Sabtu, 06 September 2008

LUMPUR LAPINDO, HARUSKAH MENUNGGU PENGADILAN?

Pihak Lapindo dan banyak kalangan menilai bahwa Lapindo Brantas Inc (Lapindo) belum diputuskan bersalah oleh pengadilan, tapi bersedia membayar ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo (khusus untuk yang ada dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Hal itu dinilai sebagai ‘kebaikan’ atau itikad baik Lapindo.

Untuk memperoleh cara pikir yang lebih komprehensif, tulisan ini hendak mengulas setidaknya berkaitan dengan dua pertanyaan, yaitu: (1) Apakah menentukan Lapindo bersalah atau tidak harus menunggu putusan pengadilan? (2) Bagaimana prinsip pertanggungjawaban dalam usaha hulu minyak dan gas bumi (migas)? Tentu saja, karena pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan hukum, maka jawabannya juga berdasarkan hukum.

Penyebab semburan lumpur

Seperti kita ketahui, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) kepada Lapindo dinyatakan ditolak. Alasan hakim, semburan lumpur Lapindo merupakan bencana alam, bukan kesalahan Lapindo. WALHI banding atas putusan tersebut sehingga menurut hukum acara perdata putusan PN Jakarta Selatan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap alias mental.

Berbeda dengan PN Jakarta Pusat telah berpendapat bahwa semburan lumpur Lapindo disebabkan kelalaian Lapindo dalam melakukan pemboran. Tetapi gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) itu ditolak oleh majelis hakim PN Jakarta Pusat dengan alasan tidak ada pelaggaran HAM karena Lapindo dan pemerintah dinilai telah memenuhi HAM para korban. YLBHI mengajukan banding atas putusan tersebut sehingga putusan PN Jakarta Pusat juga masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap.

WALHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pencamaran dan perusakan lingkungan hidup. WALHI menggunakan kedudukan hukumnya sebagai organisasi wali lingkungan hidup (yang di dalamnya terdapat aktor lingkungan berupa manusia). Sedangkan YLBHI mengajukan gugatan kepada Lapindo dan pemerintah dalam tema pelanggaran HAM. YLBHI menggunakan kedudukannya sebagai organisasi pejuang HAM (human rights sefender). Sedangkan warga korban Lapindo sendiri hingga saat ini belum pernah menggugat Lapindo.

Proses hukum pidana kasus lumpur Lapindo ditangani Polda Jatim. Penyidik telah bekerja keras melakukan pemeriksaan perkara. Penyidik telah melimpahkan berkas kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tanggal 30 Oktober 2006 tapi berkasnya masih terus dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan petunjuk (P19) secara berulang-ulang, hingga sekarang, dengan petunjuk berubah-ubah.

Mengapa berkas kasus lumpur itu bisa bolak-balik seperti penari kuda lumping? Dengan pikiran positif kita masih bisa menduga bahwa Jaksa yang menangani kasus itu ingin berkas perkara itu benar-benar sempurna sehingga para tersangka/terdakwa kasus lumpur yang berjumlah 13 orang itu tidak akan lolos dari jerat hukum.

Namun ada pula pihak-pihak yang meragukan, jangan-jangan kalau para terdakwa bebas maka masyarakat tidak dapat meminta ganti rugi kepada Lapindo? Seandainya kemungkinan paling buruk bahwa para terdakwa kasus lumpur itu dibebaskan maka menurut pasal 1919 KUHPerdata, putusan pembebasan terdakwa itu tidak boleh dijadikan alat untuk menolak gugatan ganti rugi. Artinya, dalam satu kasus, hakim yang mengadili perkara perdatanya tidak terikat dengan putusan perkara pidananya. Apalagi secara perdata dalam kasus Lapindo ini urusan penyelesaian masalah sosialnya tidak melalui pengadilan, tapi dengan kebijakan (beleid) berupa Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 Tahun 2007).

Penegak hukum dalam kasus lumpur pernah mengatakan bahwa fakta kasus tersebut tidak dapat dilihat dengan mata. Artinya, penyidik atau siapapun tidak bisa mengetahui kejadian di dalam bumi. Menurut mereka, kasus tersebut sangat bergantung pada keterangan para ahli.

