Rabu, 24 November 2010

Cara Cessie Penyelesaian Korban Lapindo

Dalam beberapa kali pernyataannya kepada media, PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menarget penyelesaian pembayaran jual-beli tanah korban dalam peta area terdampak (PAT) 22 Maret 2007, hingga tahun 2012. Tentu saja itu melanggar ketentuan pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan batas waktu pelunasan selambatnya sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Jika MLJ patuh hukum, dua tahun lalu mestinya sudah beres lunas.

Molornya penyelesaian pembayaran kepada korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 membawa dampak molornya penyelesaian pembayaran warga korban Lapindo di luar PAT 22 Maret 2007. Pasal 15B ayat (5) Perpres No. 40 Tahun 2009 (perubahan ke-dua Perpres No. 14 Tahun 2007) menentukan bahwa pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring (yang dibebankan APBN) dilakukan secara bertahap sisanya mengikuti tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)

Sebenarnya pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan pernah mengeluarkan surat bernomor S-358/MK.02/2009 tertanggal 16 Juni 2009 yang memberi jalan bagaimana caranya BPLS bisa memperoleh dana talangan. Namun, Lapindo menolak dana talangan tersebut. BPLS pun tak berkutik.

MLJ dan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) badan hukum anak-anak Grup Bakrie, punya alasan sama soal molornya pembayaran kepada korban, yaitu kesulitan finansial. Tapi pernah juga MLJ mengutarakan alasan kesulitan bahwa tanah-tanah korban yang belum bersertifikat tak dapat diaktajual-belikan meski Kepala BPN sudah memberikan jalan atau petunjuk pelaksanaan. Kalau mau sengaja ruwet, memang ada saja alasannya.

Pemerintah dan BPLS tidak melakukan upaya hukum agar pasal 15 ayat (1) Perpres No. 14 Tahun 2007 ditegakkan. Ini merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya Perpres No. 14 Tahun 2007 dan segala perubahannya itu merupakan “hukum perkawanan” saja. Kalau rakyat kecil melanggar hukum langsung diingkel-ingkel.

Molornya upaya penyelesaian sosial untuk korban Lapindo dengan cara melanggar Perpres No. 14 Tahun 2007 jis Perpres No. 48 Tahun 2008 dan Perpres No. 40 Tahun 2009 itu sebenarnya sudah memenuhi unsur kejahatan pasal 304 KUHP yang menentukan bahwa barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Selanjutnya pasal 306 KUHP menentukan bahwa jika salah satu perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan. Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Salah satu jenis akibat yang disamakan dengan luka berat ini menurut pasal 90 KUHP adalah terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu. Berdasarkan keterangan warga, sudah ada korban Lapindo yang gila permanen akibat penelantaran itu. Kalau para polisi mengetahui kewajiban hukumnya, dengan adanya dugaan permufakatan jahat yang sudah sering diberitakan media seperti itu, meskipun tak ada laporan korban atau masyarakat, maka kepolisian sudah harus menangkap dan memeriksa para pengurus MLJ, Lapindo dan BPLS.

Perbuatan penelantaran tersebut bisa masuk kategori kejahatan tertangkap tangan sebab dilakukan masih secara terus-menerus sejak sekitar September 2008 hingga sekarang dan masih berlangsung. Namun, sekali lagi, para penegak hukum selalu menggunakan doktrin hukum “ewuh pakewuh” untuk menegakkan hukumnya bagi kaum atas, sebaliknya menggunakan doktrin hukum “sak karepkku” dalam menindak orang-orang kecil. Maklum, ini bangsa yang masih kuno dan banyak yang belum sekolah.


Penyelesaian dengan cessie

Saya punya saran yang jika dilaksanakan maka tak akan bisa ditolak oleh Lapindo dan MLJ. Aburizal Bakrie pun tak akan bisa menolaknya meski korporasinya bisa melumpuhkan pasal 6 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, Perpres No. 14 Tahun 2007, dan hukum pajak.

Pemerintah membeli piutang warga korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 dengan dasar hukum doktrin hukum cessie dan pasal 613 BW (KUHPerdata). Menteri Keuangan dapat memberi arah penggunaan dana BPLS untuk membeli piutang korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 itu. Atau dapat menggunakan dana-dana pemerintah yang dianggarkan untuk penempatan belanja investasi atau sejenisnya. Kebijakan diskresi boleh ditempuh untuk penyelesaian keadaan darurat warga korban tersebut.

Syaratnya amat mudah. Dibuat akta cessie atau akta pengalihan piutang, dengan akta notariil atau bisa akta di bawah tangan. Setelah itu, pemerintah dan warga korban membuat surat pemberitahuan resmi (betekening) kepada MLJ dan Lapindo Brantas Inc. Dalam doktrin cessie, debitor itu pasif, tidak punya hak menolak. Praktik cessie ini lazim dipergunakan terutama dalam perbankan.

Setelah proses cessie selesai, pemerintah bisa langsung menagih MLJ dan Lapindo sebab piutang warga korban Lapindo sudah jatuh tempo dua tahun lalu. Jika MLJ dan Lapindo tak punya uang atau asset, pemerintah menagih kepada perusahaan induknya. Dasar hukumnya adalah doktrin instrumental sesuai dengan teori piercing the corporate veil dalam hukum korporasi modern.

MLJ dan Lapindo itu badan hukum yang tidak independen, hanya alat usaha korporasi induknya, sehingga prinsip pertanggungjawaban terbatas dalam Perseroan Terbatas atau badan hukum akan dikecualikan dengan menerapkan doktrin hukum korporasi modern tersebut. Setelah MLJ dan Lapindo melunasi utangnya, barulah hak atas tanah pada danau lumpur itu bisa diurus permintaan hak dan pendaftarannya.

Warga korban Lapindo tak hanya ditelantarkan, tapi juga dihisap para koordinatornya dengan dipungut potongan dan iuran macam-macam. Ini keluhan mereka yang sudah pernah dimuat media juga, tapi BPLS dan kepolisian juga tenang-tenang.

Jika Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur peduli, apa susahnya membeli piutang warga korban Lapindo? Agar derita para korban sedikit terkurangi.

Oleh: Subagyo, Ketua Dewan Pertimbangan Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya.

Jumat, 06 Agustus 2010

Reformasi Hukum Ala Keong

Ada sebuah cerita dari nelayan Jepang. Ia memamerkan ikan tuna besar hasil tangkapannya. Katanya, ia menangkap ikan tuna tersebut dari perairan laut Indonesia. Ia tebarkan jaring ke perairan Indonesia, lalu ia berada di luar batas perairan Indonesia agar tidak bisa ditangkap petugas Indonesia. Itu contoh pencuri yang mengakali penegak hukum. Memang, ikan tuna asal Indonesia itu tak punya KTP Indonesia. Kita sedih melihat pencurian ikan laut Indonesia karena nelayan Indonesia masih miskin kumus-kumus.

Thailand tak punya laut, tapi bisa mengekspor ikan senilai 4 miliar USD pertahun. Indonesia kaya laut, tapi hanya bisa ekspor sekitar 2 miliar USD pertahun. Ke mana ikan-ikan lautan Indonesia? Yang jelas tidak sedang mengungsi ke Jepang, Thailand, Singapura, Tiongkok atau Taiwan, tapi dicuri. Itu salah satu contoh, yang dalam banyak hal kita menjadi bangsa linglung, karena mentalnya yang terjajah. Reformasi hukum yang diharap bisa menegakkan kedaulatan Indonesia kadang menghasilkan hukum yang bersekutu dengan para penggarong Indonesia.

Maret 1933, Bung Karno di Pengalengan Jawa Barat menulis bahwa masyarakat intransformasi diistilahkannya sebagai masyarakat ‘sakit’, sedang berganti bulu, makanya bangsa Indonesia yang besar bisa dijajah oleh imperialis kecil Eropa. Imperialisme itu anak dari kapitalisme, kata Bung Karno. Kapitalisme tua melahirkan imperialisme tua. kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen Seperti tak dapat dipungkiri hingga saat ini kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen yang membuat bangsa Indonesia tetap menjadi bebek, tertatih-tatih dalam bernegara, terlalu bodoh untuk memikirkan nasib bangsa dan negara, tapi pintar untuk sekadar penjadi tikus-tikus pengerat terhadap bangsa dan negaranya sendiri, bersekongkol dengan asing untuk meludeskan kekayaan Indonesia. Mental terjajah itu benar-benar menyublim, membatu ke dalam jiwa bangsa Indonesia, terwariskan dari generasi ke generasi.

