Rabu, 14 Mei 2008

ANALISIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

TENTANG

SENGKETA ANTARA WARGA PETANI MARGORUKUN LESTARI BANYUWANGI DENGAN PTPN XII



  1. KASUS POSISI


Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi (selanjutnya disebut warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun korporasi manapun.

Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.

Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007.

Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.

Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata, ”Tanae embahe seng kok tiduri!” (Terjemahan: ”Tanah nenekmu yang kamu tiduri ya!”).

Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.

Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.

Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka.

Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.

Selanjutnya upaya-upaya pengusiran paksa terhadap warga petani Margorukun Lestari terus terjadi, termasuk dengan cara-cara kriminalisasi, hingga mereka para petani tersebut mengungsi di DPRD Banyuwangi dan setelah itu juga diusir oleh Kepolisian Resor Banyuwangi bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2008.



  1. MASALAH


    1. Bagaimanakah kedudukan hak hukum antara warga petani Margorukun Lestari dibandingkan dengan PTPN XII terhadap lahan seluas sekitar 568 hektar tersebut?


    1. Bagaimanakah konsekuensi upaya penyelesaian yang telah dilakukan PTPN XII dan Kepolisian dalam perkara tersebut?



  1. ANALISIS


    1. Komparasi Kedukukan Hak Warga Petani Margorukun Lestari dengan PTPN XII Atas Lahan Sengketa.


Perlu dipahami lebih dulu bahwa perkara atau sengketa antara warga dengan PTPN XII merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan adalah warga petani tersebut. Setelah itu PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya dengan alas hak PTPN XII adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No. 5 tahun 1988, sertifikat HGU No. 16 tahun 1988, dan sertifikat HGU No. 11 tahun 1999.

Sebenarnya secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.

Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat 2).

Artinya, warga negara Indonesia mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan baik.

Masyarakat petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka.

Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.

Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam pemberian HGU kepada PTPN XII tersebut sebab mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14). Jika PTPN XII memperoleh alas hak berdasarkan sertifikat HGU tahun 1988 maka pada waktu itu berlaku PP No. 10 / 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang juga mengatur prosedur pengumpulan data fisik dan yuridis. Tetapi ternyata pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. Ini yang secara hukum dikatakan sebagai manipulasi pengumpulan data fisik, sehingga konsekuensinya adalah cacat yuridis.

Jika dilihat dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih dulu untuk mengajukan permohonan hak milik. Hukum Agraria bukanlah seperti lomba lari cepat, siapa yang mencapai garis finish yang dianggap memenangkan pertandingan, tapi hal ini berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat. Artinya, seharusnya dalam proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Seharusnya warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut mempunyai hak prioritas. Jika ini dilanggar maka sertifikasi HGU tanah sengketa atas nama PTPN XII adalah melanggar HAM, terutama hak untuk bertempat tinggal dan hak untuk mendapatkan keadilan serta akses ekonomi atas tanah negara yang mereka kuasai lebih dulu.

Hakikat Hukum Agraria bersifat menciptakan keadilan sosial sebagaimana menurut pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. PTPN XII tidak boleh dengan alasan legal formal sebagai pemegang HGU lantas menyingkirkan warga dengan cara yang kasar sebab hal itu melanggar Hukum Agraria yang berkeadilan sosial. Pasal 2 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan juga menentukan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Warga sebagai warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara. Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa ataupun pihak-pihak lain.

Jadi, pemberian HGU atas lahan yang telah ditempati warga petani Margorukun Lestari tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial, melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Seandainya pernah ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga petani Margorukun Lestari selaku pihak yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh HGU atas tanah tersebut barulah PTPN XII berkomunikasi dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah.

Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan kehendak pemerintah pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.

Ketidakadilan sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah berat bagi pemerintah sendiri.

Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti itulah maka warga petani Margorukun Lestari dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.



    1. Pelanggaran HAM dan Tindakan Penyelesaian


Tindakan PTPN XII dan Kepolisian yang melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat petani tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kategori Kejahatan Kemanusiaan sebagaimana pasal 7 huruf b jo. pasal 9 huruf d UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan ancaman pidana penjara sekurang-kurangnya 10 tahun penjara dan selama-lamanya 25 tahun penjara (pasal 37), sebab tindakan tersebut melampaui batas hukum atau bahkan tanpa adanya perintah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pemidanaan terhadap 24 warga petani Margorukun Lestari di Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak dapat dieksekusi dengan cara pengusiran sebab eksekusi dalam putusan pidana adalah ‘pemidanaan’.

Fakta pengusiran paksa secara sistematis dilakukan dengan cara merusak tanaman warga, membongkar paksa serta membakar rumah, menganiaya, menakut-nakuti serta memaksa menandatangani perjanjian penyerahan lahan. Cara-cara itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menumbulkan penderitaan berat bagi warga petani Margorukun Lestari.

Persoalan bahwa legalitas tempat tinggal warga petani Margorukun Lestari, jika masih dalam sengketa maka merujuk pada fungsi sosial tanah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan dalam hal ini setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan pemerintah wajib memenuhinya. (pasal 28H ayat (1) jo. pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Jika PTPN XII melaporkan warga telah melakukan tindak pidana menurut UU No. 18/2004 tentang Perkebunan pasal 21 jo. 47 ayat (1) dan pasal 335 KUHP, maka warga pun dapat melaporkan para petinggi PTPN XII serta aparat Kepolisian yang terlibat, termasuk Kapolsek Kalibaru, Kapolres Banyuwangi serta para pejabat Kepolisian pengerah pasukan BRIMOB tersebut sebagai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat. Laporan tersebut dialamatkan ke Komnas HAM yang berwenang sebagai penyelidik. Tetapi karena perkara tersebut sudah masuk kategori ‘diketahui umum’ maka Komnas HAM bisa mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah projustisia guna membawa persoalan tersebut ke Pengadilan HAM.

Kepolisian sendiri seharusnya juga melakukan tindakan hukum penyidikan berkaitan dengan adanya perusakan hutan lindung oleh PTPN XII di wilayah operasional mereka di PTPN XII UUS Malangsari. Ini juga berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Dengan pembiaran adanya kejahatan lingkungan hidup tersebut menunjukkan bahwa negara juga melanggar (by ommision) HAM.

Dengan demikian, selain masalah pelanggaran HAM beratnya diajukan ke Pengadilan HAM maka pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan Pusat harus mengambil langkah-langkah guna memenuhi, menegakkan dan melindungi HAM warga petani Margorukun Lestari serta warga di sekitar hutan lindung yang dikelola PTPN XII. Hak-hak yang harus dipenuhi diantaranya hak atas lingkungan yang baik, tempat tinggal serta hak-hak ekonomi. Hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana ditentukan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.



KESIMPULAN


  1. Warga petani Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi sebenarnya mempunyai kedudukan hak yang sama dengan PTPN XII dalam memperoleh hak atas tanah. Warga petani Margorukun Lestari tersebut seharusnya mempunyai hak prioritas sebab lebih dulu menguasai dan mengelola tanah negara bebas tersebut. Perolehan HGU oleh PTPN XII dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi sebagai itikad tidak baik adalah cacat hukum sehingga warga petani Margorukun Lestari dapat mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah dan PTPN XII dalam soal itu agar negara memperlakukan warga secara adil untuk memperoleh hak milik atas tanah dari negara yang wajib memberikannya.


  1. Penyelesaian perselisihan antara warga dengan PTPN XII tersebut upaya-upaya represif berupa pengusiran paksa penduduk dari sebuah wilayah, yang dilakukan oleh PTPN XII, para Polisi yang merupakan kejahatan kemanusiaan, merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM yang berwenang selaku penyelidik kasus pelanggaran HAM dapat secara inisiatif melakukan tindakan projustisia untuk menyelidiki kasus tersebut agar nantinya dapat diadili di Pengadilan HAM. Tindakan pengusiran paksa terhadap komunitas masyarakat yang dilakukan sistematik ataupun dengan akibat meluas merupakan kejahatan kamanusiaan yang diancam pidana penjara minimum 10 tahun dan maksimum 25 tahun, berdasarkan UU No. 26/2000 pasal 7 huruf b jis. pasal 9 huruf d dan pasal 37.


