Sabtu, 06 September 2008

LUMPUR LAPINDO, HARUSKAH MENUNGGU PENGADILAN?

Pihak Lapindo dan banyak kalangan menilai bahwa Lapindo Brantas Inc (Lapindo) belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi bersedia membayar ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo (khusus untuk yang ada dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Hal itu dinilai sebagai ‘kebaikan’ atau itikad baik Lapindo.

Untuk memperoleh cara pikir yang lebih komprehensif, tulisan ini hendak mengulas setidaknya berkaitan dengan dua pertanyaan, yaitu: (1) Apakah menentukan Lapindo bersalah atau tidak harus menunggu putusan pengadilan? (2) Bagaimana prinsip pertanggungjawaban dalam usaha hulu minyak dan gas bumi (migas)? Tentu saja, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan hukum, maka jawabannya juga berdasarkan hukum.

Penyebab semburan lumpur

Seperti kita ketahui, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada Lapindo dinyatakan ditolak. Alasan hakim, semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, bukan kesalahan Lapindo. WALHI banding atas putusan tersebut sehingga menurut hukum acara perdata putusan PN Jakarta Selatan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap alias mental.

Berbeda dengan PN Jakarta Pusat telah berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran. Tetapi gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) itu ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan alasan tidak ada pelaggaran HAM karena Lapindo dan pemerintah dinilai telah memenuhi HAM para korban. YLBHI mengajukan banding atas putusan tersebut sehingga putusan PN Jakarta Pusat juga masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

WALHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pencamaran dan perusakan lingkungan hidup. WALHI menggunakan kedudukan hukumnya sebagai organisasi wali lingkungan hidup (yang di dalamnya terdapat aktor lingkungan berupa manusia). Sedangkan YLBHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pelanggaran HAM. YLBHI menggunakan kedudukannya sebagai organisasi pejuang HAM (human rights sefender). Sedangkan warga korban Lapindo sendiri hingga saat ini belum pernah menggugat Lapindo.

Proses hukum pidana kasus lumpur Lapindo ditangani Polda Jatim. Penyidik telah bekerja keras melakukan pemeriksaan perkara. Penyidik telah melimpahkan berkas kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tanggal 30 Oktober 2006 tapi berkasnya masih terus dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan petunjuk (P19) secara berulang-ulang, hingga sekarang, dengan petunjuk berubah-ubah.

Mengapa berkas kasus lumpur itu bisa bolak-balik seperti penari kuda lumping? Dengan pikiran positif kita masih bisa menduga bahwa Jaksa yang menangani kasus itu ingin berkas perkara itu benar-benar sempurna sehingga para tersangka/terdakwa kasus lumpur yang berjumlah 13 orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum.

Namun ada pula pihak-pihak yang meragukan, jangan-jangan kalau para terdakwa bebas maka masyarakat tidak dapat meminta ganti rugi kepada Lapindo? Seandainya kemungkinan paling buruk bahwa para terdakwa kasus lumpur itu dibebaskan maka menurut pasal 1919 KUHPerdata, putusan pembebasan terdakwa itu tidak boleh dijadikan alat untuk menolak gugatan ganti rugi. Artinya, dalam satu kasus, hakim yang mengadili perkara perdatanya tidak terikat dengan putusan perkara pidananya. Apalagi secara perdata dalam kasus Lapindo ini urusan penyelesaian masalah sosialnya tidak melalui pengadilan, tapi dengan kebijakan (beleid) berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007).

Penegak hukum dalam kasus lumpur pernah mengatakan bahwa fakta kasus tersebut tidak dapat dilihat dengan mata. Artinya, penyidik atau siapapun tidak bisa mengetahui kejadian di dalam bumi. Menurut mereka, kasus tersebut sangat bergantung pada keterangan para ahli.

Tapi, hukum tidak selalu mensyaratkan terbuktinya fakta dari pengetahuan mata secara langsung. Ada hal-hal yang bisa dicari korelasi kausalitasnya dengan logika obyektif, meminjam istilah Prof. Moeljatno. Contohnya dalam kasus pembunuhan kepada Munir, tidak satupun saksi mata yang melihat.

Dengan berbekal pada logika obyektif tersebut, kiranya tidak sulit mencari penyebab semburan lumpur tersebut. Meskipun kejadian di dalam bumi tidak dapat dilihat, seluruh kegiatan pemboran tersebut terekam dalam dokumen-dokumen real time chart, daily drilling report, dan lain-lain. Dalam pemboran juga ada standard operating procedur (SOP) serta kaidah keteknikan yang baik. Jika SOP atau kaidah keteknikan itu dilanggar maka disitulah kesalahan bermula.

Namun penegak hukum harus cermat, sebab tampaknya sudah ada indikasi dari Lapindo untuk "menyembunyikan" alat bukti dokumen asli riwayat pemboran, seperti kesaksian Andang Bachtiar. Ahli pemboran dan geologi yang diperiksa penyidik Polda Jawa Timur itu dalam milis IAGI.net (18/7/2008) mengungkapkan kesaksian sebagai berikut: "Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib."

Bagaimana dengan pendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat gempa Jogja? Ini sangat sulit membuktikannya, melainkan hanya dengan asumsi-asumsi geologis (tidak mungkin dibuktikan secara teknis). Sedangkan asumsi atau hipotesis bukanlah alat bukti hukum.