Terlalu banyak dimensi sebagai bukti ketertundukan bangsa ini. Umat hanya berputar-putar untuk memikirkan masing-masing nasib sendiri, langka dengan semangat kolektivitas untuk mewujudkan kebesaran Indonesia. Salah satu bukti tersebut adalah reformasi bidang hukum yang berjalan tleyak-tleyek, klemak-klemek, loyo seperti jalannya keong di atas lumpur. Para penegak hukum sibuk memikirkan kesenangan diri, mengabaikan tanggung jawab publik mereka. Taruhlah contoh kasus penyalahgunaan narkoba yang diduga dilakukan terdakwa Hany Risdiansya yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya (diberitakan hampir semua media di Surabaya, 1 – 2 /2/2008) yang memunculkan kisah tabiat buruk para jaksa di negara ini. Jaksa tak hanya meminta uang, cermin mental pengemis, tapi juga ‘meminta’ isteri terdakwa. Bagaimana negara bisa merekrut penegak hukum seperti itu? Itu tak akan terjadi jika tidak pada budaya hukum yang korup. Masyarakat lebih banyak disandera kekuasaan hukum oleh para pejabat penegak hukum. Tak ada perlawanan berarti, cermin kaum tunduk terjajah.

Jika dikuliti sebenarnya bukan hanya satu kasus itu yang terjadi. Boleh jadi setiap hari ada ‘transaksi’ jual-beli hukum dan keadilan yang terdapat di ruang-ruang tersembunyi. Dalam sebulan ini saja saya menerima keluh-kesah tentang seorang tersangka penggelapan gitar yang dimintai penyidik (polisi) uang Rp. 10 juta, kasus kecelakaan lalu-lintas orang kurang mampu yang dimintai uang Rp. 1,5 juta oleh polisi, kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) yang disimpan penyidik di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selama tiga tahun dengan alasan: “Wis gak ana sing iso digraji.” (tak ada tersangka yang mampu dimintai uang). Ada juga orang Jepang yang geram sebab berkas perkara pidananya dipingpong selama tiga tahun di Polwiltabes Surabaya dan Kejaksaan Negeri Surabaya. Ada juga seorang ibu-ibu tua tidak mampu di Surabaya yang kasusnya disimpan di Polwiltabes Surabaya selama 9 (sembilan) tahun dan berujung mengenaskan sebab akhirnya penyidikannya dihentikan dan saksi kuncinya meninggal dunia sebelum si ibu tua pencari keadilan itu mendapatkan keadilan. Si ibu tua itu mengeluh, katanya dahulu ia dibantu para pengacara ‘sosial’ yang biasa parkir di pengadilan, tapi di tengah jalan ‘diterlantarkan.’ Pasti ada sebabnya. Menyedihkan.

Itu kasus-kasus yang luput dari pemberitaan media dan memang media hanya mampu memberitakan sedikit saja dari banyaknya kasak-kusuk penegak hukum. Herannya juga tak ada wartawan yang ‘berani’ menginvestigasi kebobrokan advokat Indonesia, tapi malah lebih banyak menulis kebaikannya. Padahal dunia advokat juga simpul penegakan hukum yang harus dikontrol oleh media. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pengacara Indonesia, Sugeng Teguh Santoso mengatakan profesi advokat sudah menjadi profesi bisnis sehingga kepentingan advokat adalah kemenangan kliennya. Seringkali masyarakat tidak mengenal advokat sebagai penegak hukum, tetapi sebagai trouble maker (Kompas, 29/6/2004).

Seperti halnya korupsi di Indonesia merajalela. Dari tahun ke tahun Indonesia melahirkan para wakil rakyat dan pejabat nggragas, tukang caplok uang rakyat. Kalkulator Indonesia sudah tak sanggup menampung angka kerugian negara dan jumlah koruptor di Indonesia. Padahal, ketika KUHP dirasa tidak cukup dibuat Undang-undang untuk memberantas korupsi (pidana khusus): UU No. 3/1971 (jaman Orde Baru), diubah dengan UU No. 31/1999, diperbaharui dengan UU No. 20/2001. Apa hasilnya? Korupsi malah menjadi hamparan ‘perkebunan’ di republik ini. Koruptor menjadi peternakan yang beranak-pinak. Para polisi, jaksa dan hakim malah bebas menjual hukum. Para advokat menikmati suasana itu sebagai ‘berkah’.

Kalau masih banyak masyarakat yang mengeluh menjadi korban ’pemerasan’ penegak hukum, itu tanda bahwa tak ada kemajuan apa-apa dalam mereformasi hukum Indonesia. Indonesia tak akan benar-benar menjadi negara dan akan terus didera bencana jika hukumnya tak mampu melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat. Pun hanya hukum yang bermental keong dan tunduk kepada uang yang membiarkan kehancuran lingkungan, membawa petaka longsor dan banjir di mana-mana, di samping raibnya kekayaan dan uang negara. Kapan kita melepas mental keong terjajah?

Selasa, 22 Desember 2009

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SENGKETA TANAH DI DESA SADAR TENGAH KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO

A. URAIAN FAKTA

1. Tahun 1987 tercatat ada transaksi peralihan hak atas tanah 28 orang warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto dengan orang benama: SUWOSO, SUNOTO, SA’I, ABDUL LATIB, RUBADI dan SITI CHOIRIYAH. Luas tanah tersebut sekitar 25,6 hektar (Ha).

2. Jual-beli tanah tersebut dengan harga Rp. 300,- permeter persegi, dilakukan di rumah kepala dusun SUTJIPTO dan disaksikan oleh Drs. R. SOEPRAPTO selaku Camat, ROYAN (alm) selaku kepala desa dan TOTOT ARYUN WIBAWA sebagai pegawai kecamatan Mojoanyar.

3. Jual beli tanah tersebut diterbitkan dalam bentuk akta jualbeli (AJB) yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Camat Drs. R. SOEPRAPTO, S.H. yaitu:

- AJB No. 24, 25, 26, 27 dan 28, tanggal 03 Maret 1987 a.n. RUBADI;

- AJB No. 29, 30, 31, 32, dan 33, tanggal 05 Maret 1987 a.n. H. AHMAD SA’I;

- AJB No. 34, 35, 36, dan 37, tanggal 10 Maret 1987 a.n. SUNOTO;

- AJB No. 38, 39, 40, 41 dan 42, tanggal 14 Maret 1987 a.n. SITI CHOIRIYAH;

- AJB No. 44, 45, 46, 47, 48 dan 49, tanggal 18 Maret 1987 a.n. SUWOSO;

- AJB No. 50, 51, dan 52, tanggal 18 Maret 1987 a.n. ABDUL LATIF.

4. Atas dasar AJB tersebut selanjutnya SUWOSO dan kawan-kawan tersebut menyertifikatkan tanah tersebut di Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto.

5. Selanjutnya SUWOSO, SUNOTO, SA’I, ABDUL LATIB, RUBADI dan CHOIRIYAH memberikan kuasa jual tanggal 21 Oktober 1987 kepada RUDIYANTO. Dengan kuasa jual tersebut RUDIYANTO menjual tanah tersebut kepada EDWIN SURYA LAKSANA (asisten direktur PT. Tjiwi Kimia).

6. Selanjutnya pada 09 Maret 2004, EDWIN SURYA LAKSANA mengalihkan tanah tersebut kepada PT. Tjiwi Kimia dengan AJB No. 61 s.d. AJB No. 88, yang selanjutnya tanah tersebut menjadi 28 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang kemudian digabung menjadi 1 (satu) sertifikat HGB No. 39 tanggal 03 Agustus 2004 a.n. PT. Tjiwi Kimia.

7. Tahun 2000 warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto merasa tidak pernah menjual tanah mereka, setelah zaman reformasi baru berani menggugat SUWOSO dkk (yang diduga bekerjasama dengan PT. Tjiwi Kimia) melalui Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto, dan pada tanggal 04 Januari 2001 PN Mojokerto dengan putusannya No. 42/Pdt.G/2000/PN.Mjk mengabulkan gugatan warga, menyatakan bahwa tanah sengketa adalah sah milik warga penggugat (SAID dkk).