Rabu, 07 Mei 2008

KRONOLOGI PENANGKAPAN 26 ORANG PETANI PENEGAL MARGORUKUN LESTARI DESA KEBONREJO, KECAMATAN KALIBARU, BANYUWANGI

29 April 2008, sekitar jam 14.00 -15.00 wib, serombongan polisi tak berseragam datang ke warga Margo Rukun Lestari (marules). Mereka menangkapi setiap penegal yang ditemui.

Warga Penegal yang ditangkap pada hari itu ± 26 orang, yaitu:

  1. Sugianto (ketua)
  2. Pak Wahid
  3. Pak Samiati
  4. Antok
  5. Pak Surawi
  6. Bu Samiati
  7. Ropi’i
  8. Pak Sunar
  9. Bu Sop
  10. Pak Ketut
  11. Pak Win
  12. Farhan (3th) anak Bu Sop
  13. Pak Ti Cikrak
  14. Bisri
  15. Pak Sop
  16. Pak Hikmah
  17. Pak Yusuf
  18. Pak Imron
  19. Pak Sanusi
  20. Pak Paesa
  21. Pak Siti
  22. Pak Sulhan
  23. Zaini
  24. Pak Atim
  25. Pak Slamet
  26. Pak Karim

Informasi tambahan, bahwa masih ada proses penangkapan oleh pihak kepolisian. Walaupun tanggal 30 april, Komnas HAM melalui surat No: 875/K/PMT-WATUA I/IV/08. yang ditandatangani wakil Ketua KOMNASHAM Ridha Saleh telah meminta Penghentian Penangkapan.
Penegal yang tidak tertangkap tercerai berai. Sebagian besar mereka lari ke hutan tanpa membawa perbekalan.

30 April 2008, 2 (dua) orang penegal (Agus dan Musleh) mengadu ke Komnas HAM. Pengaduan berkenaan dengan penangkapan terhadap ± 28 penegal Margo Rukun Lestari (marules) yang ditangkap pada tanggal 29 April 2008. Saat itu juga, Komnas HAM melalui wakil ketuanya (M. Ridha Shaleh) mengirimkan surat kepada Kapolres Banyuwangi, berisi penghentian tindakan penangkapan kepada para petani. Dalam surat ini, Komnas HAM mendesak Kapolres Banyuwangi untuk menghentikan penangkapan dan mengeluarkan 28 orang penegal yang ditangkap sebelumnya. Komnas HAM juga mengingatkan bahwa sengketa agraria antara Penegal Margorukun Lestari dengan PTPN XII UUS Malangsari masih dalam tahap mediasi.

1 Mei 2008, sebanyak 2 truk polisi bersama keamanan kebun (PTPN XII UUS Malangsari) datang kembali ke Margo Rukun Lestari (marules). Mereka mengintimidasi penegal yang masih bertahan di Margorukun Lestari. Penegal diberi batas waktu hingga hari senin tanggal 05 mei 2008 untuk meninggalkan tanah yang dikelola penegal.

4 Mei 2008, serombongan keamanan dan polisi masih terus mengintimidasi penegal (ibu-ibu dan anak-anak). Mereka juga mendobrak rumah-rumah penegal. Penegal yang dicari adalah: Pak Mat Rais, pak Slamet, dan Pak Yusuf Bahri

Sampai dengan 6 Mei 2008 ini masyarakat petani penegal tersebut telah diblokir aksesnya dari jalan keluar melaui PTPN XII UUS Malangsari, lalu warga penegal memutar melalui Glenmor hendak mengungsi di gedung DPRD Banyuwangi. Tetapi tampaknya mereka dihadang oleh petugas Polres Banyuwangi.(*)

Senin, 05 Mei 2008

LAPORAN INVESTIGASI KASUS PETANI MARGORUKUN LESTARI (MARULES)

28 Pebruari 2008 :

Pukul 04.30 Rumah Pak Marsamo dibakar. Letak rumah berada di kelompok 1, samping Musholla. Dalam kejadian itu rumah sebelah kirinya sebagian dinding rumahnya juga ikut terbakar. Padahal Musholla di samping rumah tersebut Pukul 04.00 masih digunakan untuk tempat jaga sekitar 8 orang Marules.


29 Pebruari 2008 :

Sururi, Gangsar, Amin, dan Embah bertemu dengan Kyai Hasan Afdillah yang beralamat di pasar Glenmore. Dalam pertemuan tersebut petani Marules meminta dukungan, perlindungan dari kemungkinan – kemungkinan serangan yang dilakukan oleh buruh kebun dan juga izin lebih dulu untuk menemui PCNU Banyuwangi. Hasil dari pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa PCNU bukanlah lembaga Politik tetapi merupakan ormas Islam yang tidak mengurusi masalah politik tanah.


1 Maret 2008:

Relawan pendamping warga Marules (Yoyok, Amin, dan Mbah) bertemu dengan ketua PCNU Banyuwangi Kyai Maskur Ali untuk meminta dukungan agar PCNU sebagai Ormas terbesar di Banyuwangi untuk mengeluarkan pernyataan secara politik untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan dan penangkapan yang dilakukan oleh PTPN XII Malangsari. Dalam kesempatan tersebut Kyai menghubungi Ketua DPRD Banyuwangi yaitu Wahyudi namun sampai beberapa waktu di hubungi HP-nya tidak diangkat. Kemudian Kyai menghubungi Samsul dari Komisi A DPRD Banyuwangi. Dalam percakapan tersebut Samsul menjelaskan akan berencana ke Marules besok harinya tepatnya tanggal 2 Maret 2008 bersama “ Tim “. Pada pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa Kyai bersedia membantu asal mendapat Fatwa dari Kyai Hasan Afdillah selaku Dewan Penasihat PCNU Banyuwangi.

Dalam perjalanan naik ke atas di tengah jalan Yoyok, Amin dan Mbah dihubungi salah satu Dewan Pimpinan Marules agar jangan naik dulu. Hal ini dikarenakan bila kami naik pasti akan dihadang oleh 2 anggota polisi dan puluhan keamanan yang sedang membersihkan jalan di kelompok 1, guna mencegah konflik.


2 Maret 2008:

Samsul (dari Komisi A DPRD Banyuwangi) datang ke lokasi atas desakan Marules. Saat bertemu warga Marules di kelompok 1 Samsul mengatakan hanya untuk melihat – lihat pembangunan jalan lintas. Dalam percakapan di kantor Samsul berjanji akan menjadi orang paling depan untuk membantu Marules asalkan Marules benar. Dalam kunjungan itu Samsul datang secara individu ditemani dengan Iskhak yang mengaku dari LSM Gempa, bukan sebagai Tim DPRD Banyuwangi.


3 Maret 2008:

Warga Marules bernama Nanang salah satu dari 3 saksi (selain Muslih dan Agus) yang akan memberikan kesaksiaannya terhadap perkara Pak Supardi pada kasus Marules ditangkap di Depan PN Banyuwangi oleh sekitar 8 orang dari Reserse Polres Banyuwangi beserta surat panggilan dengan alasan Nanang merupakan Daftar Pencarian Orang atas dugaan Penyerobotan Lahan.

Nanang ditangkap saat akan meluncur ke DPRD Banyuwangi beserta Agus. Hal itu dilakukan karena ternyata pada persidangan Pak Supar yang digunakan sebagai saksi hanyalah Muslih.


4 Maret 2008:

7 warga Marules mendatangi Ketua PCNU Banyuwangi untuk meminta dukungan dan bantuan penyelesaian agraria kasus Marules. Kyai menganjurkan untuk bertemu Haji Hasan di Kalibaru. Herman dan Janarko dua anggota Polres Banyuwangi mengantar surat panggilan dan penahanan terhadap Nanang.