Banyak ahli berpendapat bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur. Semburan lumpur itu dipicu oleh aktivitas eksplorasi (man-made), bukan karena gempa Jogja (Richard J. Davies, GSA Today, Februari 2007). Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Bencana ITS, Richard J Davies, Andang Bachtiar, Rudi Rubiandini, Masrufin, termasuk para ahli yang tidak sepakat bahwa gempa Jogja merupakan pemicu semburan lumpur Lapindo di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong.

Hasil pencatatan Badan Metereologi dan Geofisika yang dipaparkan Tiar Prasetya menunjukkan gelombang primer gempa Jogja tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terpolarisasi (terkutubkan) sekan-akan membentuk pola bunga melati. Jalur kerusakan ke arah Timur melintasi Pacitan, jika sumbu polarisasi ke arah Timur diteruskan maka posisinya jauh dari Porong (Masrufin, 15/7/2006).

Secara lebih moderat - dengan tidak mau memutlakkan gempa Jogja sebagai bukan sebab - Prof. Perry Burhan, guru besar Geokimia Organik ITS, mengatakan bahwa akibat gesekan gempa Jogja bisa jadi penyebab semburan lumpur. Tetapi seandainya Lapindo memasang casing dalam melakukan pemboran maka semburan itu tak akan terjadi sebab di situ terdapat lapisan diapir yang sudah diketahui Lapindo (Antara.co.id, 11/9/2007).

Tetapi hukum tentu tidak cukup hanya dengan pendapat-pendapat para ahli tersebut. Fakta hukum membutuhkan alat bukti. Alat bukti itu diperoleh dari hasil-hasil penyelidikan data-data dalam mencari penyebab semburan lumpur itu. Fakta-fakta itu diantaranya bahwa dalam proses pemboran di sumur BJP-1 telah terjadi masalah, diantaranya: terjepitnya bor, dipotongnya pipa bor, digunakannya blow out preventer (BOP) untuk menutup tekanan gas dari bawah, dan lain-lain merupakan fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Problem pemboran tersebut juga tertuang dalam dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan lumpur yang dibuat BP Migas dan Lapindo Brantas tertanggal 12 Juni 2006.

Sedangkan fakta tidak dipasangnya casing di kedalaman tertentu dapat dilihat dari alat bukti surat Medco kepada Lapindo, No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, yang menyatakan bahwa dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006 Medco telah memperingatkan agar dilakukan pemasangan casing 9-5/8” di kedalaman 8.500 kaki untuk antisipasi potensi masalah sebelum penetrasi ke formasi Kujung, sebagai program yang telah disetujui. Tetapi operator pemboran Lapindo tidak melaksanakannya.

Alat bukti lainnya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tertanggal 29 Mei 2007, menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat kesalahan teknis dalam pemboran, termasuk disebabkan peralatan serta tenaga pemboran yang tidak memenuhi syarat teknis yang baik.

Beberapa temuan BPK soal teknis tersebut di antaranya (tidak semua disebutkan dalam tulisan ini):

(1) Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran, meski menurut Lapindo mereka sudah memegang sertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu);

(2) Peralatan pemboran yang digunakan oleh kontraktor Lapindo (PT. MCN) dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari.

(3) Pihak Lapindo (dengan kontraktor PT MCN) sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

(4) Ada indikasi operator terlambat menutup sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

(5) Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun Lapindo sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

(6) Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum Lapindo dapat dinyatakan bersalah dalam melakukan pemboran yang mengakibatkan semburan kumpur itu, sekurang-kurangnya dengan alat-alat bukti: (1) alat bukti surat berupa dokumen real time chart, daily drilling report, SOP, dokumen audit BPK, surat Medco kepada Lapindo No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan yang dibuat Lapindo dan BP Migas tanggal 12 Juni 2006, dan lain-lain surat; (2) alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran dan korban yang saat itu berada di sekitar serta mengetahui adanya kegiatan pemboran; dan (3) alat bukti keterangan ahli yang menjelaskan alat bukti surat-surat tersebut.
Berbagai alat bukti tersebut telah memenuhi standard degree of evidence, baik menurut hukum acara pidana, perdata dan administrasi negara.


Apakah harus menunggu putusan pengadilan?

Menurut BPK, Ditjen Migas telah melakukan investigasi kasus semburan lumpur Lapindo itu pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2006. Tetapi Ditjen Migas belum mengemukakan apakah peristiwa tersebut berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan kerja. Padahal salah satu kewenangan Ditjen Migas menurut Keputusan Menteri ESDM No.1088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 adalah melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dalam rangka penentuan apakah berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan operasional. Itu berkaitan dengan hukum administrasi negara permigasan. Jadi, Ditjen Migas selaku pejabat administrasi negara sebenarnya berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan Lapindo, tanpa menunggu putusan pengadilan.

Keputusan Ditjen Migas untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus pertambangan migas seperti itu juga terkait dengan tindakan hukum selanjutnya, entah itu dalam bidang hukum pidana (dengan menyerahkan ke kepolisian) maupun pemberian sanksi administrasi kepada pelaku usaha tambang migas yang terbukti melanggar.