8. Selanjutnya putusan PN Mojokerto tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur dengan putusan No. 189/PDT/2001/PT.Sby, tanggal 23 Mei 2001.

9. Namun di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dengan putusannya No. 3627/K/Pdt/2001, tanggal 11 September 2002 mengabulkan kasasi SUWOSO dkk dan menyatakan membatalkan putusan PN Mojokerto dan putusan PT Jawa Timur tersebut, serta memutuskan gugatan warga Dusun Selorejo tersebut TIDAK DAPAT DITERIMA.

Alasan hakim agung dalam putusannya adalah: “Terdapat pihak lain yaitu PT. Tjiwi Kimia yang tidak turut digugat dalam perkara tersebut.”

10. Warga Dusun Selorejo mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), namun ditolak oleh MA dengan putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004.

11. Pada tahun 2004 warga (SAID dkk) melaporkan perkara tersebut ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur dengan laporan No. LP/543/XII/2004/Biro Ops, tanggal 29 Desember 2004, namun terakhir Polda Jawa Timur setelah melakukan penyidikan menyatakan kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana pasal 266 KUHP dan 263 KUHP.

12. SUWOSO, RUBADI, SUNOTO, SITI CHOIRIYAH, H. AHMAD SYA’I selaku pembeli tanah warga pada tahun 1987 menerangkan di depan penyidik Polda Jawa Timur bahwa mereka membeli tanah warga Dusun Selorejo tersebut hanya sebatas dipergunakan namanya oleh orang bernama RUDI (maksudnya: RUDYANTO). Mereka menandatangani AJB tanah dengan warga Dusun Selorejo atas permintaan ROYAN selaku Kepala Desa Sadar Tengah. SUWOSO dkk tersebut saat menandatangani AJB tahun 1987 tidak pernah kenal dengan warga penjual tanah yang dimaksudkan dalam AJB yang ditandatanganinya. SITI CHOIRIYAH mengaku memperoleh komisi Rp. 200.000,- dari RUDIYANTO.

13. Dalam pertemuan mediasi yang diselenggarakan DPRD Kabupaten Mojokerto, SUWOSO dkk juga menyatakan bahwa dalam pembuatan seluruh AJB atas tanah warga Dusun Selorejo tersebut tidak pernah ada transaksi riil.

14. Pada tahun 2004 SUWOSO dkk pernah membuat pernyataan tertulis yang sisinya SUWOSO dkk yang menyatakan tidak pernah membeli / melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga. Pernyataan itu kemudian disusul dengan Akta Pernyataan SUWOSO dkk dihadapan Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 6 Pebruari 2004 yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membeli/melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga Dusun Selorejo; dan Akta Pembatalan jual-beli tanah oleh SUWOSO dkk yang dibuat Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 11 Pebruari 2004.

15. Namun, atas surat dan akta peryantaan tersebut pihak PT. Tjiwi Kimia melakukan upaya hukum pidana melalui Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Mojokerto. Dalam penanganan kasus tersebut terjadi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polres Mojokerto.

16. Selanjutnya, warga koran (SAID dkk) dan SUWOSO diadili di PN Mojokerto dan diputuskan bersalah serta dipidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan putusan No. 126/Pid.B/2005/PN.Mkt, tanggal 06 Juni 2005.

B. ANALISIS

Berdasarkan pengakuan SUWOSO dkk selaku yang tercatat dalam pembeli tanah warga Dusun Selorejo, mereka menyatakan tidak pernah membeli secara riil tanah warga tahun 1987 tersebut. Mereka mengaku menandatangani AJB karena namanya dipergunakan oleh orang bernama RUDIYANTO.

RUDIYANTO selanjutnya menjual tanah warga korban tersebut kepada EDWIN SURYA LAKSANA yang menurut keterangannya telah bekerja sebagai asisten Direktur PT. Tjiwi Kimia selama 30 tahun terakhir. Selanjutnya EDWIN SURYA LAKSANA menjual tanah tersebut kepada PT. Tjiwi Kimia.

Warga korban (SAID dkk) menggugat secara perdata kepada SUWOSO dkk tahun 2000 untuk mendapatkan tanah mereka kembali. Ternyata MA dalam tingkat kasasi, diperkuat putusan di tingkat Peninjauan Kembali (PK), memutuskan gugatan warga korban tidak dapat diterima dengan alasan bahwa PT. Tjiwi Kimia tidak ikut digugat.

Pertimbangan hukum MA tersebut tidak masuk akal sebab berdasarkan alat bukti formalnya peralihan hak atas tanah dari EDWIN SURYA LAKSANA kepada PT. Tjiwi Kimia terjadi pada tanggal 09 Maret 2004 (dengan AJB No. 61 s.d. AJB No. 88 di hadapan Notaris/PPAT SALIM HANDOKO,S.H.), sedangkan gugatan warga korban dilakukan pada tahun 2000. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tersebut tanggal 11 September 2002 dengan putusannya No. 3627/K/Pdt/2001.

Bagimana bisa MA pada tahun 2002 menyatakan tanah sengketa milik warga korban ada kaitannya dengan hak PT. Tjiwi Kimia, padahal PT. Tjiwi Kimia baru membeli tanah tersebut pada 09 Maret 2004 dari orang bernama EDWIN SURYA LAKSANA yang merupakan asisten Direktur PT. Tjiwi Kimia?

Dalam hal ini MA telah membuat putusan yang ilegal, melanggar hak keadilan warga korban tersebut dengan cara membuat pertimbangan hukum yang keluar dari kebenaran alat bukti dan standar hukum acara perdata. Putusan hakim yang formalistik tetapi tidak masuk akal telah mengabaikan keadilan substantif.

Di samping itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) qq. Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto juga patut dikatakan melanggar hak keadilan bagi warga korban dalam perkara tersebut. Warga Dusun Selorejo mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) tahun 2002, hingga diputuskan MA dengan putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004. Tetapi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto tetap memroses pendaftaran peralihan hak atas tanah sengketa dari orang bernama EDWIN SURYA LAKSANA kepada PT. Tjiwi Kimia yang terjadi pada tanggal 09 Maret 2004, dan diproses menjadi 1 (satu) sertifikat HGB No. 39 a.n. PT. Tjiwi Kimia pada 03 Agustus 2004, ketika MA belum memutuskan permohonan PK warga korban. Putusan PK dalam perkara tersebut adalah putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004.

Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto juga mengetahui status tanah warga korban tersebut sebagai tanah sengketa sejak tahun 2000 dan pernah turut dipanggil dalam dengar pendapat di DPRD Kabupaten Mojokerto.

Tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto yang menyetujui pendaftaran peralihan hak atas tanah sengketa milik warga korban menjadi sertifikat HGB a.n. PT. Tjiwi Kimia tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 45 ayat (1) huruf e yang menentukan: “Kepala Kantor Pertanahan Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi: …e. tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di pengadilan.

Selain dengan gugatan perdata, warga korban juga memperkarakan kasus pemalsuan surat dengan obyek AJB a.n. SUWOSO dkk tersebut yang dilaporkan ke Polda Jawa Timur pada 29 Desember 2004 dengan laporan No. LP/543/XII/2004/Biro Ops, namun terakhir Polda Jawa Timur setelah melakukan penyidikan menyatakan kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana pasal 266 KUHP dan 263 KUHP.

Padahal, terlapor yang tercatat sebagai pembeli tanah warga korban pada tahun 1987 (SUWOSO dkk) mengakui bahwa mereka pada saat menandatangani AJB atas tanah warga korban tidak mengenal warga yang dicatat dalam AJB selaku penjual, dan menerangkan bahwa nama mereka dipakai orang lain bernama RUDIYANTO. Mereka (SUWOSO dkk) menandatangani AJB pada tahun 1987 disuruh oleh ROYAN (alm) selaku Kepala Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.