5 Maret 2008:

9 warga Marules atas saran Kyai Maskhur Ali meluncur ke Haji Hasan dalam pertemuan itu NU ternyata sudah membentuk Tim antara lain anggotanya Asmadi (LPBHNU) dan Misnadi (LPBHNU) dengan nomor kontak 08124910596 atau 420770.


9 April 2008:

Pak Poniri, salah satu penegal Marules meninggal di LP Banyuwangi. (sebelumnya penegal bernama MISLADI meninggal dunia tanggal 18 Juni 2007 di LP Banyuwangi).


Selama bulan April 2008:

Intimidasi untuk mengusir warga Marules tetap terjadi, namun warga Marules tetap bertahan.


29 April - 1 Mei 2008:

28 warga tani Marules ditangkap polisi Polres Banyuwangi dibantu petugas keamanan PTPN XII di rumah-rumah mereka. Diantaranya seorang ibu dengan anaknya berumur 3 tahun.


1-5 Mei 2008:

Rumah-rumah warga tani Marules dijarah dan dirusak para petugas keamanan PTPN XII, para petani tersebar di beberapa titik, dan jalan masuk serta akses makanan ke warga Marules ditutup.

--- bersambung ---

Catatan komentar:

Itulah penyelesaian kasus sengketa agraria antara warga Marules dengan PTPN XII yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang dibiarkan pemerintah daerah kabupaten Banyuwangi, pemerintah provinsi Jawa Timur dan pemerintah Pusat. Katanya jaman reformasi ini mau lebih demokratis, tapi hanya pemilunya saja yang ramai dihiasi puluhan parpol dan menghabiskan anggaran negara. Rakyat kecil tetap saja disiksa.

Lembaga-lembaga atau organisasi keagamaan serta kampus di sekitarnya juga tidak terlalu responsif. Ada banyak rakyat di sini yang telah kehilangan negara, seperti halnya para korban lumpur Lapindo.


Minggu, 13 April 2008

Petani Margorukun Lestari Meninggal Lagi di LP Banyuwangi

Seorang petani penegal Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kalibaru, Banyuwangi, bernama P. PONIRI telah meninggal di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Banyuwangi dalam masa penahanan sebab yang bersangkutan dikriminalisasi oleh PTPN XII UUS Malangsari.

Menurut keterangan SUGIANTO, koordianator petani Margorukun Lestari (Marules), kematian P. PONIRI terjadi tanggal 9 April 2008, tetapi pihak LP Banyuwangi tidak memberitahukan hal itu kepada keluarga petani penegal Marules.

Perlu diingat, sebelumnya juga salah satu dari 24 petani penegal Marules yang dipenjarakan bernama MISLADI meninggal dunia tanggal 18 Juni 2007 di LP Banyuwangi, dikarenakan yang bersangkutan telah sakit-sakitan sejak mulai ditahan oleh Penyidik Polres Banyuwangi, Kejaksaan Negeri Banyuwangi dan Hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi, diperparah oleh perlakuan kekerasan selama menjalani proses penyidikan, hingga keadaan yang tidak sehat di LP Banyuwangi disebabkan keadaan ruangan LP yang terlalu padat sehingga para terpidana setiap malam TIDUR DENGAN KAKI DITEKUK.

Pada saat jenazah almarhum MISLADI hendak dimakamkan di lahan petani penegal Marules yang disengketakan dengan PTPN XII, hal itu dicegat dan dihalang-halangi paksa oleh pihak keamanan PTPN XII yang dibantu oleh petugas polisi Polres Banyuwangi.

Tampaknya perlakuan tidak manusiawi terhadap rakyat kecil masih terus terjadi. Semoga dengan informasi ini semakin banyak pihak yang bersolidaritas.

Perkembangan penanganan kasus tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sedang melakukan mediasi dan mengalami perkembangan yang menarik sebab mulai menarik perhatian Pemerintah Kabupaten Banyuwangi meski tidak intensif, tetapi kekerasan demi kekerasan masih berjalan.

Kamis, 10 April 2008

Membuka Teka-teki Penyebab Semburan Lumpur Lapindo

MEMBUKA TEKA-TEKI PENYEBAB SEMBURAN LUMPUR LAPINDO

Analisis Perbandingan Pendapat Para Ahli

Oleh: Subagyo


ABSTRAK

  1. Pendapat para ahli geologi, pemboran, dan perminyakan yang berpendapat bahwa semburan lumpur Sidoarjo disebabkan gempa Jogja telah meragukan sebab para ahli tersebut bukanlah ahli atau peneliti gempa bumi. Para ahli tersebut juga tidak pernah menganalisis secara mendalam pengaruh jeda waktu atau perbedaan peristiwa gempa Jogja 27 Mei 2006 dengan awal semburan lumpur Lapindo 29 Mei 2006. Sedangkan para ahli geologi serta pemboran yang berpendapat bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi Lapindo cocok atau sesuai dengan kejadian kronologi pemboran di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo yang disusun oleh Lapindo Brantas Inc., BP Migas, Mekanik Kontraktor Pemboran Lapindo Brantas Inc (PT. Tiga Musim Jaya Mas) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun demikian untuk menghilangkan keraguan adanya pengaruh gempa Jogja atau tidak sebagai penyebab semburan lumpur tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang dilakukan ahli gempa berkerjasama dengan ahli geologi lainnya serta ahli pemboran minyak dan gas bumi (migas) dengan data-data primer. Lapindo Brantas Inc seharusnya buka-bukaan, tidak menyembunyikan data pentingnya untuk tujuan kemudahan menyimpulkan penyebab semburan lumpur itu guna penentuan metode upaya penghentian semburan lumpur Lapindo.


PENDAHULUAN

Hingga saat ini (tulisan ini dimulai 27 Maret 2008) penyebab semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) yang berlokasi di Sumur Banjar Panji 1 (BJP 1) Sidoarjo masih menjadi teka-teki. Ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan oleh kesalahan eksplorasi yang dilakukan kontraktor yang ditunjuk Lapindo (yang tanggung jawabnya ada di Lapindo) dan ada kelompok ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo merupakan fenomena alam mud volcano terkait gempa Jogja 27 Mei 2006.

Dua kelompok pendapat ahli tersebut mempengaruhi penegak hukum. Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dalam putusan No. 384/Pdt.G/2006/ PN.Jkt.Pst. (atas gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia / YLBHI) menyimpulkan adanya fakta ‘kesalahan dalam pemboran’. Dalam pertimbangan hukumnya Hakim PN Jakarta Pusat tersebut menyatakan:

Menimbang bahwa dalam hal ini Majelis sependapat dengan Penggugat dimana luapan lumpur karena kekuranghati-hatian pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo (Turut Tergugat) karena belum terpasang cassing/pelindung secara keseluruhan sehingga terjadi kick kemudian terjadi luapan lumpur.”

Tetapi hakim PN Jakarta Pusat tersebut tidak menghukum Lapindo dan para tergugat lainnya dengan alasan bahwa para Tergugat telah melaksanakan upaya secara optimal dalam memenuhi hak perlindungan korban maupun upaya penghentian semburan lumpur.

Sedangkan hakim PN Jakarta Selatan dalam perkara No. 284/Pdt.G/2006/ PN.Jak.Sel. (atas gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia / WALHI) menyimpulkan bahwa semburan lumpur Lapindo tersebut karena fenomena alam. Dalam pertimbangannya hakim PN Jakarta Selatan menjelaskan:

Menimbang bahwa dari pertimbangan tersebut oleh karena pendapat seorang ahli dari Penggugat yaitu Dr. Ir. Rudi Rubiandini yang pendapatnya telah dipatahkan oleh pendapat saksi ahli dari Tergugat yaitu Dr. Ir. Agus Guntoro, Msi, Prof. Dr. H. Sukendar Asikin, Ir. Mochamad Sofian Hadi dan Dr. Ir. Dody Nawangsidi, dan pendapatnya tersebut tidak didukung pula oleh alat bukti surat dari Penggugat, sedangkan saksi ahli dari Tergugat pendapatnya sudah saling bersesuaian dengan alat bukti dari Tergugat maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terjadinya semburan lumpur panas di Banjar Panji 1 karena fenomena alam bukan akibat kesalahan dari Tergugat I.”

Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur juga berkali-kali mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur dengan alasan adanya dualisme pendapat para ahli tersebut.

Untuk itulah, tulisan ini dimaksudkan untuk membedah dualisme pendapat para ahli yang selama ini dipersepsikan sebagai ‘bertolak belakang’ sehingga kebenaran tentang penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut menjadi polemik yang tidak jelas. Tulisan ini tunduk menggunakan formula ilmiah dalam menuju konklusi, melalui koleksi data, komparasi, klasifikasi, analisis hingga sampai pada konklusi untuk menjawab teka-teki tersebut. Oleh sebab penulis bukan ahli geologi dan bukan ahli pemboran perminyakan maka penulis mencari kebenaran penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut dengan menggunakan pendapat para ahli, termasuk mereka yang berada dalam dua kelompok yang berbeda pendapat.

Teknik pencarian kebenaran yang penulis gunakan adalah teknik komparatif seperti yang biasa digunakan oleh hakim, membandingkan pendapat para ahli yang berbeda pendapat, mencari titik-titik lemah dan titik-titik kuat, menggunakan logika obyektif, lalu menemukan konklusi sebagai teori, yang memungkinkan dalam bentuk:

  1. Menyetujui salah satu kelompok pendapat dengan menganggap kelompok pendapat lainnya tidak benar; atau

  2. Menemukan hukum atau teori berdasarkan titik singgung yang mempertemukan dua kelompok pendapat ahli yang berbeda; atau

  3. Tidak menemukan kebenaran dengan menyimpulkan bahwa kedua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut telah keliru dalam menyimpulkan penyebab semburan lumpur, atau

  4. yang lainnya.


KRONOLOGI KEJADIAN SEMBURAN

Penulis merupakan salah satu anggota Tim Advokasi Kemanusiaan Korban Lumpur Lapindo yang turut merumuskan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah. Untuk berusaha menjaga obyektivitas dan keadilan dalam merumuskan tulisan ini maka penulis juga menggunakan kronologi serta pendapat versi Lapindo dan pemerintah.


    1. Kronologi Versi Lapindo dan BP Migas


Berdasarkan fotocopy dokumen kronologi kejadian semburan lumpur Lapindo yang dibuat Lapindo dan Badan Pengawas Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) tertanggal 12 Juni 2006, semburan lumpur Lapindo terjadi di lokasi sekitar Sumur BJP 1 Sidoarjo sebagai berikut:

      1. Pemboran sumur mulai 8 Maret 2006.

      2. Pemboran aman sampai dengan kedalaman 3.580 feet, casing 13 3/8” diset dan disemen.

      3. Pemboran dilanjutkan sampai dengan kedalaman 9.297 feet, terjadi kehilangan lumpur Sabtu pagi (Sabtu pagi tersebut adalah tanggal 27 Mei 2006, pen). Kejadian ini ditanggulangi dengan LCM (singkatan dari lost circulation material, pen).

      4. Selanjutnya direncanakan penyemenan di daerah loss (yang kehilangan lumpur itu, pen) dan pemasangan casing.

      5. Rangkaian pemboran dicabut (diangkat ke atas, pen) sampai kedalaman 4.421 feet dimana terjadi well kick pada Minggu (hari Minggu tersebut adalah tanggal 28 Mei 2006, pen).

Kejadian well kick tersebut ditangani dengan Kill Mud sampai sumur tersebut mati dan bisa terkendali lagi. Selanjutnya dilakukan dilakukan sirkulasi lumpur untuk membersihkan sumur dari sepih bor.

      1. Rangkaian mata bor direncanakan untuk dicabut sampai ke permukaan tetapi tidak berhasil (terjepit).

      2. Pada Senin pagi (Senin pagi tersebut tanggal 29 Mei 2006, pen) timbul semburan lumpur alami 150 meter dari lokasi pemboran.

      3. Seminggu kemudian semburan lumpur alami tidak mengalami penurunan intensitas. Kondisi pemboran dinilai tidak aman. Diputuskan menyelamatkan sumur dan peralatan pemboran. Rangkaian pemboran dilepaskan dan dipasang cement plug di bawah mata bor dan di atas pipa.

      4. Drilling rig dan alat pemboran lainnya dikeluarkan dari lokasi dan dikembalikan kepada pemilik (siapa pemilik drilling rig dan alat pemboran?, pen).


    1. Kronologi Versi BPK


Dalam laporan auditnya tertanggal 29 Mei 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan investigas lapangan menggunakan para ahli dari PT Exploration Think Tank Indonesia (ETTI) menjelaskan kronologi sebagai berikut:

      1. Pemboran Sumur BJP 1 dimulai pada tanggal 8 Maret 2006.

      2. Pada tanggal 27 Mei 2006 atau hari ke-80 telah mencapai kedalaman 9.297 kaki. Pada kedalaman tersebut terjadi total loss circulation (hilangnya lumpur pemboran) dan kemudian LBI/PT. MCN (PT. MCN = PT. Medici Citra Nusa, pen) mencabut pipa bor. Pada saat mencabut pipa bor, terjadi kick dan pipa terjepit (stuckpipe) pada kedalaman 4.241 kaki. Pipa tidak dapat digerakkan ke atas dan ke bawah maupun berputar/berotasi.

      3. Pada tanggal 29 Mei 2006 sejak jam 4.30 muncul semburan H2S, air dan lumpur ke permukaan. Lokasi semburan + 150 meter dari lokasi Sumur BJP 1.

      4. Karena luapan semburan lumpur mulai menggenangi area Sumur BJP 1, ada rekahan dan pipa terjepit, maka pada tanggal 4 Juni 2006 Sumur BJP 1 ditinggal untuk sementara (temporary well abandonment). Pada saat ditinggalkan, tinggi semburan berkisar 1-2 meter dan berasal dari tiga titik semburan.

      5. Akhirnya LBI (Lapindo) menutup sumur secara permanen (permanent well abandonment) pada tanggal 18 Agustus 2006 setelah upaya menghentikan semburan lumpur melalui Sumur BJP-1 gagal.


    1. Kronologi Versi Mekanik Kontraktor Pemboran


Syahdun, sorang mekanik PT. Tiga Musim Jaya Mas selaku kontraktor pemboran yang ditunjuk Lapindo menjelaskan kepada media (Kompas, 8/6/2006). Syahdun juga telah diperiksa penyidik Polda Jawa Timur dalam kasus semburan lumpur Lapindo. Syahdun menjelaskan:

      1. Pada mulanya formasi sumur pemboran pecah.

      2. Ketika bor akan diangkat untuk mengganti rangkaian, tiba-tiba bor macet, gas tidak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor dan menekan ke samping. Gas mencari celah dan keluar ke permukaan melalui rawa.

      3. Lumpur panas keluar dari kedalaman 9.000 feet atau 2.743 meter dari perut bumi, juga keluar dari enam titik lainnya.


Ketiga versi kronologi tersebut tidak berbeda secara substansial, sehingga dalam soal tersebut tidak ada masalah.


PENDAPAT PARA AHLI


Pendapat ahli yang penulis kutip selanjutnya ini hanya beberapa ahli geologi dan pemboran perminyakan berasal dari Indonesia yang relevan dalam mencaritahu penyebab semburan lumpur Lapindo. Penulis sengaja tidak menggunakan hasil analisis Prof. Richard J Davies sebagaimana di di jurnal geologi Amerika GSA Today edisi Februari 2007 maupun hasil laporan PBB Juni-Juli 2006 dengan alasan menghindari kecurigaan subyektivitas persepsi sebab keduanya merupakan produk 'asing', meski sesungguhnya dalam kajian ilmiah tidak etis untuk berlaku diskriminatif.

