itu terbakar. Yang terjadi di Sumur BJP 1 itu rig pergi setelah memotong pipa sehingga sehingga sangat kesulitan pada saat melakukan killing sehingga kita menunggu 4 bulan blowout sejak 29 Mei 2006.


Pendapat ahli Andang Bachtiar:

Ia pernah memaparkan hasil-hasil temuan datanya dalam presentasi berjudul: “Banjarpanji, Mud Volcano in The Making, Tinjauan Geologi Lumpur Porong” tanggal 7 September 2006. Andang memaparkan fakta temuan semburan, material dan data-data yang berkaitan dengan sumber semburan lumpur sebagai berikut:

    • Appears approx. 200 m from well.

    • Initial burst contains H2S 35 ppm but disappeared or significantly reduced on the second day, Zero for a long time but currently some amount is detected. H2S was encountered when drilling into and kick from Carbonate.

    • MUD - WATER 70%, SOLID 30%.

    • Chloride content: 14.000 ppm.

    • Mud Temperature at Surface: steam 212o F (100 o C). Mixing with near surface water is assumed.

    • Found Nanno and Foram fossils.

    • Contains organic materials of Terrestrial and Marine origin.

    • Thermal Maturity is equivalent to Ro 0.64%.

    • Contains predominantly of Quarts (SiO2) and Clay materials (Smectite, Chlorite and Kaolinite).

    • Contains some Hydrocarbon which is different than the SOBM used to drill the Banjarpanji-1 well.


Dari data-data tersebut Andang membuat kesimpulan asal semburan lumpur, yaitu:

Sources of Solid:

  • The Overpressured Shale

    • Foram & Nanno fossils found suggest from 6.000-4.000 ft.

    • Thermal maturity suggest from 5100 – 6300 ft

    • Kerogen composition correlatable with SWC from 5.600 ft

    • Temperature estimated source is from 5.100-5.500 ft

  • Also contribute water (trapped water) è MOST LIKELY


Sources of Water/Gas/Energy (drive)

  • Kujung Formation.: Initial burst contain H2S suggest contribution from Kujung.

    • Presence of H2S upto present time suggest continued contribution of Kujung

  • Highly porous and permeable Sandstone 6.360-6.385 ft

  • Volcanic Sandstone at 6.100 ft. Superchaged from overlying shale. Limited contribution as it is tight. Should not last long. ==è Pressure reconciliation problems


    • Dalam presentasinya tersebut Andang menjelaskan bahwa gempa Jogja kecil kemungkinannya sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo.

    • Ia menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah bor Lapindo menembus lapisan mud diapir.

    • Andang berkali-kali meminta secara terbuka agar Lapindo membuka data-data yang disembunyikan.


Pendapat ahli Adi Susilo:

Ahli geosains Universitas Brawijaya ini berpendapat (Kompas, 8/6/2006):

    • Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak BJP 1 bukan merupakan bencana alam, tapi merupakan ketidakberuntungan.

    • Diduga, saat penggalian dilakukan lubang galian belum sembat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.

    • Lubang itu menganga karena gempa bumi di Jogja yang getarannya dirasakan sampai ke Sidoarjo.

    • Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon yang merupakan bahan baku minyak bumi muncrat karena tekanannya sangat kuat.

    • Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pemboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah ditemukan.


Pendapat ahli Amien Widodo:

Ia menjelaskan (Kompas, 8/6/2006):

    • Semburan lumpur Lapindo dimungkinkan karena kesalahan prosedural yang mengakibatkan blowout.

    • Secara prosedural kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar ini mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah.

    • Lumpur yang terbawa keluar pun bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang menutup lapisan gas di dalam tanah.

Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Amien berpendapat:

    • Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter untuk menimbulkan rekahan seperti yang terjadi di Yogyakarta. Di Surabaya yang terasa paling 2 skala richter.

    • Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalaupun ada retakan yang melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar Surabaya ke arah Barat Daya Pacitan.