Dalam hukum lingkungan juga ditentukan wewenang Gubernur (yang dapat diserahkan ke Bupati) untuk melakukan paksaan pemerintahan agar penanggung jawab usaha melakukan tindakan mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran (pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997). Artinya, Gubernur (juga selaku pejabat administrasi Negara) berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Tentu saja hal itu diputuskan melalui alat-alat bukti yang cukup tersebut.

Mengapa hukum mengatur seperti itu, tidak menunggu putusan pengadilan dalam kasus seperti itu? Itulah merupakan fungsi hukum administrasi negara yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu. Apabila penanggung jawab usaha tidak menerima keputusan pemerintah maka dapat mengajukan gugatan atau mengujinya di pengadilan. Itu merupakan risiko pemerintahan yang sudah biasa. Jika ternyata putusan pengadilan nantinya misalnya memenangkan penanggung jawab usaha maka itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung negara, sehingga negara wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun dengan cara penyelesaian penggunaan hukum administrasi negara lebih dulu maka akan dapat memberikan kepastian kepada rakyat korban agar segera memperoleh penyelesaian. Dalam situasi sosial kemasyarakat yang darurat justru dibutuhkan kecepatan tindakan oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.

Dalam kasus lumpur Lapindo tampaknya hukum administrasi Negara itu dijalankan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, meski bentuknya setengah aturan dan setengah keputusan. Dikatakan setengah aturan karena bentuknya Peraturan Presiden. Dikatakan setengah keputusan sebab menunjuk konkrit dan individual serta final menunjuk Lapindo bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dengan cara “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo dalam peta wilayah terdampak 22 Maret 2007.

Kelompok korban Lapindo yang tidak sepakat dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 telah meminta agar Mahkamah Agung menguji Perpres No. 14 Tahun 2007. Kemudian MA memutuskan menolak permohonan uji materiil itu dan mengukuhkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 (putusan MA No. 24 P/HUM/2007). Artinya, dalam kasus Lumpur Lapindo sebenarnya sudah keluar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang merumuskan pertimbangan menyetujui kebijakan Presiden dalam membebankan tanggung jawab penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dalam peta terdampak 22 Maret 2007 itu.

Putusan MA tersebut tidak tegas menyatakan Lapindo bersalah, sebab memang proses uji materiil terhadap Perpres No. 14 Tahun 2007 tidak mungkin menyatakan Lapindo bersalah, karena itu bukan perkara perdata atau pidana dan Lapindo juga bukan pihak perkara dalam permohonan itu).

Namun dalam halaman 57 - 58 putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut MA merumuskan pertimbangan diantaranya: “Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui JUAL BELI dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenang-wenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagipula Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS.”

Nah, ternyata cara pandang MA dalam kasus Lapindo sama dengan cara pandang orang pada umumnya bahwa cara JUAL BELI tanah dan bangunan korban itu disebut sebagai GANTI RUGI. Jika ditarik logika hukumnya, GANTI RUGI hanya diterapkan bagi orang yang kehilangan hak yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain. Misalnya: Si B selaku developer membebaskan tanah milik si A. Berarti si B merupakan penyebab A kehilangan hak milik atas tanahnya. Secara otomatis si B wajib memberikan ganti rugi kepada si A sesuai dengan harga tanah yang mereka sepakati.

Jika logika hukum itu diurai lebih lanjut, Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah hukum administrasi negara yang telah memutuskan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus semburan lumpur Lapindo (dengan dibatasi tanggung jawabnya hanya pada masalah sosial dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Lapindo tidak pernah menolak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Berarti secara hukum itu adalah sebagai “pengakuan bersalah”. Dan pengakuan itu tidak dapat lagi dianulir dengan dikukuhkannya pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 oleh putusan Pengadilan berupa putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut.

Politik ekonomi

Jika berpedoman pada hukum permigasan, pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas menentukan adanya kewajiban adanya ketentuan kontrak kerjasama usaha hulu migas antara pemerintah dengan pengusaha yang menentukan bahwa seluruh modal dan risiko harus ditanggung pengusaha. Dengan ketentuan tersebut maka kasus semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah tidak membutuhkan perdebatan benar-salah, tinggal menerapkan. Artinya, Lapindo harus dibebani menanggung risiko usahanya di sumur Blok Brantas – khususnya di sumur BJP-1 itu – yang telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi negara.
Tetapi hukum itu disimpangi. Pemerintah memutuskan politik ekonomi dengan baju hukum administrasi negara dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membebani anggaran negara tak terbatas dengan membatasi tanggung jawab Lapindo.

Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan nasional dalam kasus lumpur Lapindo itu dengan rencana pengeluaran dana APBN sebesar Rp. 7,6 triliun. Jadi, opini yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mau keluar uang adalah opini yang dilandasi ketidaktahuan. Berdasarkan kalkulasi Greenomics, jika semburan lumpur itu tak dihentikan atau tidak berhenti maka terpaksa negara akan menganggarkan Rp. 750 triliun dalam waktu sekitar 30 tahun. Berarti, anak-anak cucu kita yang saat ini belum lahir akan menanggung biaya tersebut.