Artinya, benar bahwa keterangan mereka (SUWOSO dkk) di dalam :

- AJB No. 24, 25, 26, 27 dan 28, tanggal 03 Maret 1987 a.n. RUBADI;

- AJB No. 29, 30, 31, 32, dan 33, tanggal 05 Maret 1987 a.n. H. AHMAD SA’I;

- AJB No. 34, 35, 36, dan 37, tanggal 10 Maret 1987 a.n. SUNOTO;

- AJB No. 38, 39, 40, 41 dan 42, tanggal 14 Maret 1987 a.n. SITI CHOIRIYAH;

- AJB No. 44, 45, 46, 47, 48 dan 49, tanggal 18 Maret 1987 a.n. SUWOSO;

- AJB No. 50, 51, dan 52, tanggal 18 Maret 1987 a.n. ABDUL LATIF.

adalah keterangan yang palsu atau tidak benar, sebab ternyata mereka (SUWOSO dkk tidak pernah mengenal warga korban yang dicatat sebagai penjual dalam AJB-AJB tersebut dan tidak bertindak sendiri selaku pembeli, melainkan namanya digunakan oleh orang bernama RUDIYANTO.

Hal tersebut sesuai dengan alat bukti surat lainnya yang telah diperoleh penyidik Polda Jawa Timur, yaitu:

- Surat Pernyataan SUWOSO dkk yang menyatakan tidak pernah membeli / melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga;

- Akta Pernyataan SUWOSO dkk dihadapan Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 6 Pebruari 2004 yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membeli/melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga Dusun Selorejo; dan

- Akta Pembatalan jual-beli tanah oleh SUWOSO dkk yang dibuat Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 11 Pebruari 2004.

Kepolisian Resor Kabupaten Mojokerto juga patut dikatakan melakukan pelanggaran HAM kepada warga korban sebab telah melakukan kriminalisasi dengan cara-cara kekerasan terhadap warga korban (SAID dkk) dan memihak PT. Tjiwi Kimia, berkaitan dengan terbitnya ketiga surat atau akta pernyataan SUWOSO dkk tersebut di atas, selanjutnya perkara itu diadili di PN Mojokerto dengan putusan No. 126/Pid.B/2005/PN.Mkt, tanggal 06 Juni 2005 di mana SAID dan SUWOSO pun dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) bulan.

Polda Jawa Timur dan Polres Mojokerto telah memihak kepada PT. Tjiwi Kimia, sebab menindaklanjuti upaya kriminalisasi terhadap warga korban dan tidak memberikan kepastian atas laporan pidana yang dilakukan warga korban.

Maka dalam hal ini, pelaku pelanggaran HAM dalam perkara ini adalah:

  1. Hakim pada Mahkamah Agung RI telah melanggar hak untuk memperoleh keadilan bagi warga korban tersebut, sebagaimana hak itu dijamin dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menentukan: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

  1. Kepolisian Daerah Jawa Timur juga telah melanggar hak untuk memperoleh keadilan bagi warga korban tersebut, sebagaimana hak itu dijamin dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut.

  1. Kepolisian Resort Kabupaten Mojokerto selain melanggar hak atas keadilan sebagaimana ditentukan pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut juga melanggar hak atas rasa aman sebagaimana menurut pasal 30 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

  1. Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto telah berkonspirasi dengan PT. Tjiwi Kimia dan pengurusnya, melanggar hak atas kesejahteraan warga korban dengan cara memperoleh hak secara melawan hukum melanggar kaidah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sehingga mengeliminasi hak warga korban atas tanah mereka, sebagaimana pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum.”

  1. Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian Negara RI dan Badan Pertanahan Nasional telah melanggar kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

C. KESIMPULAN

SAID dkk selaku warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto telah menjadi korban pelanggaran HAM secara sistematik yang dilakukan aparat pemerintahan yang melibatkan para pejabat Kepolisian dan Pengadilan (Mahkamah Agung) serta Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto, untuk kepentingan korporasi bernama PT. Tjiwi Kimia di Mojokerto.

Rabu, 18 November 2009

HUKUM PUN TENGGELAM DALAM LUMPUR LAPINDO


Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur akhirnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara pidana lumpur Lapindo. Pertimbangannya, putusan Pengadilan telah menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pertimbangan lainnya adalah perbedaan pendapat para ahli.

Perubahan arah

Pada mulanya penyidik Polda Jawa Timur sangat yakin bahwa penyebab semburan lumpur tersebut akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Pada 8 Maret 2007, saya hadir dalam acara paparan untuk publik tentang perkembangan penyidikan perkara kasus lumpur Lapindo di Mapolda Jawa Timur, diselenggarakan Polda Jawa Timur.

Dalam perkembangan berikutnya penyidik hanya mengeluh pada soal pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan P-19 (berkas dinyatakan belum lengkap, disertai petunjuk), tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Tim Penuntut Umum (kejaksaan) dinilai semrawut sebab memang terdapat 17 orang tersangka yang dipisah dalam tujuh berkas. Dalam soal pokok perkaranya Tim Penuntut Umum hanya mempersoalkan perbedaan pendapat ahli yang ada.

Penyidik Polda Jawa Timur pada acara 8 Maret 2007 itu menjelaskan telah memeriksa 59 orang saksi fakta, 16 ahli dan 13 tersangka. Barang bukti yang telah disita termasuk dokumen dan surat-surat (Production Sharing Contract, Drilling Program, Daily Drilling Report, instruksi kerja, Real Time Chart, survey seismic, perizinan, dokumen UKL-UPL, Pedoman Standard of Operation, kontrak kerja antara Lapindo dengan PT. Medici Citra Nusa (MCN) beserta sub kontraktornya dan lain-lain), 1 (satu) unit Rig beserta komponennya.

Di luar itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menemukan bekas bor milik Lapindo di lokasi pertambangan migas Santos di Pasuruan, tapi ini tidak termasuk barang bukti yang disita penyidik.

Penyidik menemukan fakta bahwa eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong Sidoarjo mengalami peristiwa kick dan stuck di kedalaman 4.241 kaki. Di kedalaman 9297 terjadi lost. Dalam keadaan kick and lost, dilakukan penarikan bor ke atas. Tetapi malapetakan terjadi ketika formasi di bawah casing shoe di kedalaman 3580 kaki pecah akibat tekanan dari bawah yang berlebih.

Penyidik menyimpulkan: “Pada 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur yang berada di + 200 m dari lokasi pemboran sumur Banjar Panji 1 di Ds. Reno Kenongo, Kec. Porong, Kab. Sidoarjo yang diduga akibat dari kesalahan dalam penanganan Lost dan Kick yang menimbulkan tekanan melebihi kemampuan casing shoe sehingga menyebabkan retak / pecahnya formasi dibawah casing shoe (kedalaman 3.580 ft) pada kegiatan pemboran sumur Banjar Panji 1 yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc beserta para subkontraktornya yang mengakibatkan terjadinya banjir lumpur dan kerusakan serta pencemaran terhadap lingkungan.”

Kesimpulan itu bukan diperoleh dari theoritical proving, tapi fact evidence, sebab diperoleh dari keterangan para saksi pengeboran serta laporan pengeboran harian (daily drilling report). Penyidik mengatakan telah memeriksa ‘saksi kunci’ pelaksana pengeboran berkat informasi dari aktivis jurnalis dan Walhi.

Kepolisian memunyai data tentang tekanan selama pengeboran – sebagaimana juga dikatakan Prof. Rudi Rubiandini, ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) (Kompas, 23/1/2008) – hal mana data tersebut juga merupakan salah satu alat bukti fakta (fact evidence).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga punya surat dari Dinas Survei & Pemboran BP Migas yang dilampiri penjelasan tertulis dari Edi Sutriono (Senior Drilling Manager PT Energy Mega Persada, Tbk) yang menjelaskan bahwa proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki pada tanggal 28 Mei 2006 pagi telah menyebabkan well kick yang terlambat diantisipasi. Kick baru diidentifikasi pada kedalaman 4.241 kaki. Langkah penanganan dilakukan dengan menutup sumur dengan BOP (blow out preventer) dan selanjutnya membunuh kick dengan metode volumetric.

Silang pendapat

Pendapat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Selatan serta Kapolda Jawa Timur berbeda dengan hasil audit BPK yang dilaporkan 29 Mei 2007. Itu sekaligus menunjukkan adanya silang pendapat antarpengurus negara, meski BPK dalam laporan auditnya implisit menghormati proses hukum. BPK melaksanakan wewenangnya menurut UU No. 15/2006, dalam rangka audit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). (Hasil audit dapat dilihat dari www.bpk.go.id). Berkaitan dengan proses eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut diantaranya BPK menjelaskan fakta bahwa laporan harian pemboran (daily drilling report) menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan pekerjaan pemboran karena kerusakan dan perbaikan peralatan pemboran.