Dengan ukuran obyektivitas maka hasil analisis Prof. Richard J Davies tersebut menurut penulis sebenarnya yang paling ilmiah dan masuk akal sebab bisa dengan tepat menjelaskan pengaruh gempa Jogja yang berbeda waktu dengan awal peristiwa semburan lumpur Lapindo. Maka penulis mencoba sengaja untuk memulai analisis ini dengan mengakomodasi pemikiran para ahli yang telah 'meminjam data-data' pihak Lapindo (termasuk Energi Mega Persada), sebab penulis merupakan salah satu anggota perumus gugatan kepada Lapindo Brantas Inc dan tergugat lainnya yang dilakukan YLBHI dan WALHI.

Pada dasarnya terdapat dua kelompok ahli yang berpendapat dalam soal penyebab semburan lumpur Sidoarjo, yaitu: Kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur karena bencana alam, dan kelompok ahli penyimpul bahwa semburan lumpur Lapindo karena kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Bencana Alam


Penulis tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pada dasarnya pendapatnya dilandasi argumentasi yang sama. Dalam kelompok ahli ini saya kutip pendapat beberapa ahli yang cukup mewakili sebab para ahli ini diantaranya diminta pihak Lapindo untuk menjadi ahli di PN Jakarta Pusat dan Selatan dalam sidang atas gugatan YLBHI dan WALHI. Para ahli tersebut adalah:

      1. Agus Guntoro, ahli Teknik Geologi Universitas Trisaksi, peneliti anggota Tim Investigasi Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI).

      2. Sukendar Asikin, Guru Besar, ahli geologi Institut Teknologi Bandung (ITB).

      3. Mochamad Sofian Hadi, ahli geologi dipekerjakan di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

      4. Dody Nawangsidi, ahli Teknik Perminyakan dari ITB.


Pendapat ahli Agus Guntoro :

Ia menjelaskan perdapatnya dalam Temu Ilmiah Semburan Lumpur Panas Sidoarjo, Analisa Penyebab dan Alternatif Penanggulangannya, di Jakarta, 7 Desember 2006 yang diorganisasi oleh Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas). Dalam acara tersebut Agus Guntoro memaparkan makalahnya berjudul: Hipotesa Semburan Lumpur Sidoarjo dari perspektif Geologi. Agus Guntoro menjelaskan 4 (empat) hipotesa penyebab semburan lumpur Lapindo, yaitu:

  1. Semburan akibat pemboran Sumur BJP 1,

  2. Semburan akibat Gempa Jogja (terjadi dua hari sebelum semburan Lusi),

  3. Semburan akibat proses aktivitas Gunung Lumpur (mud volcano), dan

  4. Semburan akibat adanya aktivitas panas bumi (geothermal).


Dalam makalahnya tersebut Agus Guntoro berkesimpulan diantaranya khusus dalam soal penyebab semburan lumpur Lapindo tersebut di kesimpulan huruf d dinyatakan: “Sangat mungkin semburan lumpur Sidoarjo tidak berkaitan dengan pemboran tetapi merupakan sebuah fenomena alam berupa mud volcano yang keluar melalui zona patahan yang teraktifasi yang dapat disebabkan oleh gempa Jogjakarta yang mendahului 2 hari sebelum semburan.”


Agus Guntoro menjelaskan bahwa naiknya erupsi semburan lumpur panas di daerah sekitar Sumur BJP 1 merupakan hasil dari adanya zona plastis yang merupakan bagian dari shale diapirism yang naik ke permukaan sebagai mud volcano. Fenomena ini tersebar secara regional dari Jawa Barat hingga utara Lombok. Patahan-patahan yang terekam pada bawah permukaan bukan semata terbentuk secara tektonik dan merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai Contemporaneuous Fault System. Patahan tersebut sangat labil terhadap pergerakan masa dari sepih yang masih plastis dan inkompetibel.


Menurut Guntoro, dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.


Dalam keterangannya di muka PN Jakarta Selatan (gugatan WALHI kepada Lapindo dll.) Agus Guntoro menerangkan telah melakukan penelitian sehingga menyimpulkan, diantaranya:

    • Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    • Hasil analisis air menunjukkan lumpur dan air itu merupakan dua sistem yang berbeda letaknya.

    • Adanya gas H2S yang biasanya menunjukkan di dalam geologi untuk Jawa Timur berasal dari formasi Kujung.

    • Kandungan Florid berkisar sekitar 14.000 ppm, sangat tinggi dan tidak berasal dari formasi Kalibeng di mana lumpur itu berasal.


Dalam korelasi antara gempa Jogja dengan masalah pemboran Guntoro menjelaskan:

    • Bahwa terjadi korelasi antara gempa dengan proses loss yang terjadi pada saat pemboran yaitu sekitar 10 menit setelah terjadinya gempa Jogja yang terjadi persis loss yang hilangnya lumpur pemboran yang digunakan, kemudian 6 jam setelah itu terjadi loss mengakibatkan terjadinya loss dan kick.


Dalam acara Temu ilmiah di Jakarta (7/12/2006), Agus menjawab pertanyaan korelasi antara pemboran sumur Banjar Panji1 dengan mud volcano sebagai berikut:

    • Apa yang kita hadapi saat ini sangat kompleks, sehingga tidak bisa dilihat dari satu disiplin ilmu. Yang dilihat secara geologi adalah melihat fakta secara regional dengan menggunakan metode induksi dan deduksi. Karena tidak mungkin seorang geogolog memutuskan secara final, yang kita sampaikan adalah dari sudut pandang geologi.”


Guntoro di sidang PN Jakarta Selatan memastikan semburan lumpur Lapindo bukan karena aktivitas pemboran dengan alasan:

    • ada beberapa penelitian yang saksi (Agus Guntoro) lakukan menunjukkan bahwa air dan lumpur berasal dari dua sistem yang berbeda. Kemudian yang kita lihat adalah temperatur yang begitu tinggi tidak menunjukkan sebagai fluida yang dari titik bor sampai pada kedalaman.

    • Volume yang begitu besar sulit dibayangkan keluar dari lubang sumur yang diameternya 12,5 inchi, karena itu saksi (Agus Guntoro) berpendapat keluarnya semburan melalui suatu bidang yang berkaitan dengan aktivitas dari pergerakan kulit bumi.


Pendapat ahli Sukendar Asikin:

Ia menjelaskan secara lebih umum di hadapan hakim PN Jakarta Selatan berkaitan dengan adanya korelasi antara semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja. Asikin mengatakan:

    • Bahwa yang menyebabkan keluarnya lumpur di Sidoarjo adalah ada beberapa patahan atau cekungan yang diisi oleh sedimen. Sedimen ini lunak disebut lempung yang sangat tebal pada waktu terjadi gerak tektonik cekungan tadi sudah diiris oleh patahan-patahan, patahan-patahan itu akan bergerak kembali pada saat gerak tektonik. Patahan inilah menstimuler lempung bergerak ke atas.

    • Bahwa yang menyebabkan adanya lumpur Sidoarjo karena gerakan tektonik itu terjadi hanya beberapa saat setelah terjadi gempa.

    • Bahwa selain di Sidoarjo di tempat lain saksi pernah melihat gunung lumpur ini di Timor, di Irian, di Bangkalan dan di Purwodadi itu semuanya karena gerak kerak bumi atau tektonik tadi di Timor tidak ada pemboran, tapi gunung lumpur itu bersamaan keluarnya dengan oilship atau rembesan-rembesan minyak. Di situ ada lumpur yang bergerak ke atas tapi juga ada rembesan minyak.