ANALISIS PERBANDINGAN

  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam

Jika pendapat ahli Agus Guntoro, Sukendar Asikin, Mochamad Sofian Hadi dan Dody Nawangsidi diperbandingkan maka akan ditemukan keadaan-keadaan:

    1. Keterangan Agus Guntoro yang tidak sama dalam hal yang sama, yaitu:

Dalam acara Temu Ilmiah tersebut Agus Guntoro menyatakan:

Dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.”

Ini berbeda dengan keterangannya di PN Jakarta Selatan yang menerangkan: “Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).”

(catatan penulis: Zona atau lapisan bumi Ngimbang, Kujung dan Kalibeng berbeda dalam usia, bentuk lapisan dan kedalamannya).

    1. Keterangan empat ahli tersebut sama dalam hal bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo karena rekahan tanah di sekitar Sumur BJP 1 karena gerakan tektonik.

    1. Dody Nawangsidi mengatakan asal lumpur semburan dari kedalaman 3000 – 4000 kaki, sedangkan Agus Guntoro mengatakan asal lumpur berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    1. Perbedaan interpretasi dalam soal sama tersebut dimungkinkan karena perbedaan jenis data yang dianalisis, yaitu data seismic dan data material. Tetapi ini sekaligus menunjukkan bahwa konklusi data geologis ternyata rentan dengan ‘kesalahan’.


  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Jika pendapat ahli Rudi Rubiandini, Andang Bachtiar, Adi Susilo, dan Amin Widodo diperbandingkan maka akan diperoleh temuan:

    1. Para ahli ini sama pendapat bahwa telah terjadi kesalahan eksplorasi oleh Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur tersebut.

    1. Amien Widodo memastikan gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur sebab kekuatannya tidak memenuhi syarat untuk adanya rekahan (di lokasi semburan lumpur tidak sampai 6 skala richter tapi hanya sekitar 2 skala richter). Pendapat ini sama dengan Andang Bachtiar yang membandingkan jarak dengan kekuatan gempa.

    1. Sedangkan Adi Susilo berpendapat bahwa getaran gempa Jogja menjadi pemicu rekahnya kedalaman pemboran yang tidak dipasangi casing oleh Lapindo, sehingga ia mengatakan semburan lumpur itu bukan karena bencana alam.

    1. Pendapat para ahli ini juga mengandung anasir probabilitas, bersifat konklusi sains yang tidak dapat dijadikan alat menyimpulkan kebenaran fakta absolut. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendapat ahli yang dijadikan alat menyimpulkan sebuah hukum atau teori penyebab semburan lumpur Lapindo masih mengandung kelemahan.


  1. Analisis Perbadingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam dengan Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Dari dua kelompok pendapat ahli yang berbeda tersebut, dapat dibandingkan sebagai berikut:

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut adalah para ahli geologi serta ahli pemboran maupun perminyakan yang bukan ahli gempa, kecuali Amien Widodo yang berkecimpung dalam laboratorium Pusat Studi Bencana di ITS. Para ahli geologi yang bukan ahli gempa diragukan untuk bisa menyimpulkan secara akurat bahwa semburan lumpur tersebut merupakan akibat gempa Jogja atau bukan. Ini menyangkut kompetensi keahlian.

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut yang merupakan ahli pemboran tidak fokus dalam menganalisis data-data yang mereka peroleh untuk dikaitkan dengan kronologi semburan lumpur Lapindo, kecuali Rudi Rubiandini dan Andang Bachtiar. Tetapi Andang Bachtiar masih merasa terkendala dengan ‘data-data Lapindo’ yang masih belum diungkapkan ke publik padahal itu penting untuk menyimpulkan penyebab semburan lumpur Lapindo secara lebih tepat.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam berkesimpulan secara berbeda dengan kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1, tetapi mereka tidak pernah menganalisis tuntas tentang problem yang terjadi selama proses pemboran, contohnya berkaitan dengan terjadinya kick, stuck, dan loss dalam korelasinya dengan long open hole karena tak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran Sumur BJP 1. Ketika mereka menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab, mereka juga tidak menganalisis tuntas tentang pengaruh perbedaan kejadian (gempa terjadi 27 Mei 2006, sedangkan semburan lumpur terjadi 29 Mei 2006). Ini tentu hal yang tidak bisa mereka lakukan sebab mereka mungkin tidak begitu paham tentang bagaimana proses pencairan bebatuan dalam bumi saat terjadinya gempa, sebab mereka bukan ahli gempa.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi berkesimpulan secara sama dengan seluruh versi kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1 hingga terjadinya semburan lumpur Lapindo tersebut yang tentunya ini bukan merupakan sebuah kebetulan.