Tapi, hukum tidak selalu mensyaratkan terbuktinya fakta dari pengetahuan mata secara langsung. Ada hal-hal yang bisa dicari korelasi kausalitasnya dengan logika obyektif, meminjam istilah Prof. Moeljatno. Contohnya dalam kasus pembunuhan kepada Munir, tidak satupun saksi mata yang melihat.

Dengan berbekal pada logika obyektif tersebut, kiranya tidak sulit mencari penyebab semburan lumpur tersebut. Meskipun kejadian di dalam bumi tidak dapat dilihat, seluruh kegiatan pemboran tersebut terekam dalam dokumen-dokumen real time chart, daily drilling report, dan lain-lain. Dalam pemboran juga ada standard operating procedur (SOP) serta kaidah keteknikan yang baik. Jika SOP atau kaidah keteknikan itu dilanggar maka disitulah kesalahan bermula.

Namun penegak hukum harus cermat, sebab tampaknya sudah ada indikasi dari Lapindo untuk "menyembunyikan" alat bukti dokumen asli riwayat pemboran, seperti kesaksian Andang Bachtiar. Ahli pemboran dan geologi yang diperiksa penyidik Polda Jawa Timur itu dalam milis IAGI.net (18/7/2008) mengungkapkan kesaksian sebagai berikut: "Yang diserahkan ke pihak berwajib itu, setahu saya adalah: REPRINT dari REAL-TIME CHART berdasarkan digital asci file yang direprint dg skala berbeda (lebih rapat) dari aslinya, kemudian difoto-copy dan diberikan coretan komentar (tambahan) yang kesemuanya dilakukan 9 bulan setelah kejadian (Jan-Peb 2007), sedangkan REAL-TIME CHART asli print-out dari lapangan yang biasanya diberi catatan2 tambahan oleh Mudlogger maupun Pressure Engineer pada saat kejadian, setahu saya tidak dimiliki oleh pihak yang berwajib. Kabarnya LBI-pun tidak memiliki lagi barang tersebut, karena menurut yang saya dengar: demi kepentingan hukum pihak yang bersengketa, barang tersebut dikuasai oleh pengacara. Setahu saya, geolograph chart IADC yang bulet2 itupun tidak dimiliki oleh pihak berwajib."

Bagaimana dengan pendapat bahwa semburan lumpur Lapindo akibat gempa Jogja? Ini sangat sulit membuktikannya, melainkan hanya dengan asumsi-asumsi geologis (tidak mungkin dibuktikan secara teknis). Sedangkan asumsi atau hipotesis bukanlah alat bukti hukum.

Banyak ahli berpendapat bahwa gempa Jogja bukan penyebab semburan lumpur. Semburan lumpur itu dipicu oleh aktivitas eksplorasi (man-made), bukan karena gempa Jogja (Richard J. Davies, GSA Today, Februari 2007). Amien Widodo, Kepala Pusat Studi Bencana ITS, Richard J Davies, Andang Bachtiar, Rudi Rubiandini, Masrufin, termasuk para ahli yang tidak sepakat bahwa gempa Jogja merupakan pemicu semburan lumpur Lapindo di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong.

Hasil pencatatan Badan Metereologi dan Geofisika yang dipaparkan Tiar Prasetya menunjukkan gelombang primer gempa Jogja tidak merambat homogen ke segala arah, tetapi terpolarisasi (terkutubkan) sekan-akan membentuk pola bunga melati. Jalur kerusakan ke arah Timur melintasi Pacitan, jika sumbu polarisasi ke arah Timur diteruskan maka posisinya jauh dari Porong (Masrufin, 15/7/2006).

Secara lebih moderat - dengan tidak mau memutlakkan gempa Jogja sebagai bukan sebab - Prof. Perry Burhan, guru besar Geokimia Organik ITS, mengatakan bahwa akibat gesekan gempa Jogja bisa jadi penyebab semburan lumpur. Tetapi seandainya Lapindo memasang casing dalam melakukan pemboran maka semburan itu tak akan terjadi sebab di situ terdapat lapisan diapir yang sudah diketahui Lapindo (Antara.co.id, 11/9/2007).