Jadi, pemerintahan SBY-JK telah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab terbesar kasus itu dibebankan kepada negara. Maka Grup Bakrie harus berterima kasih kepada pemerintahan SBY-JK dan kepada rakyat Indonesia yang menyetujui sukarela atau terpaksa atas penyelesaian hukum administrasi negara berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Semua itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlalu berani untuk ‘melawan’ Lapindo. Jadi, untuk saat ini memutuskan semburan lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia sudah tak ada gunanya dalam konteks untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus itu.

Namun, untuk memastikan perlindungan korban yang semakin memburuk kondisinya, maka pemerintah memang harus menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar perlakuan layanan kepada korban lumpur Lapindo sesuai dengan standar yang baik. Jangan kuatir! Definisi bencana menurut pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 adalah bencana alam maupun bencana akibat faktor kesalahan manusia! Jadi, bencana tidak selalu merupakan bencana alam.

Untuk kasus semburan lumpur Lapindo, dengan alat bukti berjibun itu, layak jika dinyatakan sebagai bencana karena faktor (kesalahan) manusia. Karena manusia yang melakukan kesalahan itu berada dalam hubungan kerja dengan Lapindo, maka yang bertanggung jawab adalah Lapindo (Teori Hukum Risiko Ekonomi). Apabila kekayaan Lapindo tidak mencukupi maka induk perusahannya menjadi penanggungjawabnya (Doktrin Hukum Korporasi Moderen).



Subagyo

Departemen Advokasi LHKI Surabaya

Kamis, 21 Agustus 2008

Mahkamah Pemupus Harapan Seorang Buruh

Seorang guru SMA bekerja di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) Surabaya telah diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh YPPI selaku majikannya yang dipimpin oleh Kresnayana Yahya, pakar statistik itu, tapi juga oleh lembaga pengadilan yang menjalankan proses peradilan yang tidak tunduk pada hukum itu sendiri.

Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .

Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.

Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.

Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.

Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.

Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).

YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.

Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.

Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.

Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.

Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.

YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?

Jumat, 08 Agustus 2008

Pekerja Gugat Manajemen PT. Phillips Indonesia Jawa Timur

Di bawah ini kutipan analisis gugatan 10 pekerja PT. Phillips Indonesia yang didaftarkan tanggal 08 Agustus 2008, mendapatkan register perkara No. 154/G/2008/PHI-Sby.

Gugatan ini melebar ke arah tuntutan ganti kerugian imateriil dan memperluas tergugat bukan hanya perusahaan tapi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo. Perluasan itu sebagai bentuk eksperimen hukum mengingat selama ini belum ada saluran hukum untuk gugatan kerugian lain di luar uang pesangon yang ditentukan Hukum Ketenagakerjaan. Jika kelak Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ganti kerugian di luar pesangon dan lain-lain yang ditentukan UU No. 13 Tahun 2003 maka putusan itu dapat menjadi dasar gugatan ganti kerugian selain pesangon di Pengadilan Negeri.

Terima kasih.

ANALISIS HUKUM POKOK PERKARA
    1. Bahwa upaya Tergugat I untuk menggantikan kedudukan kerja para Penggugat di perusahaannya dengan pekerja outsourcing tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebab dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Tergugat I telah berlaku curang dan tidak adil, apalagi ada kewajiban hukum bagi Tergugat I untuk tidak mempekerjakan pekerja outsourcing pada kegiatan utama perusahannya (vide Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003).

    1. Bahwa akal-akalan evaluasi kerja yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat akan tampak ‘kepalsuannya’ jika dilihat dari faktor-faktor:

      1. Para Penggugat terbukti bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun dengan peningkatan prestasi kerja sehingga tidak masuk akal jika dikatakan tidak cakap bekerja;

      1. Dalam perundingan-perundingan antara pengurus SPSI PUK perusahaan Tergugat I dengan Tergugat I tampak adanya pembicaraan penggantian pekerja tetap dengan pekerja outsourcing, dengan adanya tawaran ‘pensiun diri’ kepada para pekerja.

      1. Terdapat alat bukti kecurangan atau kesalahan dalam melakukan penilaian evaluasi sehingga itu bisa menjadi petunjuk adanya manipulasi tersebut.

    1. Bahwa selain itu Tergugat I telah melanggar pasal 40 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menentukan bahwa Surat Peringatan Terakhir (SP III) haruslah melalui tahap-tahap SP I dan SP II.

    1. Bahwa Tergugat I juga melanggar pasal 126 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

    1. Bahwa Tergugat I melanggar pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 juga menentukan tahap-tahap surat peringatan pertama, kedua dan ketiga.

    1. Bahwa dengan demikian SP III yang dikeluarkan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut adalah tidak sah sebab bertentangan dengan PKB dan UU No. 13 Tahun 2003.

    1. Bahwa Tergugat I dan II telah keliru menggunakan dasar hukum, yaitu pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000 yang bertentangan dengan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori derogat lex inferiori, di mana kedudukan UU No. 13 Tahun 2003 lebih tinggi dibandingkan Kepmenaker No. Kep.150/Men/2000.

    1. Bahwa hukum harus menyarakan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sudah tidak berlaku lagi sebab peraturan tersebut sudah tak mungkin lagi dapat digunakan mengingat lembaga-lembaga penyelesaian hubungan industrial Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4P yang diatur di dalamnya sudah tak ada, diganti dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

    1. Bahwa pasal 125 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1957 masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2004. Sedangkan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1957 bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 sebab mengandung hukum acara perselisihan hubungan industrial yang berbeda dengan UU No. 2 Tahun 2004.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I dan II yang memaksakan penggunaan dasar pasal 7 ayat (1) Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 tersebut merupakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaannya yang lebih dominan).