KONKLUSI

    1. Pendapat para ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah gempa Jogja telah meragukan dan tidak dapat digunakan sebagai rujukan sebab: (1) Merupakan analisis ahli yang bukan ahli gempa; (2) Tidak tuntas dalam menganalisis problem yang terjadi dalam proses pemboran di Sumur BJP 1 Sidoarjo, dan (3) Tidak dapat menjelaskan pengaruh perbedaan hari antara peristiwa gempa Jogja (27 Mei 2006) dengan kejadian semburan lumpur Lapindo (mulai 29 Mei 2006).

    2. Pendapat ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo ternyata sesuai dengan kronologi proses pemboran Sumur BJP 1 yang disusun Lapindo, BP Migas serta versi mekanik kontraktor pelaksana pemboran Lapindo sendiri maupun BPK. Namun, konklusi itu masih 'terseret' hipotesis tentang kejadian gempa Jogja sebagai pendapat yang digunakan pihak Lapindo.


SARAN

    1. Lapindo harus membuka seluruh data proses pemboran Sumur BJP 1 Sidoarjo terkait dengan kepentingan korban dan nasional agar segera diputuskan untuk langkah penghentian semburan lumpur Lapindo.

    1. Diperlukan metoda analisis kolaboratif para ahli independen antara ahli geologi gempa, ahli pemboran dan ahli geologi lainnya dengan dasar data-data primer (bukan data sekunder) dan bukan sekedar hipotesis, untuk bisa mengetahui penyebab semburan lumpur Lapindo.

    2. Kolaborasi penelitian ahli inpenden sesungguhnya telah ada dari Tim Investigasi Independen bentukan pemerintah yang dipimpin Rudi Rubiandini serta para ahli yang digunakan BPK, hanya tinggal penelitian para ahli gempa bumi, sebab ahli bencana yang meneliti barulah Amien Widodo dari ITS yang telah menyimpulkan bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur Lapindo.

Sabtu, 15 Maret 2008

Petani Margorukun Tetap Disiksa

Rupanya PTPN XII dan Polres Banyuwangi belum puas dalam menyiksa 24 petani Margorukun Lestari (Marules) Kebonrejo Kalibaru Banyuwangi Jawa Timur beserta keluarganya. Kekerasan terus berlanjut hingga bulan Maret 2008 ini. Komnas HAM harus turun untuk melakukan investigasi.

Kasus tersebut merupakan sengketa agraria antara PTPN XII dengan para petani. Berdasarkan hasil wawancara LHKI Surabaya dengan para petani Marules, ternyata pada mulanya beberapa di antara mereka yang sudah tua adalah mantan buruh perkebunan yang turun-menurun sejak jaman Belanda yang sudah tinggal di lahan yang menurut mereka mulanya tidak termasuk lahan PTPN XII. Mereka tidak tahu jika tiba-tiba lahan yang telah menjadi pemukiman penduduk tersebut telah di-HGU-kan (HGU = Hak Guna Usaha) oleh PTPN. Berarti proses pengukuran lahan pada waktu dilakukan pengumpulan data fisiknya dengan cara menganggap angin para penduduk tani yang ada di situ.

Memang di antara para petani itu ada yang 'orang baru' membeli dari orang lama yang tinggal di situ. Mereka yang bukan asli warga Marules telah pergi ketakutan dengan adanya tindakan penyiksaan dan pembakaran rumah di pemukiman mereka yang dilakukan petugas keamanan PTPN XII dibantu Polres Banyuwangi. Bagi 'penduduk asli' di situ tetap bertahan meski hidup dalam suasana yang mencekam dan ketakutan.

Wah... ini jaman penjajahan atau jaman kemerdekaan, kok rakyat disiksa, diteror dan rumah-rumahnya dirusak?