Total hari perbaikan peralatan pemboran mencapai 667,9 jam atau kurang lebih 27 hari yang disebabkan suku cadang yang tersedia tidak memadai. Selain peralatan pemboran yang sering rusak, PT MCN (kontraktor pengeboran yang ditunjuk Lapindo) juga diduga menggunakan beberapa peralatan bekas, atau peralatan yang tidak memenuhi standar kualitas. Terjadi praktik kanibalisasi dan penggunaan suku cadang yang tidak asli antar mesin dan mud pump. PT MCN maupun subkontraktor penyedia drilling rig disimpulkan tidak memiliki kesiapan, peralatan dan personil yang memadai dalam melaksanakan pekerjaan pemboran Sumur BJP-1.

BPK juga menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas menyebutkan, BP Migas maupun Lapindo sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

Laporan final Loss Adjuster Matthews Daniel tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis (rekahan).

Jadi, alat bukti faktual (fact evidence) kasus semburan lumpur Lapindo (yang diperoleh dari dokumen dan para saksi pihak Lapindo sendiri) membuktikan adanya kesalahan dalam proses eksplorasi yang mengakibatkan semburan. Alat bukti tersebut diperoleh dari factual proving, bukan sekedar theoritical proving. Sedangkan pendapat para ahli yang menghubungkan semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja atau pergeseran lempeng bumi, hanya bersifat hipotesis (belum mengarah pada kebenaran teori), tidak berdasarkan factual evidence. Para ahli yang ‘membela Lapindo’ itu mengabaikan fakta adanya kesalahan dalam proses eksplorasi. Logikanya sederhana: ahli geologi disuruh menjelaskan ‘kesalahan eksplorasi’ terang tidak bisa.

Tapi mengapa penegak hukum kita begitu? Tampaknya ada indikasi politis yang menggiring hukum untuk ditenggelamkan ke dalam lumpur. Itu tak beda jauh dalam preseden kasus perusakan hutan, pencemaran/perusakan Buyat oleh Newmont, pencemaran/perusakan Papua oleh Freepot, dan lain-lain, di mana hukum kita patuh kepada oligarki, tidak berani memihak keadilan dan rabun menatap kebenaran. Ini negara hukum semu.

Rabu, 20 Mei 2009

SEJARAH PEMUKIMAN DAN KRONOLOGI PENGGUSURAN KAWASAN JAGIR SURABAYA

1960 Daerah Jagir Barat (sekarang di seberang gang II-IV) merupakan kompleks prostitusi.
Daerah sebelah timur (sekarang di seberang gang IV- perempatan Panjang Jiwo) merupakan tanah kosong yang ditumbuhi ilalang dan pohon krangkong.

1961-1962 Terjadi keributan di kompleks prostitusi sampai terjadi kebakaran. Sejak saat ini prostitusi dipindah ke Jarak Surabaya.

1964 Ada pemindahan sekitar 50 pedagang dari pasar Wonokomo oleh walikota Sukoco karena pembangunan perluasan pasar Wonokromo. Mereka umumnya pedagang besi yang semula berjualan dibagian Barat pasar. Karena tempat tersebut akan digunakan sebagai terminal bemo, maka mereka diminta pindah dengan dua pilihan tempat pindah.

Pilihan pertama direlokasi ke toko-toko kosong yang ada didalam pasar dengan ukuan 2,5m x 4 m. Pilihan kedua dipindah ke daerah Jagir-wonokomo, ditepi sungai. Akhirnya 50 orang memilih pindah ke Jagir-Wonokromo. Mereka mendirikan bangunan untuk berdagang dan tempat tinggal.

Janji pemerintah saat itu (wali kota Sukoco) tempat tinggal dan tempat usaha akan dibayar pembangunannya oleh pemkot dan warga mencicil jika sudah selesai. Tetapi janji tersebut tidak penah terlaksana.

Kondisi tanah yang ditempati saat itu masih lebih tinggi dari jalan raya yang ada saat ini. Transportasi darat yang paling disukai adalah becak dan bendi, meski sudah ada bemo.
Sungai digunakan oleh pedagang ikan dan bambu dari arah Timur sampai disebelah Timur pintu air tempat mereka biasanya menggelar dagangan. Penduduk tepi sungai memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari (mandi, cuci, buang air dan masak).

Bagian Barat wilayah Jagir (dari rel kereta api sampai seberang kantor Pertamina) ada taman. Di sebelahnya ada bangunan rumah penjaga aspal dan drum Pertamina.

1967 Daerah Timur Jagir yang masih berupa tanah kosong penuh ilalang dan krangkong mulai dihuni oleh tukang becak dan beberapa orang yang tidak memiliki lahan diwilayah barat. Selain rumah tinggal, mereka juga membuka usaha sepeti bengkel, warung kelontong dan lain-lain. Saat itu RK dan pengurus kampung tidak memperhatikan.

1968 Jembatan Nginden dibangun. Tidak lagi ada perahu penjual ikan dan pedagang bambu lewat di sungai.
Beberapa orang di Jagir Timur mulai bisa membangun rumah. Saat itu pengurus kampung (ketua RK) dari seberang jalan mendatangi dan melarang mereka mendirikan bangunan. Tetapi setelah bernegosiasi akhirnya mereka diijinkan tinggal dengan membayar Rp 1,00. dan diakui sebagair warga resmi kampung seberang.

1968 Warga mendapatkan KTP yang beralamatkan di lokasi pemukiman mereka oleh kecamatan Wonokromo.

1970 Warga penampungan dari Dinas Sosial direlokasi ke wilayah stren kali Jagir (depan Mangga Dua) oleh Dinas Sosial Kota Surabaya.

1970-1971 Jalan raya Jagir dibangun oleh pemerintah daerah dengan dana yang berasal dari PONSORIA WAWE (semacam SDSB). Setelah ini mulai ramai bemo dan bus Damri.

1975 Warga mulai membayar PBB (IPEDA). Penghuni mulai berganti karena banyak rumah yang diperjualbelikan hak pakainya. Daerah timur Jagir sampai tugu Panjang Jiwo mulair ramai dihuni.

1983 PLN masuk ke pemukiman warga dan mulai terpasang instalasi listrik.

1998 Daerah Barat yang dulu taman mulair dihuni oleh pedagang kayu dan alat memancing.
Daerah Timur (tugu Panjang Jiwo sampai ke Timur) mulai berpenghuni. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang kaki lima dan bengkel kecil.

26-3- 2002 Warga yang sudah bertahun-tahun bermukim di Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo tiba-tiba dikejutkan dengan adanya surat Perintah Pembongkaran II (SP II) tanggal. Itu dilakukan tanpa ada proses sosialisasi, bahkan ada beberapa kampung seperti Karang Pilang baru mengetahui adanya SP II tersebut setahun kemudian.

Melihat kasus penggusuran warga stren kali di Panjang Jiwo, dimana setelah rumah mereka dibongkar mereka tidak juga mendapatkan haknya, sehingga harus berbulan-bulan tinggal di tenda-tenda Warga Stren Kali di Bratang, Jagir, Gunungsari, Jambangan, Kebonsai dan Pagesangan sepakat untuk bersatu membentuk PAGUYUBAN WARGA STREN KALI SURABAYA. Dalam perjalanan waktu kini Paguyuban Warga Stren Kali tersebut sudah mencakup 10 kampung, yaitu Jagir, Bratang, Bratang Kampung Baru, Gunungsari I, Gunungsari II, Jambangan, Kebonsari, Pagesangan, Kebraon dan Karang Pilang.

Warga bersama LSM JERIT kemudian melakukan advokasi, termasuk berusaha untuk bertemu dengan Menteri Kimpraswil.

10-6-2003 Menteri Kimpraswil, Ir. Soenarno berdialog dengan perwakilan warga stren kali Surabaya dan kali wonokromo yang terancam akan digusur. Dalam dialog tersebut juga hadir anggota Komisi IV DPR RI, Sekda propinsi Jawa Timur, Komisi D DPRD Jawa Timur, Walikota Surabaya, Kepala PU Pengairan Jawa Timur, serta sejumlah pejabat dari Instansi terkait.