    1. Bahwa untuk menentukan performance para Penggugat dalam bekerja tidak mudah dilakukan secara invidual mengingat unit kerja masing-masing para Penggugat dijalankan oleh masing-masing Tim atau kelompok pekerja. Seandainya suatu saat ada kegagalan kerja sebuah tim kerja yang ditempati masing-masing Pekerja maka tidak mudah untuk dikatakan sebagai kesalahan personal. Maka, alat bukti Pengusaha untuk membuktikan tuduhannya tidaklah cukup hanya dengan hasil ujian di atas kertas subyektivitas dengan penilaian personal.

    1. Bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memberikan batas ukuran ketidakmampuan bekerja diformulasikan dengan ‘masa percobaan’ selama 3 (tiga) bulan bagi para pekerja tetap (pasal 60). Padahal para Penggugat sudah bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun.

    1. Bahwa seandainya hasil evaluasi terhadap para Penggugat tidak curang – padahal curang – maka Tergugat I pun tidak adil dan subyektif dalam menentukan standar kelulusan evaluasi kerja sebab menetapkan standar nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Tergugat I memutuskan tidak lulus jika hasil ujian para Penggugat kurang dari angka 100. Padahal dalam standar internasional pencapaian angka 70 (dalam rentang skor 0 – 100) adalah dianggap lulus. Charles R. Thomas, Mechanical Engineering Technology Purdue University dalam Rational Standard and Ability Adjusted Standard Transformed Score Models memberikan abstrak standar model skor yang rasional sebagai berikut:

A rational approach to standard transformed scores which always results in the numerical to letter grade correspondence A (90 & above), B (80-89.99), C (70-79.99), D (60-69.99), and F (59.99 & below) for any chosen hypothetical grade distribution model is developed.”

(Sumber: http://epm.sagepub.com/cgi/content/abstract/45/4/803)

Dalam standar nasional (Indonesia), angka 60 (dalam rentang skor 0 – 100) dianggap lulus. Dengan kondisi sosial saat ini, bahkan dalam Ujian Nasional skor kelulusan anak-anak sekolah minimalnya hanya 5,5 (atau 50,50 dalam skor rentang 0 – 100). Pun dalam kondisi sosial ketenagakerjaan nasional Indonesia saat ini, penetapan skor kelulusan harus (mutlak) 100 merupakan cara yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Dengan demikian Tergugat I telah melanggar hak asasi manusia (HAM) terkait hak memperoleh pekerjaan dan hak mendapatkan syarat-syarat yang adil dalam ketenagakerjaan. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan: “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

    1. Bahwa tindakan Tergugat I yang selalu melanggar hukum tersebut terkait dengan kebiasaannya yang memang cenderung melanggar hukum, diantaranya:


        1. Tergugat I biasa menerapkan pola hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ketika pekerja baru mulai bekerja pada perusahaannya. Hal itu melanggar pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No. Kep100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT.


        1. Tergugat I biasa menggunakan tenaga kerja outsourcing pada bidang-bidang pekerjaan proses produksi sebagai bagian melekat kegiatan utama perusahaan Tergugat I yang dikerjakan di dalam perusahaannya (tidak terpisah). Hal itu melanggar ketentuan pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003.


Kedua bentuk kebiasaan pelanggaran tersebut berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada teguran atau tindakan administratif dari lembaga pemerintah yang berwenang. Sehingga timbullah kebiasaan berlaku sewenang-wenang.


    1. Bahwa perbuatan Tergugat II yang berkonspirasi dengan Tergugat I tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan para Penggugat.


    1. Bahwa karena SP III Tergugat I kepada para Penggugat secara langsung tanpa melalui SP I dan SP II yang dilandasi oleh perbuatan curang atau tidak adil serta melanggar PKB dan melanggar UU No. 13 Tahun 2003 maka harus dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I yang memPHK para Penggugat tanpa ijin tersebut juga melanggar hukum dan merugikan para Penggugat maka harus dinyatakan batal demi hukum.

    1. Bahwa kerugian para Penggugat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I dan II adalah bentuk kerugian imateriil, yaitu:


      • Kerugian moril dalam keluarga dan tetangga dari perasaan menderita akibat menyimpan rasa malu. Para Penggugat harus menyembunyikannya dengan tetap ‘pura-pura’ berangkat bekerja.


      • Kerugian sosial di lingkungan kerja yang lebih luas di perusahaan Tergugat I sebab tidak semua pekerja di sana mengetahui sebab-sebab perkara ini sehingga para Penggugat seolah-olah adalah orang-orang yang bersalah dan tidak berkualitas.


Kerugian imateriil tersebut jumlahnya tak terhingga tetapi cukup masuk akal dan adil jika dinilai masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk masing-masing Penggugat.


    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I dan II secara tanggung-renteng harus dihukum membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara tunai, seketika dan sekaligus, bagi tanggungan Tergugat I dengan jaminan harta kekayaannya.