Indonesia ini bernasionalisme busuk. Pemerintah begitu santun menawarkan kekayaan alamnya kepada asing, tetapi menyiksa rakyat miskin yang dianggapnya sampah. Bangsa ini tetap terjajah, dan benar kata Bung Karno: lebih mudah menghadapi penjajah asing dibanding penjajah dari bangsa sendiri.

Kapan rakyat merdeka? Harus berjuang dulu!

Analisis Hukum & HAM Kasus Sendi Mojokerto

LEGAL MEMO HAK ASASI MANUSIA (HAM)
DALAM SENGKETA TANAH
ANTARA WARGA DUSUN SENDI, DESA PACET, KECAMATAN PACET
KABUPATEN MOJOKERTO MELAWAN PERHUTANI

  1. Uraian Fakta


Dusun Sendi pada mulanya merupakan desa tersendiri, termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Alat bukti permulaan yang dimiliki warga Sendi adalah:

          1. keberadaan tanah ganjaran Desa Sendi yang kini dikelola Pemerintah Desa Pacet, Kecamatan Pacet, Mojokerto,

          2. kesaksian para orang tua,

          3. peta Desa Sendi tahun 1915 diubah tahun 1936.

          4. Daftar himpunan ketetapan dan pembayaran pajak hak atas tanah yang dikeluarkan Kantor Pelayanan Pajak Mojokerto 1993 yang menyebutkan adanya 30 subyek Wajib Pajak untuk tanah Desa Sendi dengan kode wilayah 07, Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto.

Berdasarkan kesaksian tersebut tanah Desa Sendi adalah tanah hak milik adat milik mereka yang telah ditinggalkan sebagian penduduknya sejak tahun 1942 karena adanya perang antara Jepang dengan Belanda. Tahun 1948 semua penduduk Desa Sendi kocar-kacir meninggalkan Desa Sendi karena peperangan Agresi Belanda. Setelah perang usai, Kepala Desa Singo Setro kembali ke Desa Sendi untuk menjual tanahnya sedangkan tanah rakyatnya tidak dijual.

Tahun 1949 lahan rakyat Desa Sendi dikuasai Jawatan Kehutanan ditanami kayu Waru, Salaman, Abasia dan Sono oleh masyarakat. Tahun 1965 tanaman tersebut diganti Mahoni dan Kaliandra. Tahun 1965 Pemerintah Daerah Mojokerto menawarkan pertukaran lahan warga Desa Sendi dengan tanah di daerah Bandulan tetapi ditolak warga. Tahun 1999 tanaman pinus dilahan itu ditebang dan bekas tebangan ditanami warga dengan istilah dikontrak untuk ditanami tanaman umur pendek.

Pihak Perhutani mengakui lahan warga Desa Sendi tersebut adalah hak Perhutani dengan dasar alat bukti surat berupa Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932, terjadi pembebasan tanah oleh Pemerintah Belanda qq. Boschwezen / Kehutanan seluas 762,9 hektar (Ha). Khusus untuk Desa Sendi yang telah dibebaskan seluas 72,55 Ha. Dan yang lahan yang tidak dibebaskan seluas 50,0 Ha. (sebagaimana diterangkan dalam Nota Dinas Sekretaris Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mojokerto No. 973/2/416-011/2006, tanggal 26 Januari 2005 dan kronologi yang dibuat Biro Perencanaan Sumber Daya Hutan, tanggal 26 Januari 2005).

Upaya penyelesaian melalui Pemkab Mojokerto tidak membuahkan kesepakatan sebab Sekretaris Daerah Pemkab Mojokerto dalam nota dinasnya tersebut malah menyarankan agar Bupati Mojokerto memberi saran untuk adanya pelibatan penegak hukum karena menganggap kegiatan warga Desa Sendi sebagai ‘perambahan hutan.’ Sebagai kelanjutannya pihak Perhutani melaporkan warga Dusun Sendi ke Kepolisian Resort (Polres) Mojokerto dengan tuduhan melakukan tindak pidana penyerobotan tanah (Laporan tanggal 02 Maret 2006 No. Pol.: SKTL / 83 / III / 2006 / Res Mjk) yang selanjutnya disidik sebagai tindak pidana perambahan hutan.