Dalam kaitannya dengan jarak gempa Jogja dengan Sumur BJP 1 Sidoarjo yang lebih jauh (250 km) dibandingkan lokasi Bleduk Kuwu yang lebih dekat (120 km), Asikin menjawab:

    • Bleduk Kuwu umurnya sudah ratusan tahun, wajar keluar lumpurnya hanya sedikit.

(Keterangan Asikin ini tidak dicatat dalam putusan PN Jakarta Selatan tersebut, tapi direkam oleh Walhi: www.walhi.or.id, 8/11/2007)


Pendapat ahli Mochamad Sofian Hadi:

Ia menerangkan penyebab semburan lumpur Lapindo di PN Jakarta Selatan, diantaranya:

    • Saksi ahli dalam bidang tektonik dan telah melakukan penelitian yang hasilnya menyimpulkan lumpur itu disebabkan tektonik terjadi apabila ada benturan.

    • Bahwa lumpur tersebut sampai keluar karena air bersentuhan dengan magma yang sanggup mendorong fluida keluar.

    • Bahwa yang menyebabkan lumpur Sidoarjo keluar adalah karena tektonik, lumpur yang sekarang ini keluar sama dengan di Madura.


Selanjutnya ia juga menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar setelah pemboran itu hanya kebetulan.

    • Bahwa luapan lumpur itu bisa dihentikan ada dua sisi tinjau, kalau sisi tinjau keliling melihat ini underground blowout jawabannya bisa dihentikan luapan lumpur tersebut, tapi kalau ini sisi tinjau mud volcano di mana air mendidih karena dapur magma menjawabnya tidak bisa dihentikan luapan lumpur tersebut.


Pendapat ahli Dody Nawangsidi:

Soal tidak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran di Sumur BJP 1 tersebut Dody Nawangsidi di PN Jakarta Selatan menerangkan:

    • Bahwa pemasangan casing itu adalah kick toleran apa terlampau atau tidak dan pada saat itu kick toleran belum melampaui harga minimum maka pemboran tersebut bisa dilakukan sampai sedalam mungkin. Ini hal yang normal dan di mana-mana orang mengebor itu dengan open hole tanpa casing itu sangat panjang, jauh melebihi yang di Banjar Panji. Di dunia ternyata lebih panjang itu misalnya di Laut Cina Selatan, Selat Madura, Kalimantan 6.000 feet belum dipasang casing.

    • Bahwa sumur BJP 1 belum terpasang casing sampai kedalaman lubang terbuka 6.000 feet itu merupakan hal yang wajar, bukan kesalahan.

    • Bahwa proses pemboran di Sumur BJP 1 setelah saksi pelajari dari data perencanaan hingga operasi dan penanggulangan masalah, semuanya tidak ada yang menyalahi prosedur, semuanya sudah sesuai dengan prosedur yang ada.


Soal keluarnya lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa degan pemboran ini tidak ada hubungannya dengan keluarnya lumpur. Patahan ini dalamnya 20.000 kaki sedangkan pemboran hanya 900 kaki (maksudnya 9.000 kaki, pen) dan casingnya tidak pecah.

    • Bahwa operasi pemboran di BJP 1 tidak ada yang menyalahi prosedur, dapat dipertanggungjawabkan.

    • Bahwa korelasi antara semburan lumpur dengan pemboran Sumur BJP 1 adalah salah satu korban dari kejadian tektonik itu.

    • Bahwa lumpur Lapindo itu tidak disebabkan drilling accident, karena lumpur tidak berasal dari lubang sumur.


Soal pengaruh gempa dengan jauh-dekatnya jarak suatu tempat, Dody menerangkan:

    • (Tergantung) tingkat kestabilannya, kalau gempa terjadi di suatu lokasi maka pengaruh yang paling dirasakan belum tentu di daerah yang paling dekat, bisa juga di tempat lebih jauh lebih terasa, tergantung struktur lempeng di bawahnya.

    • Saya bukan ahli gempa.” (lihat rekaman Walhi di http://www.walhi.or.id/ kampanye/cemar/Lapindo_2007_11_14/).


Tentang lumpur yang muncul dari pemboran Dody berteori:

    • (Lumpur pemboran itu dari) yang pertama berasal dari kaki casing yang pecah, lalu lumpur menyembur keluar dari tempat pemboran, tapi kalau terjadi underground blowout itu keluar dari kaki casing dan kemudian muncul ke atas.

    • Pada umumnya (lumpur karena pemboran) terjadi di lubang pemboran bisa juga di tempat lain yang jauh dari pemboran kurang lebih radius 40 meter.


Soal asal lumpur Lapindo tersebut Dody menerangkan:

    • Bahwa lumpur keluar dari tempat lain selain pemboran karena lumpur itu ada di lapisan 3.000 – 4.000, lempung yang keras kemudian ada air mengalir dari bawah kira-kira 20.000 kaki, dia akan bercampur dengan lempung sehingga akan terjadi lumpur karena selnya reaktif maka lumpur bertekanan tinggi mencari jalan keluar melalui rekahan dan kalau semburan akibat pemboran tidak lebih dari 750 m3 per hari. Ini 200 kali lipat.


    1. Kelompok Ahli Penyimpul Semburan Karena Pemboran Lapindo.


Penulis juga tidak menyebutkan seluruh ahli dalam kelompok ini sebab pendapat mereka juga hampir sama secara substansial.

      1. Rudi Rubiandini, ahli geologi dan pemboran perminyakan dari ITB, ditugaskan pemerintah selaku Ketua Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo.

      2. Andang Bachtiar, ahli geologi dan pemboran perminyakan, anggota Tim Investigasi Independen Semburan Lumpur Sidoarjo, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi (IAGI).

      3. Adi Susilo, ahli geosains, Kepala Laboratorium Geosains Universitas Brawijaya Malang.

      4. Amin Widodo, ahli studi bencana, Kepala Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.


Pendapat ahli Rudi Rubiandini:

Tentang penyebab semburan lumpur Lapindo itu Rudi menerangkan sebagai ahli di PN Jakarta Selatan sebagai berikut:

    • Bahwa semburan lumpur Lapindo ini terjadi (hasil dari hasil investigasi yang diperoleh dari data-data yang dikumpulkan) disimpulkan keluarnya air panas dan asin yang naik ke permukaan menggerus tanah liat kemudian meretakkan batuan di permukaan di dalam lubang yang tidak terpasang casing kemudian keluar ke permukaan menjadi semburan gunung lumpur, itu fenomena yang terjadi di Sumur BJP 1 sekarang.

    • Bahwa data-datanya diperoleh dari daily drilling report yaitu sebuah data-data yang selalu dicatat oleh ahli pemboran, dari situ dapat dilihat bahwa tekanan yang terjadi dalam lubang melebihi kekuatan tekanan batuan yang dimiliki oleh batuan selama pemboran. Akibat tekanan yang melebihi tadi mengakibatkan bahwa batuan menjadi rekah dan tidak mungkin lagi fluida di dalam lubang selamanya sehingga mencari jalan keluar, keluarlah seperti sekarang akhirnya membesar. Sekarang sudah sangat membesar sekali lubangnya sehingga laju alir atau debitnya sudah jauh lebih besar daripada saat awal alirannya sangat kecil, dengan waktu fluktuasi sekarang aliran sudah kontinyu dan mengalir membesar karena lubangnya besar.

    • Bahwa dari data-data, secara ringkas penyebab utama semburan lumpur ini ada dua secara teknis. Pertama, terjadinya kick yaitu luapan tekanan dari bawah yang tidak terkontrol. Kedua, tidak terpasangnya casing dari kedalaman 3.580 sampai 9.200, karena kedua penyebab ini terjadilah sebuah keretakan kemudian terjadi semburan.

    • Bahwa penyebab semburan lumpur ini dari investigasi kami sejak bulan Juni tahun yang lalu kesimpulannya kami bahwa tetap semburan ini disebabkan pada awalnya pada lubang Sumur BJP 1 yang saat itu sedang dibor oleh PT. Lapindo Brantas.