    1. Bahwa agar gugatan ini tidak sia-sia apabila dikhawatirkan Tergugat I tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini maka mohon agar pengadilan ini meletakkan sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I berupa barang-barang bergerak, dan jika tak ditemukan atau tak mencukupi atau tak memungkinkan secara hukum maka sita jaminan mohon diletakkan pada tanah dan bangunan hak Tergugat I yang terletak di Jl. Berbek Industri I Kav. 5 -19 Sidoarjo dan di tempat lain yang ditemukan, serta agar dinyatakn sah dan berharga sita jaminan tersebut.

    1. Bahwa jika Tergugat II tidak tunduk pada putusan perkara ini untuk membayar ganti kerugian bagian tanggungannya maka dapat melalui mekanisme hukum pemerintahan yang ada.

    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I harus dihukum untuk memperbaiki hubungan industrial dengan para Penggugat dan mengembalikan masing-masing para Penggugat untuk bekerja pada jabatan masing-masing, serta diperlakukan adil dan sama dengan pekerja lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta standar umum ketenagakerjaan nasional Indonesia.

    1. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut berkaitan dengan penggunaan pekerja outsourcing maupun pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu di perusahaan Tergugat I, sehingga untuk mencegah akibat buruk lanjutannya maka mohon agar pengadilan ini menghukum Tergugat I menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa untuk menghindari problem ketenagakerjaan yang lebih luas yang juga berakibat buruk bagi diri para Penggugat maka mohon agar pengadilan ini memerintahkan Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tak tertentu (pekerja tetap) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa berkaitan dengan pelanggaran hukum Tergugat I yang mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT maka mohon pula pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat II untuk melarang Tergugat I menggunakan pekerja outsourcing dan PKWT memberikan hukuman administratif kepada Tergugat I.

    1. Bahwa berkenaan dengan gugatan agar Tergugat I dan II melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dijelaskan di depan kecuali gugatan pembayaran uang maka apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini yang telah telah bersifat dapat dilaksanakan maka mohon agar Tergugat I dan II dihukum membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini sampai dengan Tergugat I dan II tunduk melaksanakannya.

    1. Bahwa apabila Tergugat I dan II dikalahkan dalam perkara ini mohon untuk dihukum membayar biaya perkara ini.

    1. Bahwa oleh karena Tergugat I menggunakan dasar Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 maka dikhawatirkan akan melanggar ketentuan pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 maka mohon dalam putusan sela pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


  1. PETITUM GUGATAN

Berdasarkan uraian tersebut para Penggugat memohon agar pengadilan ini memutuskan:

DALAM PUTUSAN SELA:

Memerintahkan Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


DALAM POKOK PERKARA:

  1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;

  1. Menyatakan bahwa Surat Peringatan III yang dikeluarkan untuk para Penggugat dalam perkara ini batal demi hukum;

  1. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat I dan disarankan Tergugat II kepada para Penggugat batal demi hukum;

  1. Menyatakan Tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan para Penggugat;

  1. Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung-renteng membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara seketika, tunai dan sekaligus;

  1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I tersebut;

  1. Menghukum Tergugat I untuk memperbaiki hubungan industrialnya dengan para Penggugat dan mengembalikan kedudukan atau jabatan kerjanya seperti sediakala sebelum diberikan skorsing dan memperlakukan para Penggugat dengan syarat-syarat dan standar pengelolaan ketenagakerjaan nasional yang adil terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja tetap terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini;

  1. Menghukum Tergugat II untuk segera melarang Tergugat I mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT serta memberikan sanksi adminsitratif kepada Tergugat I.

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di pengadilan ini apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini;

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar biaya perkara ini.


Subsider: Mohon diputuskan seadil-adilnya.

Kamis, 31 Juli 2008

KEJAHATAN KEMANUSIAAN GAYA BARU

Perkembangan gaya pikir manusia membuahkan cara baru kejahatan kemanusiaan dalam bekerja. Modus ‘serangan’ terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak lagi didominasi oleh militer. Senjata fisik bukan lagi cara dominan. Kekuasaan sipil bisa lebih militeristik dibandingkan militer sendiri. Pun sistematisasi serangan terhadap HAM bisa dengan alat hukum tertulis yang dioperasikan oleh kekuasaan yang bersekongkol, terdiri atas empat unsur oligarki, yaitu: pemilik kapital, penguasa politik (pemerintah pusat atau daerah), kekuasaan ilmiah (ahli), dan kekuasaan keamanan dan atau pertahanan (militer atau polisi).

Oligarki tersebut juga menciptakan organisasi yang berlabel lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-government organization (NGO) sebagai alat untuk menghadapi LSM atau NGO oposisi oligarki. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan kekuasaan sosial informal yang seperti yang dimiliki lembaga atau para pemuka agama. Oligarki itu juga didukung oleh para advokat handal. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika oligarki itu merasuki pori-pori spirit penegakan hukum, membuat lembaga penegak hukum juga tunduk kepada mereka.