Dengan berbagai upaya kasus tersebut sambil berjalan penyidikan pidananya pihak Polres Mojokerto melakukan mediasi, mempertemukan warga Sendi dengan Perhutani. Selanjutnya pihak Perhutani melakukan ‘pengukuran ulang’ yang dilaksanakan Kodam V Brawijaya yang menentukan hasil pengikuran bahwa tanah Sendi yang tersisa hanya 1,09 (satu koma enam) Ha. Hal itu dikatakan oleh Kasatreskrim Polres Mojokerto dalam acara ‘sosialisasi hukum’ bersama-sama dengan Koramil Mojokerto (TNI AD) yang dilakukan di Dusun Pacet Selatan (Ngepre) tanggal 10 Desember 2007 dan mereka (Polres Mojokerto dibantu Koramil) memberikan peringatan agar warga Sendi segera mengosongkan lahan sengketa dengan membongkar rumah-rumah mereka dalam waktu 30 hari


  1. Masalah

- Bagaimanakah penyelesaian masalah tersebut yang telah dilakukan oleh pemerintah ditinjau dari perspektif HAM?


  1. Pembahasan

Untuk menguraikan problematika HAM dalam sengketa tanah Sendi tersebut haruslah menganalisis lebih dulu persoalan legalitas hak sebab persoalan dalam kasus Sendi tersebut setidak-tidaknya memuat masalah:

    1. Sengketa hak atas tanah;

    2. Status hukum tanah sengketa;

    3. Cara-cara penyelesaian sengketa;

    4. Peran negara (pemerintah) dalam penyelesaian masalah.

Posisi hukum warga Sendi secara hukum mengandalkan alat-alat bukti materiil berupa data-data fisik di lapangan, kesaksian para orang tua, peta Desa Sendi, himpunan ketetapan pembayaran pajak. Tetapi selanjutnya setiap orang warga Sendi yang mengaku mempunyai hak atas tanah sengketa tersebut haruslah membuktikan kebenaran garis hukum tentang asal hak atas tanah tersebut, misalnya apakah dengan cara mewarisi dan dari pewaris atau garis keturunan siapa, atau membeli atau memperoleh hibah dari siapa. Jika tidak dapat membuktikan hal tersebut maka haknya atas atas tanah sengketa menjadi kabur. Hal itu jika ditinjau dari sudut pandang hukum formalistik.

Namun dalam sudut pandang HAM, persoalan kekaburan hak warga masyarakat atas tanah tidak dijadikan alasan untuk adanya tindakan represif. Perlu dipahami bahwa proses administrasi pendaftaran hak atas tanah justru mewajibkan pemerintah melakukan inisiatif untuk membantu masyarakat untuk memperoleh kepastian alat bukti hak atas tanah yang belum terdaftar. Pendaftaran hak atas tanah bertujuan termasuk untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah).

Penyelenggara pendaftaran tanah adalah Badan Pertanahan Nasional / BPN (pasal 5 PP No. 24 Tahun 1997). Pendaftaran hak atas tanah pertama kali juga dilakukan secara sistematik oleh pemerintah (pasal 13 PP No. 24 Tahun 1997) selain secara sporadik oleh pemilik hak. Jika seandainya tak ada alat bukti suratpun (misalnya letter C atau apapun) maka pendaftaran bisa dibuktikan dengan pengakuan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun secara berturut-turut termasuk oleh pendahulu pemilik tanah dengan syarat: penguasaannya dengan itikad baik diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan atau pun pihak lain (pasal 24 ayat 2 PP No. 24/1997). Artinya, pemerintah justru mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hak, berlaku aktif, bukan malah melakukan tindakan represif.

Sedangkan pihak Perhutani juga harus membuktikan alas haknya. Selama ini Perhutani membuktikan haknya atas tanah Sendi tersebut berdasarkan transaksi pembebasan hak atas tanah antara dengan Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932.