Tetapi hukum tentu tidak cukup hanya dengan pendapat-pendapat para ahli tersebut. Fakta hukum membutuhkan alat bukti. Alat bukti itu diperoleh dari hasil-hasil penyelidikan data-data dalam mencari penyebab semburan lumpur itu. Fakta-fakta itu diantaranya bahwa dalam proses pemboran di sumur BJP-1 telah terjadi masalah, diantaranya: terjepitnya bor, dipotongnya pipa bor, digunakannya blow out preventer (BOP) untuk menutup tekanan gas dari bawah, dan lain-lain merupakan fakta-fakta yang dapat dibuktikan. Problem pemboran tersebut juga tertuang dalam dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan lumpur yang dibuat BP Migas dan Lapindo Brantas tertanggal 12 Juni 2006.

Sedangkan fakta tidak dipasangnya casing di kedalaman tertentu dapat dilihat dari alat bukti surat Medco kepada Lapindo, No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, yang menyatakan bahwa dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006 Medco telah memperingatkan agar dilakukan pemasangan casing 9-5/8” di kedalaman 8.500 kaki untuk antisipasi potensi masalah sebelum penetrasi ke formasi Kujung, sebagai program yang telah disetujui. Tetapi operator pemboran Lapindo tidak melaksanakannya.

Alat bukti lainnya adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporannya tertanggal 29 Mei 2007, menyatakan bahwa semburan lumpur Lapindo itu akibat kesalahan teknis dalam pemboran, termasuk disebabkan peralatan serta tenaga pemboran yang tidak memenuhi syarat teknis yang baik.

Beberapa temuan BPK soal teknis tersebut di antaranya (tidak semua disebutkan dalam tulisan ini):

(1) Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran, meski menurut Lapindo mereka sudah memegang sertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu);

(2) Peralatan pemboran yang digunakan oleh kontraktor Lapindo (PT. MCN) dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari.

(3) Pihak Lapindo (dengan kontraktor PT MCN) sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

(4) Ada indikasi operator terlambat menutup sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

(5) Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun Lapindo sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

(6) Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

Berdasarkan uraian tersebut, secara hukum Lapindo dapat dinyatakan bersalah dalam melakukan pemboran yang mengakibatkan semburan kumpur itu, sekurang-kurangnya dengan alat-alat bukti: (1) alat bukti surat berupa dokumen real time chart, daily drilling report, SOP, dokumen audit BPK, surat Medco kepada Lapindo No. MGT-088/JKT/06, tertanggal 5 Juni 2006, dokumen kronologi dan perencanaan penanganan semburan yang dibuat Lapindo dan BP Migas tanggal 12 Juni 2006, dan lain-lain surat; (2) alat bukti keterangan para saksi pelaksana pemboran dan korban yang saat itu berada di sekitar serta mengetahui adanya kegiatan pemboran; dan (3) alat bukti keterangan ahli yang menjelaskan alat bukti surat-surat tersebut.
Berbagai alat bukti tersebut telah memenuhi standard degree of evidence, baik menurut hukum acara pidana, perdata dan administrasi negara.


Apakah harus menunggu putusan pengadilan?

Menurut BPK, Ditjen Migas telah melakukan investigasi kasus semburan lumpur Lapindo itu pada tanggal 30 Mei s.d. 2 Juni 2006. Tetapi Ditjen Migas belum mengemukakan apakah peristiwa tersebut berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan kerja. Padahal salah satu kewenangan Ditjen Migas menurut Keputusan Menteri ESDM No.1088K/20/MEM/2003 tanggal 17 September 2003 adalah melakukan investigasi kecelakaan kegiatan eksplorasi dalam rangka penentuan apakah berhubungan dengan masalah pidana atau kecelakaan operasional. Itu berkaitan dengan hukum administrasi negara permigasan. Jadi, Ditjen Migas selaku pejabat administrasi negara sebenarnya berwenang memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran yang dilakukan Lapindo, tanpa menunggu putusan pengadilan.

Keputusan Ditjen Migas untuk menentukan ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus pertambangan migas seperti itu juga terkait dengan tindakan hukum selanjutnya, entah itu dalam bidang hukum pidana (dengan menyerahkan ke kepolisian) maupun pemberian sanksi administrasi kepada pelaku usaha tambang migas yang terbukti melanggar.