Modus baru


Andaikan gejala yang turut-temurut dalam kasus lumpur Lapindo dapat disimpulkan (dengan alat-alat bukti) sebagai ‘serangan sistematis’ untuk ‘memindahkan penduduk’ (selaku korban), yaitu dengan cara: tidak memasang selubung pelindung (casing) di kedalaman tertentu dalam pemboran sehingga terjadi semburan lumpur; memindahkan rig pemboran saat semburan lumpur untuk memperkecil kemudahan penanganan awal; pura-pura menanggulangi semburan lumpur dengan beberapa teknik yang tidak tuntas; menanggul kolam lumpur dengan cara berbeda, untuk sisi tertentu tanggul diperkuat, untuk sisi lain tidak diperkuat supaya ambrol sehingga penduduk akan menyingkir; memakai kekuasaan pemerintah untuk menelurkan Perpres No. 14/2007 agar penduduk ‘terpaksa’ menjual tanah mereka; mendesain akta jual-beli tanah dengan korban dengan klausul subyektif agar korban tidak menuntut; dan seterusnya.

Tidak seluruh perbuatan di atas harus merupakan unsur-unsur yang harus dirangkaikan. Misalnya, perbuatan sengaja memperlemah tanggul lumpur Lapindo di sisi tertentu sehingga akhirnya tanggul ambrol sehingga penduduk terusir, adalah merupakan ‘serangan sistematis’ yang bersifat ‘luas’. Tetapi akal sehat korban tidak terlalu berpedoman pada ‘cara’ pelaku menyingkirkan atau memindahkan mereka, namun yang substansial adalah akibatnya yang luas, menghancurkan nasib hidup mereka. Normal jika itu disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).

Merancang ‘pengusiran penduduk’ bisa dengan cara penetapan kawasan hutan yang dihuni kelompok penduduk asli atau adat di hutan menjadi hutan lindung, sehingga penduduk asli yang tidak mau pindah dipidanakan; lalu negara menerbitkan aturan untuk memberi izin korporasi untuk melakukan usaha pertambangan di hutan lindung itu. Itu juga merupakan modus baru kejahatan kemanusiaan.


Interpretasi progresif


Kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan oleh pasal 7 huruf b jo. pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ‘menjiplak’ Rome Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Tapi sayangnya UU No. 26 Tahun 2000 memangkas pasal 7 ayat (1) huruf k Statuta Roma yang menentukan:Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Tanpa tafsir progresif untuk kembali pada asal substansi UU No. 26 Tahun 2000 (yaitu: Statuta Roma) maka hukum HAM tak akan bisa menjangkau kejahatan kemanusiaan gaya baru yang dilakukan oligarki (korporasi selaku pelaku sentralnya) dengan modus baru tersebut, sebelum legislator mengubah undang-undang itu untuk merumuskan formulasi baru tentang kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Dengan contoh kasus di atas, saya coba hubungkan dengan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan berdasar pasal 9 huruf d UU No. 26 Tahun 2000 yang menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”

Unsur “serangan yang meluas” atau unsur “sistematik” serta unsur “terhadap penduduk sipil” (selaku korban) dalam ketentuan tersebut seharusnya tidak lagi ditafsir sempit sebagai perbuatan pelaku militer kepada korban sipil. Dalam dunia baru ini, kelompok penduduk anggota militer di suatu kawasan hunian pun bisa mungkin menjadi korban ‘pengusiran’ sistematis oleh korporasi yang membutuhkan tanah hunian mereka melalui cara bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan pengambil keputusan atau pembuat regulasi. Pun istilah “serangan” juga tak relevan lagi ditafsir secara tunggal sebagai perbuatan fisik. “Serangan” sistematis secara paksa bisa juga melalui keputusan pemerintahan yang tanpa atau didasarkan landasan regulasi yang tidak adil.

Maka, Komisi Nasional (Komnas) HAM seharusnya menjadi pioner dalam menafsir dengan cara baru, cara progresif atas suatu kasus yang dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, yang seharusnya akan menjadi bahan bagi legislator untuk meluruskan UU No. 26 Tahun 2000.

Guna penegakan HAM yang lebih obyektif – karena pelakunya juga bisa pejabat penting pemerintah – maka kekuasaan independen Komnas HAM mestinya tidak dibatasi sekedar penyelidik, tapi diperluas hingga dalam penyidikan dan penuntutan, seperti halnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain soal korupsi, kejahatan pelanggaran HAM berat juga merupakan extra ordinary crimes sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000. Maka, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 harus diperbaharui.

Oleh Subagyo, Ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya

Selasa, 29 Juli 2008

Bank Rakyat Indonesia ( BRI ) Kembali Digugat Alkatra


Bank Rakyat Indonesia (BRI) kembali digugat oleh mantan karyawannya yang tergabung dalam Alkatra. Gugatan yang bernomor 412/PDT.G/2008/PN.SBY berpoin pada:

  1. Tergugat BRI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum perdata.
  2. Tergugat BRI telah menyalahgunakan keadaan (misbruik van omstandigheden).
  3. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 38 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil'.
  4. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 3 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum'.
  5. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran atas UU no 13/ th 2003 ttg Ketenagakerjaan, pasal 64-66.
  6. Tergugat BRI telah melakukan perbudakan manusia atas hegemoni kapitalisme.
Selain memnggugat BRI kantor wilayah Jatim, para Penggugat juga menggugat Menteri Tenaga Kerja sebagai Tergugat II. Ini terkait persetujuan dari kebijakan atas mekanisme kerja didijalankan oleh usaha perbankan.