Atas dasar alat bukti dokumen tersebut ada beberapa hal yang harus diperjelas. Pertama, transaksi tukar-menukar antara Pemerintah Belanda qq. Boschwezen dengan warga Sendi haruslah jelas. Obyek tanah yang ditukar dengan obyek penggantinya harus dapat ditunjukkan. Dalam perspektif syarat sah perjanjian yang berlaku saat transaksi, yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) pasal 1320 menentukan syarat sah, antara lain:

  1. Adanya kesepakatan para pihak;

  2. Kecakapan hukum para pihak;

  3. Adanya obyek perjanjian;

  4. Sebab halal.

Jika tanah yang ditukar oleh Boschwezen tersebut ada, tapi tanah penggantinya tidak ada, maka syarat obyektifnya tidak sempurna, sehingga batal demi hukum.

Begitu pula menurut Hukum Adat, dalam transaksi hak atas tanah berlaku asas cul duit, cul barang (lepas uang ditukar dengan lepas barang). Dalam transaksi tukar-menukar harus padha cul barang (sama-sama melepas barang). Jika tanah pengganti yang dimaksudkan Boschwezen ternyata tidak ada maka perjanjian tersebut batal demi hukum sebab tidak terlaksana secara sempurna.

Kedua, transaksi tukar-menukar antara warga Desa Sendi tersebut berlatar belakang misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan), sebab penduduk Sendi yang tidak menyetujui pelepasan hak atas tanahnya dipenjara (contoh kakek dari Sumadi, Kepala Dusun Ngepre). Memang secara hukum telah menjadi fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi) bahwa pembebasan tanah hak milik penduduk zaman kolonial Belanda selalu dengan cara paksa sehingga hukum tidak dapat menganggap sah tindakan-tindakan peralihan hak atas tanah dengan cara paksa yang tidak dilandasi oleh wewenang sah.

Selain itu, tanah Desa Sendi merupakan hak asal Hak Adat (hak milik Indonesia). Setelah berlakunya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria maka berlaku ketentuan konversi hak atas tanah. Tanah Desa Sendi tersebut belum pernah dikonversi. Jika Perhutani mengakui tanah Desa Sendi sebagai haknya maka yang perlu diperjelas adalah: Jenis hak apakah yang dimiliki oleh Boschwezen dan apakah sudah dipastikan haknya atas tanah Desa Sendi tentang jenis hak atas tanah tersebut?

Sedangkan hak atas tanah dengan jenis hak milik adat dikonversi sebagai hak milik dengan wewenang untuk diturunkan turun-temurun (diwariskan) atau dialihkan oleh pemegang haknya. Dengan demikian sesungguhnya Perhutani juga bukan merupakan pemilik sah hak atas tanah Desa Sendi yang dengan demikian tidak mempunyai hak kelola yang sah pula.

Perhutani bukan hanya tunduk pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tetapi juga harus tunduk kepada Hukum Agraria sebab tanaman hutan tumbuh di atas tanah, bukan di atas langit (lihat pasal 1 angka 5). Kecuali terhadap hutan negara maka tidak dibebani hak atas tanah (pasal 1 angka 4). Hutan negara ditetapkan oleh pemerintah dan bisa dalam bentuk hutan adat (pasal 5 ayat 2 dan 3). Jika kawasan Desa Sendi belum pernah ditetapkan sebagai hutan negara maka Perhutani dibebani hak atas tanah. Jika Perhutani tidak mempunyai hak atas tanah di atas hutan yang belum ditetapkan sebagai hutan negara maka kegiatan Perhutani di kawasan Desa Sendi adalah ilegal atau tidak sah. Soal ini harus diperjelas lebih dulu. Tetapi karena Perhutani hanya menunjukkan alat bukti hak berupa Berita Acara Tukar-menukar dan Pemberian Ganti Rugi B No. 1 – 1931 tanggal 21 Nopember 1931 dan B No. 3 – 1932 tanggal 10 Oktober 1932 maka kemungkinan besar Perhutani tidak mempunyai hak atas tanah formil. Sehingga kejelasan yang perlu dicari adalah: apakah kawasan Desa Sendi telah ditetapkan pemerintah sebagai hutan negara?