Adapun hal penting dalam dialog di Gedung Wanita Surabaya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Menteri Kimprawil minta kepada Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya untuk menghentikan penggusuran sampai disahkannya Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Jawa Timur yang mengatur tentang Bantaran Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo
2. Untuk penerbitan PERDA Menteri akan membentuk TIM Teknis yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota, Akademisi Independen, LSM dan wakil warga yang tergusur maupun yang terancam digusur.
3. Menteri Kimprawil sepakat dan sangat tetarik dengan konsep warga stren kali “masyarakat penjaga sungai” dalam hal menjaga fungsi sungai.

18-9-2003 Tim Teknis yang sudah disepakati belum juga terbentuk, warga pun menanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PU Pengairan dan PU Pemukiman Jawa Timur. Ternyata pada hari yang sama Gubernur Jawa Timur menyerahkan Raperda Strenkali Surabaya kepada Komisi D DPRD Jatim untuk dibahas dan direncanakan akan disah menjadi Perda.

23-9-2003 Menyikapi Raperda tersebut perwakilan warga dan LSM Jerit menemui Komisi D DPRD Jawa Timur minta agar Raperda Strenkali tersebut tidak dibahas karena Raperda tersebut tidak disusun Tim Teknis sesuai kesepakatan saat dialog dengan Menteri Kimpraswil.

1-10-2003 Warga ikut bersama Komisi D DPRD Jawa Timur yang melakukan pertemuan dengan Menteri Kimpraswil untuk membahas Raperda Stren Kali tersebut.

Akhirnya Sidang paripurna DPRD Jawa Timur memutuskan Raperda yang diajukan Gubernur tidak bisa disyahkan karena ada kesepakatan yang dilanggar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam Sidang paripurnanya.


23-10-2003 Gubernur Jawa Timur membentuk Tim Kajian Teknis dan mulai bekerja 23 Oktober 2003. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dan pembahasan Tim Kajian Teknis dimana di dalam ada perwakilan warga Stren Kali terlibat menghasilkan sebuah kajian teknis yang akan disampaikan ke Menteri Kimpraswil.
Selain ada beberapa hal yang berhasil disepakati, namun ada juga yang tidak berhasil disepakati antara Tim Wakil pemerintah (didukung dari kalangan Perguruan Tinggi) dengan Tim Perwakilan warga.

Beberapa hal yang berhasil disepakati bahwa antara lain :
- Program normalisasi sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo harus meminimalkan terjadinya penggusuran
- Penataan sungai akan ditata terintegrasi dengan penataan permukiman yang mengacu pada konsep renovasi. Apabila hal tersebut tidak bisa dilaksanakan, maka diperlukan perumusan rencana detail dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya dan teknis, sehingga apabila terjadi relokasi setempat, atau terpaksa pada lokasi sekitar/ lainnya, masyarakat tidak menjadi lebih buruk kondisinya (worst-off).
- penataan tidak akan menghilangkan akses warga stren terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, permukiman, jaringan ketetanggaaan/kekerabatan, kehidupan keagamaan yang sudah ada selama ini.

26-3-2004 Hasil kerja Tim Kajian Teknis Stren kali Surabaya disampaikan kepada Menteri Kimpraswil. Apa dan bagaimana hasilnya, Menteri melihat masih harus dilakukan kajian lebih detil lagi.

2007 Pemprop Jawa Timur untuk kesekian kalinya mengusulkan kembali Raperda penataan sempadan kali Surabaya dan kali Wonokromo.

1-10-2007 Hasil Pansus Strenkali telah menghasilkan draft Raperda penataan sempadan kali Surabaya dan kali Wonokromo yang kemudian disahkan sebagai Perda pada tanggal 1 Oktober 2007, yang kemudian dicatatkan dalam lembaran daerah dengan Perda Nomor 9 tahun 2007.

23-4-2009 Surat Peringatan dari Kecamatan Wonokromo dibagikan oleh Satpol PP kepada warga Jagir. Surat berisi peringatan untuk membongkar sendiri bangunan milik warga kalau tidak akan dilakukan pembongkaran pada tanggal 30 April 2009. Surat tersebut merupakan hasil rapat antara Dinas PU Pengairan dengan Pemerintah Kota Surabaya. Perda yang dijadikan acuan penggusuran adalah peraturan yang lama, tidak menyinggung Perda terbaru No. 9 tahun 2007 sama sekali.

27-4-2009 DPRD Kota Surabaya Komisi C mengundang rapat beberapa instansi terkait untuk menyikapi surat peringatan Kecamatan Wonokromo pada tanggal 29 April 2009.

28 -4-2009 Warga melakukan aksi di Dinas Pengairan. Ketua Dinas PU Pengairan, Mustofa menemui warga dan mengatakan bahwa tidak ada rencana penggusuran dan tidak mengakui adanya rapat dengan Pemkot Surabaya.
Dari Dinas Pengairan warga mendatangi DPRD Jawa Timur Komisi D. Komisi D mengadakan rapat bersama perwakilan warga. Dalam rapat dinyatakan bahwa Surat Kecamatan Wonokromo perihal penggusuran Strenkali telah melanggar kewenangan provinsi Jawa Timur khususnya terkait Perda No.9 tahun 2007. Di pertemuan juga tebukti bahwa Rapat Dinas Pengairan dan Pemkot ternyata benar-benar terjadi dan DPRD Jawa Timur merasa tersinggung karena dilangkahi.

29-4-2009 Rapat di DPRD Kota Surabaya yang juga dihadiri DInas PU Pengairan Prop Jatim, Perum Jasa Tirta, Dinas Bina Marga dan Pematusan, Camat Wonokromo, Lurah Jagir, Perwakilan warga dan LSM Jerit memutuskan :
- Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim menghormati Perda No.9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Wonokromo.
- Surat Kecamatan Wonokromo batal demi hukum dan diminta untuk melakukan pencabutan Surat Peringatan.
- Hasil Rapat berlaku di seluruh kecamatan di wilayah sempadan sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo.
30-4-2009 JTV mengundang perwakilan warga untuk hadir dalam acara “Nyelatu Show” sebuah acara debat antara 2 belah pihak. JTV juga mengundang Walikota Surabaya dan Pemkot tapi tidak ada yang datang.

4-5-2009 Penggusuran terjadi di kawasan Jagir, Aparat gabungan Satpol PP dan polisi yang turun sebanyak 2.500 orang plus anjing polisi, melebihi jumlah warga di Jagir. Penggusuran dilengkapi dengan 1 Unit Canon Water Car, 1 unit Buldozer dan 3 unit Excavator (Back Hoe).

Pagar Betis berlapis yang dibuat warga tak kuasa menahan serbuan aparat yang berjumlah banyak. Penggusuran sempat dihentikan selama 3 jam ketika anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya dan Komisi D DPRD Propinsi Jawa Timur ikut berorasi. Namun setelah semua anggota dewan tersebut meninggalkan lokasi penggusuran dilanjutkan sehingga seluruh kawasan Jagir sepanjang kurang lebih 2 km dibongkar dan rata dengan tanah.

Bentrokan sempat terjadi pada sore hari dimulai dari sekelompok orang yang melempari Excavator (menurut pengamatan warga di lapangan banyak wajah-wajah tak dikenal ikut berbaur dikerumunan massa dan mereka yang memulai melempari) sehingga suasana menjadi chaos dan menyebabkan sebagian warga dipukuli dan ditangkap oleh polisi. 18 warga ditangkap oleh polisi. Sebelumnya dalam aksi ini LSM Jerit dan warga telah sepakat untuk tidak berbuat anarkis.

Jumat, 23 Januari 2009

Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah

Latar belakang

Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.

Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.

Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.

Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.

Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.

Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.


BENTUK ADVOKASI

Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:

1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;

2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;

3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;

4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.

Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.

Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:

1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.

2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).

3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.

4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.

Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.

Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.

Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.

Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.

Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.

Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.

Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.

Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.

Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.


PRINSIP ADVOKASI

Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.

Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.

Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).

Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.

Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.

Surabaya, 22 Januari 2009.

Sabtu, 06 September 2008

LUMPUR LAPINDO, HARUSKAH MENUNGGU PENGADILAN?

Pihak Lapindo dan banyak kalangan menilai bahwa Lapindo Brantas Inc (Lapindo) belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi bersedia membayar ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo (khusus untuk yang ada dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Hal itu dinilai sebagai ‘kebaikan’ atau itikad baik Lapindo.