Soal kelanjutan upaya penghentian semburan dengan relief well yang pernah dilakukan Lapindo, Rudi menerangkan:

    • Bahwa ketika saksi (Rudi, pen) sudah masuk Timnas sudah menyarankan relief well tersebut. Saran itu jelas dilaksanakan dan diterima oleh sistem namun kemudian tidak dapat dilanjutkan, yang terakhir kendalanya adalah bahwa biaya untuk melaksanakan pekerjaan tersebut sudah habis, karena itu pekerjaan tidak diteruskan dan pemboran hanya berhenti di tengah jalan.


Rudi menyinggung kaitannya dengan Sumur Porong sebagai berikut:

    • Bahwa jarak Sumur BJP 1 dengan Porong kira-kira 4,5 km sudah dibor lebih dulu kedalamannya relatif sama, tidak menghasilkan, itu juga sumur eksplorasi yang memiliki kedalaman sama. Ada yang sudah menghasilkan di dekat situ namanya sumur Wunut jaraknya kira-kira 2,5 atau 3 km, namun sumurnya cukup dangkal sehingga tidak korelatif dengan sumur yang sedang dibor.


Soal prinsip kick toleran Rudi menjelaskan:

    • Bahwa dikatakan aman atau tidak aman keadaan di bawah tanah secara teknis ada beberapa metode. Metode pertama adalah engineering yaitu melihat berapa kick toleran. Toleran itu adalah berapa sempat sebuah lumpur nanti pada saat dibor ketika terjadi kick dia bertahan. Dalam hitungan saksi (Rudi, pen) Sumur BJP 1 itu sampai kedalaman 9.297 itu hanya memiliki 0,5 pond per gallon dan itu secara operasional dapat diperbolehkan selama tidak ada kejadian apapun jika ketika membor normal itu aman. Namun ketika terjadi proses tadi tekanan kick pasti tidak aman karena tekanan jauh melebihi tekanan tersebut.


Dalam soal kaitan antara casing dengan kejadian kick, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang menyebabkan terjadinya kick bukan karena tidak dipasang casing. Kick adalah sebuah kecelakaan pemboran yang kita temui. Ada loss, ada kick, ada stuck. Tapi ketika ada kick kemungkinan kita punya casing maka akan aman-aman saja.


Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa yang berkembang sekarang di media massa adalah beberapa ahli menyatakan gempa bumi, menyatakan geothermal, semua pernyataan tersebut setelah dianalisa kembali dengan data-data dari hasil pemboran dari luapan, dari tekanan, termasuk juga dari hasil evaluasi ahli geofisis tentang gempa ternyata bahwa hipotesa-hipotesa itu terlalu lemah untuk menyatakan bahwa penyebab semburan itu dalah hasil metode tersebut. Sedangkan data-data otentik yang diperoleh dari hasil pemboran cukup memperkuat bahwa aliran itu pertama keluar pada saat pemboran terjadi pada saat kick terjadi.


    • Bahwa hubungan kejadian gempa dengan tidak terpasangnya casing dari analisa ahli geofisis mengatakan itu terlalu jauh untuk mengakibatkan terjadinya semburan Lapindo dari Jogjakarta dan itu jaraknya kira-kira 300 km, itu tidak ada hubungannya.


Soal fungsi rig pemboran saat semburan lumpur terjadi, Rudi menjelaskan:

    • Bahwa pada saat terjadinya blowout, rig itu tidak boleh pergi. Rig itu harus melakukan killing sampai rig itu terbakar. Yang terjadi di Sumur BJP 1 itu rig pergi setelah memotong pipa sehingga sehingga sangat kesulitan pada saat melakukan killing sehingga kita menunggu 4 bulan blowout sejak 29 Mei 2006.


Pendapat ahli Andang Bachtiar:

Ia pernah memaparkan hasil-hasil temuan datanya dalam presentasi berjudul: “Banjarpanji, Mud Volcano in The Making, Tinjauan Geologi Lumpur Porong” tanggal 7 September 2006. Andang memaparkan fakta temuan semburan, material dan data-data yang berkaitan dengan sumber semburan lumpur sebagai berikut:

    • Appears approx. 200 m from well.

    • Initial burst contains H2S 35 ppm but disappeared or significantly reduced on the second day, Zero for a long time but currently some amount is detected. H2S was encountered when drilling into and kick from Carbonate.

    • MUD - WATER 70%, SOLID 30%.

    • Chloride content: 14.000 ppm.

    • Mud Temperature at Surface: steam 212o F (100 o C). Mixing with near surface water is assumed.

    • Found Nanno and Foram fossils.

    • Contains organic materials of Terrestrial and Marine origin.

    • Thermal Maturity is equivalent to Ro 0.64%.

    • Contains predominantly of Quarts (SiO2) and Clay materials (Smectite, Chlorite and Kaolinite).

    • Contains some Hydrocarbon which is different than the SOBM used to drill the Banjarpanji-1 well.


Dari data-data tersebut Andang membuat kesimpulan asal semburan lumpur, yaitu:

Sources of Solid:

  • The Overpressured Shale

    • Foram & Nanno fossils found suggest from 6.000-4.000 ft.

    • Thermal maturity suggest from 5100 – 6300 ft

    • Kerogen composition correlatable with SWC from 5.600 ft

    • Temperature estimated source is from 5.100-5.500 ft

  • Also contribute water (trapped water) è MOST LIKELY


Sources of Water/Gas/Energy (drive)

  • Kujung Formation.: Initial burst contain H2S suggest contribution from Kujung.

    • Presence of H2S upto present time suggest continued contribution of Kujung

  • Highly porous and permeable Sandstone 6.360-6.385 ft

  • Volcanic Sandstone at 6.100 ft. Superchaged from overlying shale. Limited contribution as it is tight. Should not last long. ==è Pressure reconciliation problems


    • Dalam presentasinya tersebut Andang menjelaskan bahwa gempa Jogja kecil kemungkinannya sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo.

    • Ia menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah bor Lapindo menembus lapisan mud diapir.

    • Andang berkali-kali meminta secara terbuka agar Lapindo membuka data-data yang disembunyikan.


Pendapat ahli Adi Susilo:

Ahli geosains Universitas Brawijaya ini berpendapat (Kompas, 8/6/2006):

    • Menyemburnya lumpur hidrokarbon pada sumur minyak BJP 1 bukan merupakan bencana alam, tapi merupakan ketidakberuntungan.

    • Diduga, saat penggalian dilakukan lubang galian belum sembat disumbat dengan cairan beton sebagai casing.

    • Lubang itu menganga karena gempa bumi di Jogja yang getarannya dirasakan sampai ke Sidoarjo.

    • Rekahan tersebut menyebabkan lumpur hidrokarbon yang merupakan bahan baku minyak bumi muncrat karena tekanannya sangat kuat.

    • Prosedurnya memang lubang penggalian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pemboran selesai dilakukan dan minyak mentahnya telah ditemukan.


Pendapat ahli Amien Widodo:

Ia menjelaskan (Kompas, 8/6/2006):

    • Semburan lumpur Lapindo dimungkinkan karena kesalahan prosedural yang mengakibatkan blowout.

    • Secara prosedural kalau ada gas naik akan digunakan lumpur untuk menutupnya. Namun mungkin saja gas bertekanan besar ini mendorong lumpur dan mencari retakan lain yang ada di dalam tanah.

    • Lumpur yang terbawa keluar pun bisa berasal dari lumpur yang digunakan untuk menutup lubang bor atau bisa juga lumpur yang menutup lapisan gas di dalam tanah.

Dalam kaitannya dengan gempa Jogja, Amien berpendapat:

    • Perlu gempa berkekuatan 6 skala richter untuk menimbulkan rekahan seperti yang terjadi di Yogyakarta. Di Surabaya yang terasa paling 2 skala richter.