Dalam hukum lingkungan juga ditentukan wewenang Gubernur (yang dapat diserahkan ke Bupati) untuk melakukan paksaan pemerintahan agar penanggung jawab usaha melakukan tindakan mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran (pasal 25 UU No. 23 Tahun 1997). Artinya, Gubernur (juga selaku pejabat administrasi Negara) berwenang menilai ada atau tidaknya pelanggaran dalam kasus lingkungan hidup, tanpa menunggu putusan pengadilan. Tentu saja hal itu diputuskan melalui alat-alat bukti yang cukup tersebut.

Mengapa hukum mengatur seperti itu, tidak menunggu putusan pengadilan dalam kasus seperti itu? Itulah merupakan fungsi hukum administrasi negara yang diperlukan untuk mengatasi persoalan yang membutuhkan kecepatan waktu. Apabila penanggung jawab usaha tidak menerima keputusan pemerintah maka dapat mengajukan gugatan atau mengujinya di pengadilan. Itu merupakan risiko pemerintahan yang sudah biasa. Jika ternyata putusan pengadilan nantinya misalnya memenangkan penanggung jawab usaha maka itu merupakan konsekuensi yang harus ditanggung negara, sehingga negara wajib mematuhi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Namun dengan cara penyelesaian penggunaan hukum administrasi negara lebih dulu maka akan dapat memberikan kepastian kepada rakyat korban agar segera memperoleh penyelesaian. Dalam situasi sosial kemasyarakat yang darurat justru dibutuhkan kecepatan tindakan oleh pejabat administrasi negara yang berwenang.

Dalam kasus lumpur Lapindo tampaknya hukum administrasi Negara itu dijalankan oleh Presiden dengan mengeluarkan Perpres No. 14 Tahun 2007, meski bentuknya setengah aturan dan setengah keputusan. Dikatakan setengah aturan karena bentuknya Peraturan Presiden. Dikatakan setengah keputusan sebab menunjuk konkrit dan individual serta final menunjuk Lapindo bertanggung jawab mengeluarkan uang untuk penyelesaian sosial dengan cara “jual-beli” tanah dan rumah korban Lapindo dalam peta wilayah terdampak 22 Maret 2007.

Kelompok korban Lapindo yang tidak sepakat dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 telah meminta agar Mahkamah Agung menguji Perpres No. 14 Tahun 2007. Kemudian MA memutuskan menolak permohonan uji materiil itu dan mengukuhkan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 (putusan MA No. 24 P/HUM/2007). Artinya, dalam kasus Lumpur Lapindo sebenarnya sudah keluar putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang merumuskan pertimbangan menyetujui kebijakan Presiden dalam membebankan tanggung jawab penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dalam peta terdampak 22 Maret 2007 itu.

Putusan MA tersebut tidak tegas menyatakan Lapindo bersalah, sebab memang proses uji materiil terhadap Perpres No. 14 Tahun 2007 tidak mungkin menyatakan Lapindo bersalah, karena itu bukan perkara perdata atau pidana dan Lapindo juga bukan pihak perkara dalam permohonan itu).

Namun dalam halaman 57 - 58 putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut MA merumuskan pertimbangan diantaranya: “Bahwa oleh karena itu Pasal 15 Peraturan Presiden RI. No. 14 Tahun 2007 tersebut memberikan hak dan jaminan bagi pemilik tanah dan bangunan terdampak luapan Lumpur Sidoarjo untuk mendapatkan ganti rugi nilainya melalui JUAL BELI dengan harga yang didasarkan atas persetujuan atau kesepakatan para korban pemilik tanah dan bangunan. Dengan demikian tidak ternyata ketentuan Pasal 15 Peraturan Presiden tersebut mengandung atau menampakkan ada penyalahgunaan wewenang ataupun adanya kesewenang-wenangan dari Presiden RI., satu dan lain hal karena muatan kebijakannya sudah memperhatikan baik kepentingan PT. Lapindo Brantas disatu pihak maupun kepentingan masyarakat terdampak luapan Lumpur Sidoarjo dilain pihak secara wajar dan proporsional; lagipula Pasal 15 PERPRES No. 14 Tahun 2007 tidak mengandung hal-hal yang memaksa, karena pelaksanaannya sepenuhnya atas dasar kata sepakat antara anggota-anggota masyarakat yang bersangkutan dengan PT. LAPINDO BRANTAS.”