Untuk memperoleh cara pikir yang lebih komprehensif, tulisan ini hendak mengulas setidaknya berkaitan dengan dua pertanyaan, yaitu: (1) Apakah menentukan Lapindo bersalah atau tidak harus menunggu putusan pengadilan? (2) Bagaimana prinsip pertanggungjawaban dalam usaha hulu minyak dan gas bumi (migas)? Tentu saja, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan hukum, maka jawabannya juga berdasarkan hukum.

Penyebab semburan lumpur

Seperti kita ketahui, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada Lapindo dinyatakan ditolak. Alasan hakim, semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, bukan kesalahan Lapindo. WALHI banding atas putusan tersebut sehingga menurut hukum acara perdata putusan PN Jakarta Selatan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap alias mental.

Berbeda dengan PN Jakarta Pusat telah berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran. Tetapi gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) itu ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan alasan tidak ada pelaggaran HAM karena Lapindo dan pemerintah dinilai telah memenuhi HAM para korban. YLBHI mengajukan banding atas putusan tersebut sehingga putusan PN Jakarta Pusat juga masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

WALHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pencamaran dan perusakan lingkungan hidup. WALHI menggunakan kedudukan hukumnya sebagai organisasi wali lingkungan hidup (yang di dalamnya terdapat aktor lingkungan berupa manusia). Sedangkan YLBHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pelanggaran HAM. YLBHI menggunakan kedudukannya sebagai organisasi pejuang HAM (human rights sefender). Sedangkan warga korban Lapindo sendiri hingga saat ini belum pernah menggugat Lapindo.

Proses hukum pidana kasus lumpur Lapindo ditangani Polda Jatim. Penyidik telah bekerja keras melakukan pemeriksaan perkara. Penyidik telah melimpahkan berkas kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tanggal 30 Oktober 2006 tapi berkasnya masih terus dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan petunjuk (P19) secara berulang-ulang, hingga sekarang, dengan petunjuk berubah-ubah.

Mengapa berkas kasus lumpur itu bisa bolak-balik seperti penari kuda lumping? Dengan pikiran positif kita masih bisa menduga bahwa Jaksa yang menangani kasus itu ingin berkas perkara itu benar-benar sempurna sehingga para tersangka/terdakwa kasus lumpur yang berjumlah 13 orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum.

Namun ada pula pihak-pihak yang meragukan, jangan-jangan kalau para terdakwa bebas maka masyarakat tidak dapat meminta ganti rugi kepada Lapindo? Seandainya kemungkinan paling buruk bahwa para terdakwa kasus lumpur itu dibebaskan maka menurut pasal 1919 KUHPerdata, putusan pembebasan terdakwa itu tidak boleh dijadikan alat untuk menolak gugatan ganti rugi. Artinya, dalam satu kasus, hakim yang mengadili perkara perdatanya tidak terikat dengan putusan perkara pidananya. Apalagi secara perdata dalam kasus Lapindo ini urusan penyelesaian masalah sosialnya tidak melalui pengadilan, tapi dengan kebijakan (beleid) berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007).

Penegak hukum dalam kasus lumpur pernah mengatakan bahwa fakta kasus tersebut tidak dapat dilihat dengan mata. Artinya, penyidik atau siapapun tidak bisa mengetahui kejadian di dalam bumi. Menurut mereka, kasus tersebut sangat bergantung pada keterangan para ahli.

Tapi, hukum tidak selalu mensyaratkan terbuktinya fakta dari pengetahuan mata secara langsung. Ada hal-hal yang bisa dicari korelasi kausalitasnya dengan logika obyektif, meminjam istilah Prof. Moeljatno. Contohnya dalam kasus pembunuhan kepada Munir, tidak satupun saksi mata yang melihat.

Dengan berbekal pada logika obyektif tersebut, kiranya tidak sulit mencari penyebab semburan lumpur tersebut. Meskipun kejadian di dalam bumi tidak dapat dilihat, seluruh kegiatan pemboran tersebut terekam dalam dokumen-dokumen real time chart, daily drilling report, dan lain-lain. Dalam pemboran juga ada standard operating procedur (SOP) serta kaidah keteknikan yang baik. Jika SOP atau kaidah keteknikan itu dilanggar maka disitulah kesalahan bermula.

Namun penegak hukum harus cermat, sebab tampaknya sudah ada indikasi dari Lapindo untuk "menyembunyikan" alat bukti dokumen asli riwayat pemboran, seperti kesaksian Andang Bachtiar. Ahli pemboran dan geologi yang diperiksa penyidik Polda Jawa Timur itu dalam milis IAGI.net (18/7/2008) mengungkapkan kesaksian sebagai berikut: "Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib."

Bagaimana dengan pendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat gempa Jogja? Ini sangat sulit membuktikannya, melainkan hanya dengan asumsi-asumsi geologis (tidak mungkin dibuktikan secara teknis). Sedangkan asumsi atau hipotesis bukanlah alat bukti hukum.

Banyak ahli berpendapat bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur. Semburan lumpur itu dipicu oleh aktivitas eksplorasi (man-made), bukan karena gempa Jogja (Richard J. Davies, GSA Today, Februari 2007). Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Bencana ITS, Richard J Davies, Andang Bachtiar, Rudi Rubiandini, Masrufin, termasuk para ahli yang tidak sepakat bahwa gempa Jogja merupakan pemicu semburan lumpur Lapindo di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong.

Hasil pencatatan Badan Metereologi dan Geofisika yang dipaparkan Tiar Prasetya menunjukkan gelombang primer gempa Jogja tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terpolarisasi (terkutubkan) sekan-akan membentuk pola bunga melati. Jalur kerusakan ke arah Timur melintasi Pacitan, jika sumbu polarisasi ke arah Timur diteruskan maka posisinya jauh dari Porong (Masrufin, 15/7/2006).

Secara lebih moderat - dengan tidak mau memutlakkan gempa Jogja sebagai bukan sebab - Prof. Perry Burhan, guru besar Geokimia Organik ITS, mengatakan bahwa akibat gesekan gempa Jogja bisa jadi penyebab semburan lumpur. Tetapi seandainya Lapindo memasang casing dalam melakukan pemboran maka semburan itu tak akan terjadi sebab di situ terdapat lapisan diapir yang sudah diketahui Lapindo (Antara.co.id, 11/9/2007).

Tetapi hukum tentu tidak cukup hanya dengan pendapat-pendapat para ahli tersebut. Fakta hukum membutuhkan alat bukti. Alat bukti itu diperoleh dari hasil-hasil penyelidikan data-data dalam mencari penyebab semburan lumpur itu. Fakta-fakta itu diantaranya bahwa dalam proses pemboran di sumur BJP-1 telah terjadi masalah, diantaranya: terjepitnya bor, dipotongnya pipa bor, digunakannya blow out preventer (BOP) untuk menutup tekanan gas dari bawah, dan lain-lain merupakan fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Problem pemboran tersebut juga tertuang dalam dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan lumpur yang dibuat BP Migas dan Lapindo Brantas tertanggal 12 Juni 2006.

Sedangkan fakta tidak dipasangnya casing di kedalaman tertentu dapat dilihat dari alat bukti surat Medco kepada Lapindo, No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, yang menyatakan bahwa dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006 Medco telah memperingatkan agar dilakukan pemasangan casing 9-5/8” di kedalaman 8.500 kaki untuk antisipasi potensi masalah sebelum penetrasi ke formasi Kujung, sebagai program yang telah disetujui. Tetapi operator pemboran Lapindo tidak melaksanakannya.

Alat bukti lainnya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tertanggal 29 Mei 2007, menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat kesalahan teknis dalam pemboran, termasuk disebabkan peralatan serta tenaga pemboran yang tidak memenuhi syarat teknis yang baik.

Beberapa temuan BPK soal teknis tersebut di antaranya (tidak semua disebutkan dalam tulisan ini):

(1) Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran, meski menurut Lapindo mereka sudah memegang sertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu);

(2) Peralatan pemboran yang digunakan oleh kontraktor Lapindo (PT. MCN) dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari.