    • Gempa di Yogyakarta terjadi karena pergeseran Sesar Opak yang tidak berhubungan dengan Surabaya. Kalaupun ada retakan yang melintasi Surabaya itu adalah retakan yang melintas dari sekitar Surabaya ke arah Barat Daya Pacitan.


ANALISIS PERBANDINGAN

  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam

Jika pendapat ahli Agus Guntoro, Sukendar Asikin, Mochamad Sofian Hadi dan Dody Nawangsidi diperbandingkan maka akan ditemukan keadaan-keadaan:

    1. Keterangan Agus Guntoro yang tidak sama dalam hal yang sama, yaitu:

Dalam acara Temu Ilmiah tersebut Agus Guntoro menyatakan:

Dari hasil analisis seismik dengan melihat korelasinya terhadap paleo struktur diapir di Sumur Porong maka sumber lumpur tersebut diperkirakan dari Zona Ngimbang atau Kujung yang berumur dari Eosen hingga Oligosen.”

Ini berbeda dengan keterangannya di PN Jakarta Selatan yang menerangkan: “Lumpur yang keluar berumur sekitar 4,9 juta tahun pliosen dalam sejarah geologi dan berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).”

(catatan penulis: Zona atau lapisan bumi Ngimbang, Kujung dan Kalibeng berbeda dalam usia, bentuk lapisan dan kedalamannya).

    1. Keterangan empat ahli tersebut sama dalam hal bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo karena rekahan tanah di sekitar Sumur BJP 1 karena gerakan tektonik.

    1. Dody Nawangsidi mengatakan asal lumpur semburan dari kedalaman 3000 – 4000 kaki, sedangkan Agus Guntoro mengatakan asal lumpur berkorelasi dengan formasi Kalibeng di dalam sumur pemboran BJP 1 pada kedalaman sekitar 2.000 sampai dengan 6.000 feet (kaki).

    1. Perbedaan interpretasi dalam soal sama tersebut dimungkinkan karena perbedaan jenis data yang dianalisis, yaitu data seismic dan data material. Tetapi ini sekaligus menunjukkan bahwa konklusi data geologis ternyata rentan dengan ‘kesalahan’.


  1. Perbandingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Jika pendapat ahli Rudi Rubiandini, Andang Bachtiar, Adi Susilo, dan Amin Widodo diperbandingkan maka akan diperoleh temuan:

    1. Para ahli ini sama pendapat bahwa telah terjadi kesalahan eksplorasi oleh Lapindo sebagai penyebab semburan lumpur tersebut.

    1. Amien Widodo memastikan gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur sebab kekuatannya tidak memenuhi syarat untuk adanya rekahan (di lokasi semburan lumpur tidak sampai 6 skala richter tapi hanya sekitar 2 skala richter). Pendapat ini sama dengan Andang Bachtiar yang membandingkan jarak dengan kekuatan gempa.

    1. Sedangkan Adi Susilo berpendapat bahwa getaran gempa Jogja menjadi pemicu rekahnya kedalaman pemboran yang tidak dipasangi casing oleh Lapindo, sehingga ia mengatakan semburan lumpur itu bukan karena bencana alam.

    1. Pendapat para ahli ini juga mengandung anasir probabilitas, bersifat konklusi sains yang tidak dapat dijadikan alat menyimpulkan kebenaran fakta absolut. Hal ini juga menunjukkan bahwa pendapat ahli yang dijadikan alat menyimpulkan sebuah hukum atau teori penyebab semburan lumpur Lapindo masih mengandung kelemahan.


  1. Analisis Perbadingan Pendapat Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam dengan Penyimpul Kesalahan Eksplorasi

Dari dua kelompok pendapat ahli yang berbeda tersebut, dapat dibandingkan sebagai berikut:

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut adalah para ahli geologi serta ahli pemboran maupun perminyakan yang bukan ahli gempa, kecuali Amien Widodo yang berkecimpung dalam laboratorium Pusat Studi Bencana di ITS. Para ahli geologi yang bukan ahli gempa diragukan untuk bisa menyimpulkan secara akurat bahwa semburan lumpur tersebut merupakan akibat gempa Jogja atau bukan. Ini menyangkut kompetensi keahlian.

    • Dua kelompok ahli yang berbeda pendapat tersebut yang merupakan ahli pemboran tidak fokus dalam menganalisis data-data yang mereka peroleh untuk dikaitkan dengan kronologi semburan lumpur Lapindo, kecuali Rudi Rubiandini dan Andang Bachtiar. Tetapi Andang Bachtiar masih merasa terkendala dengan ‘data-data Lapindo’ yang masih belum diungkapkan ke publik padahal itu penting untuk menyimpulkan penyebab semburan lumpur Lapindo secara lebih tepat.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Bencana Alam berkesimpulan secara berbeda dengan kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1, tetapi mereka tidak pernah menganalisis tuntas tentang problem yang terjadi selama proses pemboran, contohnya berkaitan dengan terjadinya kick, stuck, dan loss dalam korelasinya dengan long open hole karena tak dipasangnya casing di kedalaman terakhir dalam pemboran Sumur BJP 1. Ketika mereka menyimpulkan gempa Jogja sebagai penyebab, mereka juga tidak menganalisis tuntas tentang pengaruh perbedaan kejadian (gempa terjadi 27 Mei 2006, sedangkan semburan lumpur terjadi 29 Mei 2006). Ini tentu hal yang tidak bisa mereka lakukan sebab mereka mungkin tidak begitu paham tentang bagaimana proses pencairan bebatuan dalam bumi saat terjadinya gempa, sebab mereka bukan ahli gempa.

    • Kelompok Ahli Penyimpul Kesalahan Eksplorasi berkesimpulan secara sama dengan seluruh versi kronologi proses pemboran di Sumur BJP 1 hingga terjadinya semburan lumpur Lapindo tersebut yang tentunya ini bukan merupakan sebuah kebetulan.


KONKLUSI

    1. Pendapat para ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah gempa Jogja telah meragukan dan tidak dapat digunakan sebagai rujukan sebab: (1) Merupakan analisis ahli yang bukan ahli gempa; (2) Tidak tuntas dalam menganalisis problem yang terjadi dalam proses pemboran di Sumur BJP 1 Sidoarjo, dan (3) Tidak dapat menjelaskan pengaruh perbedaan hari antara peristiwa gempa Jogja (27 Mei 2006) dengan kejadian semburan lumpur Lapindo (mulai 29 Mei 2006).

    2. Pendapat ahli tentang bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah kesalahan eksplorasi di Sumur BJP 1 Sidoarjo ternyata sesuai dengan kronologi proses pemboran Sumur BJP 1 yang disusun Lapindo, BP Migas serta versi mekanik kontraktor pelaksana pemboran Lapindo sendiri maupun BPK. Namun, konklusi itu masih 'terseret' hipotesis tentang kejadian gempa Jogja sebagai pendapat yang digunakan pihak Lapindo.


SARAN

    1. Lapindo harus membuka seluruh data proses pemboran Sumur BJP 1 Sidoarjo terkait dengan kepentingan korban dan nasional agar segera diputuskan untuk langkah penghentian semburan lumpur Lapindo.

    1. Diperlukan metoda analisis kolaboratif para ahli independen antara ahli geologi gempa, ahli pemboran dan ahli geologi lainnya dengan dasar data-data primer (bukan data sekunder) dan bukan sekedar hipotesis, untuk bisa mengetahui penyebab semburan lumpur Lapindo.

    2. Kolaborasi penelitian ahli inpenden sesungguhnya telah ada dari Tim Investigasi Independen bentukan pemerintah yang dipimpin Rudi Rubiandini serta para ahli yang digunakan BPK, hanya tinggal penelitian para ahli gempa bumi, sebab ahli bencana yang meneliti barulah Amien Widodo dari ITS yang telah menyimpulkan bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur Lapindo.