Berdasarkan Hukum Administrasi yang ada, dalam perspektif implementasi otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan wewenang-wewenang khusus untuk tata laksana pengaturan pertanahan yang berkaitan dengan tata ruang, sebagaimana salah satu peraturan pelaksanaan berkaitan dengan penetapan batas kawasan hutan adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-H/2001 tanggal 12 Pebruari 2001 yang menentukan: bahwa penetapan batas kawasan hutan dilakukan oleh suatu Panitia Tata Batas areal yang dibentuk dan disahkan oleh Bupati/Walikota hal mana unsur-unsur Panitia tersebut juga harus melibatkan perangkat-perangkat pemerintah daerah serta tokoh masyarakat (Pasal 8) dan kreteria status areal hutan harus memperoleh pengakuan masyarakat, badan hukum, pemerintah di sepanjang trayek penetapan batas (Pasal 7 ayat (2) c.) Padahal, dalam hal ini penetapan kawasan areal hutan tersebut di wilayah Sendi dan sekitarnya belum ditetapkan berdasarkan prinsip otonomi daerah menurut Keputusan Menteri Kehutanan tersebut.

Dasar hukum lain yang perlu diperhatikan mengenai wewenang-wewenang otonomi daerah berkaitan dengan kawasan hutan di antaranya:

  1. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

Pemerintah menyelenggarakan pengkuhan kawasan hutan melalui proses: penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan kawasan hutan, (pasal 14 dan 15).

  1. PP No. 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintahan di Bidang Kehutanan Kepada Pemerintah Daerah :

Urusan penataan batas mencakup kegiatan proyeksi betas, pemancangan patok batas (sementara), inventarisasi hak-hak pihak ketiga yang berkaitan dengan trayek batas, pengukuran dan pemetaan, pemasangan pal betas (tanda batas tetap), dan pembuatan Berita Acara Tata Batas (pasal 3 ayat 2).

Namun untuk melaksanakan wewenang otonomi daerah di bidang kehutanan tersebut terlebih dahulu harus ada peraturan administratif yang dibuat oleh Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur, sebagaimana menurut pasal 15, 16 dan 17 PP No. 62 Tahun 1998.

    1. Berdasarkan pasal 68 UU No. 41 Tahun 1999, masyarakat di dalam dan sekitar hutan mempunyai hak-hak: memanfaatkan hutan dan hasilnya, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan, memberi informasi, saran serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik secara langsung maupun tidak langsung (ayat 2). Masyarakat di dalam dan sekitar hutan juga berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan dan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (ayat 3).

    2. Wewenang izin-izin usaha kehutanan yang berada di dalam wilayah provinsi lintas kabupaten diberikan oleh gubernur, sedangkan yang berada diwilayah kabupaten diberikan oleh Bupati (lihat pasal 37 – 42 PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan.

Setelah era otonomi daerah, hal mengenai penetapan batas kawasan hutan serta perizinannya yang diatur berbagai peraturan perundang-undangan tersebut masih belum dilakukan, terutama termasuk di kawasan sekitar Desa Sendi, sehingga secara yurudis formal pun pihak Perhutani tidak dapat melakukan klaim sepihak atas hak kawasan hutan di Desa Sendi. Artinya, penataan kawasan hutan Indonesia memang masih belum selesai, sehingga Perhutani belum bisa memastikan diri sebagai pemilik hak yang sah atas hutan-hutan yang dikelolanya. Sayangnya banyak pemerintah daerah yang belum paham terhadap aturan-aturan dan wewenang mereka dalam tata guna usaha serta kelola hutan, termasuk penetapan, perencanaan dan pemberian izin-izin soal kehutanan.

Dalam hal ini Pemkab Mojokerto juga mempunyai otoritas menentukan berkaitan dengan penetapan wilayah administratifnya serta penetapan kawasan hutan. Masyarakat yang mempunyai hak adat atas tanah menurut sejarah hukumnya tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Hal itu juga menjadi jaminan HAM menurut pasal 6 UU No. 39 Tahun 1999. Mereka, warga Desa Sendi harus diperhatikan kepastian hak atas tanahnya. Dengan demikian kasus tersebut harus diselesaikan dengan berfungsinya wewenang-wewenang otoritas otonomi daerah.