(3) Pihak Lapindo (dengan kontraktor PT MCN) sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

(4) Ada indikasi operator terlambat menutup sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

(5) Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun Lapindo sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

(6) Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum Lapindo dapat dinyatakan bersalah dalam melakukan pemboran yang mengakibatkan semburan kumpur itu, sekurang-kurangnya dengan alat-alat bukti: (1) alat bukti surat berupa dokumen real time chart, daily drilling report, SOP, dokumen audit BPK, surat Medco kepada Lapindo No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan yang dibuat Lapindo dan BP Migas tanggal 12 Juni 2006, dan lain-lain surat; (2) alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran dan korban yang saat itu berada di sekitar serta mengetahui adanya kegiatan pemboran; dan (3) alat bukti keterangan ahli yang menjelaskan alat bukti surat-surat tersebut.
Berbagai alat bukti tersebut telah memenuhi standard degree of evidence, baik menurut hukum acara pidana, perdata dan administrasi negara.


Apakah harus menunggu putusan pengadilan?

Menurut BPK, Ditjen Migas telah melakukan investigasi kasus semburan lumpur Lapindo itu pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2006. Tetapi Ditjen Migas belum mengemukakan apakah peristiwa tersebut berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan kerja. Padahal salah satu kewenangan Ditjen Migas menurut Keputusan Menteri ESDM No.1088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 adalah melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dalam rangka penentuan apakah berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan operasional. Itu berkaitan dengan hukum administrasi negara permigasan. Jadi, Ditjen Migas selaku pejabat administrasi negara sebenarnya berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan Lapindo, tanpa menunggu putusan pengadilan.

Keputusan Ditjen Migas untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus pertambangan migas seperti itu juga terkait dengan tindakan hukum selanjutnya, entah itu dalam bidang hukum pidana (dengan menyerahkan ke kepolisian) maupun pemberian sanksi administrasi kepada pelaku usaha tambang migas yang terbukti melanggar.

Dalam hukum lingkungan juga ditentukan wewenang Gubernur (yang dapat diserahkan ke Bupati) untuk melakukan paksaan pemerintahan agar penanggung jawab usaha melakukan tindakan mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran (pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997). Artinya, Gubernur (juga selaku pejabat administrasi Negara) berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Tentu saja hal itu diputuskan melalui alat-alat bukti yang cukup tersebut.

Mengapa hukum mengatur seperti itu, tidak menunggu putusan pengadilan dalam kasus seperti itu? Itulah merupakan fungsi hukum administrasi negara yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu. Apabila penanggung jawab usaha tidak menerima keputusan pemerintah maka dapat mengajukan gugatan atau mengujinya di pengadilan. Itu merupakan risiko pemerintahan yang sudah biasa. Jika ternyata putusan pengadilan nantinya misalnya memenangkan penanggung jawab usaha maka itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung negara, sehingga negara wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun dengan cara penyelesaian penggunaan hukum administrasi negara lebih dulu maka akan dapat memberikan kepastian kepada rakyat korban agar segera memperoleh penyelesaian. Dalam situasi sosial kemasyarakat yang darurat justru dibutuhkan kecepatan tindakan oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.

Dalam kasus lumpur Lapindo tampaknya hukum administrasi Negara itu dijalankan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, meski bentuknya setengah aturan dan setengah keputusan. Dikatakan setengah aturan karena bentuknya Peraturan Presiden. Dikatakan setengah keputusan sebab menunjuk konkrit dan individual serta final menunjuk Lapindo bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dengan cara “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo dalam peta wilayah terdampak 22 Maret 2007.

Kelompok korban Lapindo yang tidak sepakat dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 telah meminta agar Mahkamah Agung menguji Perpres No. 14 Tahun 2007. Kemudian MA memutuskan menolak permohonan uji materiil itu dan mengukuhkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 (putusan MA No. 24 P/HUM/2007). Artinya, dalam kasus Lumpur Lapindo sebenarnya sudah keluar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang merumuskan pertimbangan menyetujui kebijakan Presiden dalam membebankan tanggung jawab penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dalam peta terdampak 22 Maret 2007 itu.

Putusan MA tersebut tidak tegas menyatakan Lapindo bersalah, sebab memang proses uji materiil terhadap Perpres No. 14 Tahun 2007 tidak mungkin menyatakan Lapindo bersalah, karena itu bukan perkara perdata atau pidana dan Lapindo juga bukan pihak perkara dalam permohonan itu).

Namun dalam halaman 57 - 58 putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut MA merumuskan pertimbangan diantaranya: “Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui JUAL BELI dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenang-wenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagipula Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS.”

Nah, ternyata cara pandang MA dalam kasus Lapindo sama dengan cara pandang orang pada umumnya bahwa cara JUAL BELI tanah dan bangunan korban itu disebut sebagai GANTI RUGI. Jika ditarik logika hukumnya, GANTI RUGI hanya diterapkan bagi orang yang kehilangan hak yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain. Misalnya: Si B selaku developer membebaskan tanah milik si A. Berarti si B merupakan penyebab A kehilangan hak milik atas tanahnya. Secara otomatis si B wajib memberikan ganti rugi kepada si A sesuai dengan harga tanah yang mereka sepakati.

Jika logika hukum itu diurai lebih lanjut, Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah hukum administrasi negara yang telah memutuskan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus semburan lumpur Lapindo (dengan dibatasi tanggung jawabnya hanya pada masalah sosial dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Lapindo tidak pernah menolak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Berarti secara hukum itu adalah sebagai “pengakuan bersalah”. Dan pengakuan itu tidak dapat lagi dianulir dengan dikukuhkannya pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 oleh putusan Pengadilan berupa putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut.

Politik ekonomi

Jika berpedoman pada hukum permigasan, pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas menentukan adanya kewajiban adanya ketentuan kontrak kerjasama usaha hulu migas antara pemerintah dengan pengusaha yang menentukan bahwa seluruh modal dan risiko harus ditanggung pengusaha. Dengan ketentuan tersebut maka kasus semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah tidak membutuhkan perdebatan benar-salah, tinggal menerapkan. Artinya, Lapindo harus dibebani menanggung risiko usahanya di sumur Blok Brantas – khususnya di sumur BJP-1 itu – yang telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi negara.
Tetapi hukum itu disimpangi. Pemerintah memutuskan politik ekonomi dengan baju hukum administrasi negara dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membebani anggaran negara tak terbatas dengan membatasi tanggung jawab Lapindo.

Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan nasional dalam kasus lumpur Lapindo itu dengan rencana pengeluaran dana APBN sebesar Rp. 7,6 triliun. Jadi, opini yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mau keluar uang adalah opini yang dilandasi ketidaktahuan. Berdasarkan kalkulasi Greenomics, jika semburan lumpur itu tak dihentikan atau tidak berhenti maka terpaksa negara akan menganggarkan Rp. 750 triliun dalam waktu sekitar 30 tahun. Berarti, anak-anak cucu kita yang saat ini belum lahir akan menanggung biaya tersebut.

Jadi, pemerintahan SBY-JK telah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab terbesar kasus itu dibebankan kepada negara. Maka Grup Bakrie harus berterima kasih kepada pemerintahan SBY-JK dan kepada rakyat Indonesia yang menyetujui sukarela atau terpaksa atas penyelesaian hukum administrasi negara berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Semua itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlalu berani untuk ‘melawan’ Lapindo. Jadi, untuk saat ini memutuskan semburan lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia sudah tak ada gunanya dalam konteks untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus itu.

Namun, untuk memastikan perlindungan korban yang semakin memburuk kondisinya, maka pemerintah memang harus menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar perlakuan layanan kepada korban lumpur Lapindo sesuai dengan standar yang baik. Jangan kuatir! Definisi bencana menurut pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 adalah bencana alam maupun bencana akibat faktor kesalahan manusia! Jadi, bencana tidak selalu merupakan bencana alam.

Untuk kasus semburan lumpur Lapindo, dengan alat bukti berjibun itu, layak jika dinyatakan sebagai bencana karena faktor (kesalahan) manusia. Karena manusia yang melakukan kesalahan itu berada dalam hubungan kerja dengan Lapindo, maka yang bertanggung jawab adalah Lapindo (Teori Hukum Risiko Ekonomi). Apabila kekayaan Lapindo tidak mencukupi maka induk perusahannya menjadi penanggungjawabnya (Doktrin Hukum Korporasi Moderen).



Subagyo

Departemen Advokasi LHKI Surabaya