Kuasa Hukum
1. Subagyo (+62-81615461567)
2. Tasnim Ilmiardhi (+62-8523-0606-888)

Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional

Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Surabaya bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Dalam Statuta Roma tersebut mengamanatkan untuk dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC/International Criminal Court).
Ratifikasi ini dianggap sangat penting, selain sudah menjadi agenda RANHAM (Rancangan Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia) tahun 2004-2009, ini juga dimaksudkan untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas hukum nasional dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Selain itu juga menghapuskan berbagai praktek impunitas, mengatasi kelemahan sistem hukum nasional serta memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban.
Yang lebih patut dicermati adalah, bahwa meratifikasi Statuta Roma akan memberikan benefit berupa: Hak preferensi aktif dalam Mahkamah Pidana Internasional, Berkesempatan untuk menjadi bagian dari organ Mahkamah Pidana Internasional, Mempercepat proses reformasi hukum di Indonesia, efektivitas sistem hukum nasional, peningkatan upaya perlindungan HAM, dan pemantapan posisi diplomatik.
Memang ratifikasi ini memberikan konsekwensi terhadap hukum nasional. Diharapkan beberapa langkah penyesuaian akan dilakukan pasca ratifikasi Statuta Roma. Amandemen terhadap sejumlah undang-undang di Indonesia merupakan konsekwensi dari ratifikasi Statuta Roma, diantaranya: KUHP, KUHAP undang-undang HAM, dan undang-undang peradilan HAM.


TASNIM ILMIARDHI
085230606888

Senin, 07 Juli 2008

Pekerja PT. Phillips Menolak Sistem Outshourcing

PT. Phillips Indonesia di Berbek Industri I Kav 9 - 15 Sidoarjo kini menghadapi keberatan 10 pekerjanya yang akan di PHK.

Pada mulanya PT. Philips (Pengusaha) hendak melakukan efesiensi dengan cara mempekerjakan para pekerja outsourcing pada bidang pekerjaan rangkaian produksi - di pekerjaan pengepakan lampu, administrasi, mekanik, elektrik dan tenaga penyedia bahan produksi (supply chain) - dengan cara mengurangi para pekerja tetap. Hal itu disampaikan pihak manajemen Pengusaha pada tanggal 2 Oktober 2007 kepada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) selaku organisasi para pekerja. Untuk itu, Pengusaha menawarkan program pensiun dini (pengunduran diri dengan kompensasi) kepada para pekerja yang bersedia, sebagaimana hal itu disampaikan oleh Pengusaha kepada kepada SPSI pada 9 Januari 2008. Dengan berbagai cara - termasuk upaya-upaya ancaman PHK - maka ada banyak pekerja yang menerima program pensiun dini tersebut. Sejak Oktober 2007 sampai dengan 6 Maret 2008 Pengusaha telah mengeksekusi 70 (tujuh puluh) orang pekerjanya yang mengundurkan diri karena hanya diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu: Pilih mengundurkan diri dengan kompensasi atau di PHK hanya menerima pesangon.

(Saat ini pada perusahaan Pengusaha di Berbek Industri I Sidoarjo terdapat sekitar 1.000 orang pekerja outsourcing).

Selanjutnya, terhadap para pekerja yang tidak bersedia menerima tawaran pensiun dini direncanakan akan ditempuh pembinaan berupa pelatihan kerja dan tes tertulis. Tetapi bersamaa dengan rencana tersebut Pengusaha memberikan Surat Peringatan Terakhir (SP III) kepada 24 (duapuluh empat) orang pekerja, termasuk diri para Pekerja yang dianggap nonperformance, menggunakan dasar pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000.

Dalam rangka penyelesaian secara bipartit maka telah diadakan perundingan antara para Pekerja yang didampingi dan diwakili oleh organisasi tempat bernaung para Pekerja yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) qq. SPSI Perwakilan Unit Kerja (PUK) PT. Philips Indonesia, yaitu:

Perundingan I pada tanggal 17 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan;

Perundingan II pada tanggal 29 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan.


Kemudian Pengusaha menggunakan dalih upaya pembinaan dengan melakukan ujian materi serta seolah-olah pelatihan kerja (training).

Pengusaha menetapkan standar sebagai syarat kelulusan dalam evaluasi hasil pembinaan kepada para Pekerja dengan nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Jika hasilnya kurang dari 100 maka dianggap tidak lulus.

Dari seluruh pekerja yang direncanakan di-PHK berjumlah 24 (duapuluh empat) orang hanya ada 2 (dua) orang yang diluluskan dalam evaluasi. Para Pekerja juga dinyatakan tidak lulus.

Selanjutnya diantara 24 (duapuluh empat) orang pekerja yang diminta mengundurkan diri oleh Pengusaha, hanya tinggal 10 (sepuluh) orang para Pekerja ini yang bertahan.

Bersamaan dengan surat pemberitahuan ketidaklulusan hasil program pembinaan tersebut, pada hari yang sama Pengusaha juga memberikan surat skorsing kepada para Pekerja yang menuju pada PHK pada Juni 2008. Tampaknya hal itu sudah dipersiapkan matang.

Selanjutnya para Pekerja melalui perwakilannya pada SPSI PUK PT. Philips Indonesia membawa perkara ini untuk penyelesaian tripartit ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo.

Sidang mediasi I digelar di Disnaker Sidoarjo tanggal 25 Juni 2008.