Perhutani hanya merupakan Badan Hukum Milik Negara (BUMN yang bergerak di bidang kehutanan, sedangkan otoritas pengaturan pertanahannya ada di Pemerintah (Badan Pertanahan Nasional), wewenang tata ruangnya, penetapan kawasan hutannya serta perizinannya ada di Pemerintah Daerah.

Maka cara penyelesaian kriminalisasi dalam sengketa antara warga Desa Sendi dengan Perhutani merupakan cara yang tidak tepat sebelum dapat diperjelas tentang status hak atas tanah Desa Sendi yang belum terdaftar di BPN tersebut. Tetapi tanah Desa Sendi sudah jelas terdaftar di Desa Pacet sesuai dengan peta Desa Sendi yang ada sejak zaman Belanda (dibuat tahun 1915 dan diperbaharui 1936). Logika hukum obyektif yang perlu dikembangkan pula: Jika pemerintah menarik pajak kepada wajib pajak pemilik tanah Desa Sendi berdasarkan bukti yang dimiliki warga Desa Sendi tersebut menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap hak milik atas tanah Desa Sendi. Jika dianggap tidak maka pemerintah telah melakukan ‘pungutan liar’ dan harus dihukum.

Jika Perhutani terbukti melakukan pengelolaan ilegal tanah Desa Sendi – karena tidak mempunyai hak atas tanah dan bukti izin pengelolaan hutan maupun pemungutan hasil hutan di Desa Sendi - maka Kepolisian juga wajib mengusutnya, tanpa harus adanya laporan masyarakat, tetapi hal itu diketahui sendiri oleh Kepolisian dalam proses penanganan perkara tersebut.

Selain itu berdasarkan kesaksian masyarakat Desa Sendi dan Desa Pacet, ternyata Perhutani melakukan penebangan pohon-pohon yang ada di dekat-dekat jurang dan sumber mata air di kawasan Pacet Selatan dan Sendi, dilakukan sejak 1999 hingga tahun 2004. Hal itu merupakan pelanggaran pasal 50 ayat (3) huruf a UU No. 41 Tahun 1999, sehingga para pengurusnya seharusnya dipidana dengan ancaman pidana penjara maksimum 10 tahun penjara dan denda maksimum Rp. 5 miliar sesuai pasal 78 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 dan diganjar sanksi administratif sesuai pasal 80.


  1. Kesimpulan

Cara-cara penyelesaian sengketa agraria antara warga Desa Sendi dengan Perhutani tersebut menunjukkan adanya pelanggaran HAM, yaitu:

  1. Pemerintah pusat dan daerah melakukan pembiaran sengketa tersebut, mengabaikan hak warga Desa Sendi untuk memperoleh kepastian hak dan perlindungan hukum, hal mana itu merupakan pelanggaran HAM pasal 3 ayat (2) jis. pasal 71, 72 UU No. 39 Tahun 1999;

  2. Kepolisian Negara RI qq. Polda Jawa Timur qq. Polres Mojokerto mengambil langkah kriminalisasi terhadap warga Desa Sendi dengan keadaan kekurangpahaman terhadap aspek Hukum Agraria dan Hukum Kehutanan serta Hukum Administrasi Negara, hanya mengandalkan wewenang penyidikannya, dengan cara-cara mengintimidasi warga menggunakan wewenang penyidikannya sebelum paripurna soal kejelasan hak atas tanah Sendi yang disengketakan. Hal tersebut menimbulkan rasa takut, cemas dan tidak aman bagi warga Desa Sendi, hal mana itu merupakan pelanggaran HAM pasal 30 UU No. 39 Tahun 1999.

  3. TNI AD qq. Kodam V Brawijaya qq. Koramil Mojokerto turut serta melakukan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polres Mojokerto tersebut;

  4. Perhutani merupakan pihak penyebab terjadinya pelanggaran-pelanggaran HAM tersebut.


Surabaya, 15 Maret 2008

LHKI Surabaya