Nah, ternyata cara pandang MA dalam kasus Lapindo sama dengan cara pandang orang pada umumnya bahwa cara JUAL BELI tanah dan bangunan korban itu disebut sebagai GANTI RUGI. Jika ditarik logika hukumnya, GANTI RUGI hanya diterapkan bagi orang yang kehilangan hak yang disebabkan oleh perbuatan pihak lain. Misalnya: Si B selaku developer membebaskan tanah milik si A. Berarti si B merupakan penyebab A kehilangan hak milik atas tanahnya. Secara otomatis si B wajib memberikan ganti rugi kepada si A sesuai dengan harga tanah yang mereka sepakati.

Jika logika hukum itu diurai lebih lanjut, Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah hukum administrasi negara yang telah memutuskan Lapindo sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kasus semburan lumpur Lapindo (dengan dibatasi tanggung jawabnya hanya pada masalah sosial dalam peta terdampak 22 Maret 2007). Lapindo tidak pernah menolak ketentuan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 Tahun 2007. Berarti secara hukum itu adalah sebagai “pengakuan bersalah”. Dan pengakuan itu tidak dapat lagi dianulir dengan dikukuhkannya pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 oleh putusan Pengadilan berupa putusan MA No. 24 P/HUM/2007 tersebut.

Politik ekonomi

Jika berpedoman pada hukum permigasan, pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas menentukan adanya kewajiban adanya ketentuan kontrak kerjasama usaha hulu migas antara pemerintah dengan pengusaha yang menentukan bahwa seluruh modal dan risiko harus ditanggung pengusaha. Dengan ketentuan tersebut maka kasus semburan lumpur Lapindo sebenarnya sudah tidak membutuhkan perdebatan benar-salah, tinggal menerapkan. Artinya, Lapindo harus dibebani menanggung risiko usahanya di sumur Blok Brantas – khususnya di sumur BJP-1 itu – yang telah menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi negara.
Tetapi hukum itu disimpangi. Pemerintah memutuskan politik ekonomi dengan baju hukum administrasi negara dengan pasal 15 Perpres No. 14 Tahun 2007 yang membebani anggaran negara tak terbatas dengan membatasi tanggung jawab Lapindo.

Pemerintah pusat telah merumuskan kebijakan nasional dalam kasus lumpur Lapindo itu dengan rencana pengeluaran dana APBN sebesar Rp. 7,6 triliun. Jadi, opini yang menyatakan bahwa pemerintah tidak mau keluar uang adalah opini yang dilandasi ketidaktahuan. Berdasarkan kalkulasi Greenomics, jika semburan lumpur itu tak dihentikan atau tidak berhenti maka terpaksa negara akan menganggarkan Rp. 750 triliun dalam waktu sekitar 30 tahun. Berarti, anak-anak cucu kita yang saat ini belum lahir akan menanggung biaya tersebut.

Jadi, pemerintahan SBY-JK telah memutuskan untuk mengambil tanggung jawab terbesar kasus itu dibebankan kepada negara. Maka Grup Bakrie harus berterima kasih kepada pemerintahan SBY-JK dan kepada rakyat Indonesia yang menyetujui sukarela atau terpaksa atas penyelesaian hukum administrasi negara berdasarkan Perpres No. 14 Tahun 2007.

Semua itu semakin menunjukkan bahwa pemerintah pusat tidak terlalu berani untuk ‘melawan’ Lapindo. Jadi, untuk saat ini memutuskan semburan lumpur Lapindo itu sebagai bencana alam ataupun bencana akibat ulah manusia sudah tak ada gunanya dalam konteks untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab dalam kasus itu.

Namun, untuk memastikan perlindungan korban yang semakin memburuk kondisinya, maka pemerintah memang harus menerapkan UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana agar perlakuan layanan kepada korban lumpur Lapindo sesuai dengan standar yang baik. Jangan kuatir! Definisi bencana menurut pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2007 adalah bencana alam maupun bencana akibat faktor kesalahan manusia! Jadi, bencana tidak selalu merupakan bencana alam.

Untuk kasus semburan lumpur Lapindo, dengan alat bukti berjibun itu, layak jika dinyatakan sebagai bencana karena faktor (kesalahan) manusia. Karena manusia yang melakukan kesalahan itu berada dalam hubungan kerja dengan Lapindo, maka yang bertanggung jawab adalah Lapindo (Teori Hukum Risiko Ekonomi). Apabila kekayaan Lapindo tidak mencukupi maka induk perusahannya menjadi penanggungjawabnya (Doktrin Hukum Korporasi Moderen).



Subagyo

Departemen Advokasi LHKI Surabaya

Kamis, 21 Agustus 2008

Mahkamah Pemupus Harapan Seorang Buruh

Seorang guru SMA bekerja di Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia (YPPI) Surabaya telah diperlakukan tidak adil, bukan saja oleh YPPI selaku majikannya yang dipimpin oleh Kresnayana Yahya, pakar statistik itu, tapi juga oleh lembaga pengadilan yang menjalankan proses peradilan yang tidak tunduk pada hukum itu sendiri.

Mantan guru SMA YPPI itu adalah Mudjimantara, beralamat di Jl. Panjang Jiwo VI / 15 Surabaya, dipekerjakan sebagai guru Ekonomi akuntansi SMA YPPI-II Surabaya sejak 1 Juli 1988, atau bekerja selama 17 tahun terhitung sampai dengan 2005 .

Pada tanggal 24 Juni 2005, Kepala SMA YPPI-II Surabaya, waktu itu adalah Sdri Dra. V. Murtiani, memberikan surat nomor 244/P.16/SMA.YPPI-II/VI/2005 kepada Sdr. Mudjimantara yang isinya menyatakan pemberitahuan bahwa SMA YPPI-II Surabaya tidak melanjutkan kerjasamanya dengan Sdr. Mudjimantara.

Masalah tersebut menjadi sengketa antara Sdr. Mudjimantara dengan YPPI sebab ternyata YPPI hanya menawarkan uang pisah sebesar Rp. 11 juta, tetapi Sdr. Mudjimantara meminta agar YPPI membayar uang pesangon Rp. 25 juta.

Masalah itu selanjutnya dibawa ke Dinas Tenaga Kerja Pemkot Surabaya (Disnaker) oleh Sdr. Mudjimantara, dan karena belum dilakukan perundingan bipartit maka di Disnaker itu dilakukan perundingan bipartit. Ternyata YPPI bermaksud untuk mem-PHK Sdr. Mudjimantara, sebagaimana tertuang dalam Berita Acara Bipartit tanggal 30 Agustus 2005.

Kasus itu “macet” di Disnaker. ,Akhirnya dikeluarkan Surat Anjuran Pegawai Perantara Disnaker No. 32/PHK/II/2006 yang isinya menganjurkan agar YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain menurut peraturan-perundang-undangan. Tetapi YPPI tidak menyetujui anjuran tersebut.

Sdr. Mudjimantara mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Surabaya dengan register perkara: No. 12/G/2006/PHI-Sby . Tanggal 25 Juli 2006, PHI memutuskan mengabulkan gugatan Mudjimantara dan memerintahkan YPPI membayar uang pesangon dan lain-lain sebesar Rp. 41.996.800,- (empatpuluh satu juta sembilanratus sembilanpuluh enamribu delapanratus rupiah).

YPPI tidak setuju dengan putusan PHI Surabaya tersebut sehingga mengajukan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Menurut hitungan berdasarkan batas waktu yang diberikan pasal 110 huruf a UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, waktu mengajukan kasasi tersebut sudah melewati 14 hari kerja atau daluarsa.

Tetapi anehnya dalam pemberitahuan pernyataan kasasi dituliskan tanggal permohonan kasasi YPPI adalah 9 Agustus 2006. Di tingkat peradilan pertama itu tampak bahwa Mudjimantara meski memenangkan perkara tapi dipermainkan oleh proses kepaniteraan PHI itu.

Pengadilan Hubungan Industrial di Surabaya (PHI Surabaya) lalu mengirimkan berkas perkara kasasi ke Mahkamah Agung RI tanggal 12 Desember 2006.

Selanjutnya Mahkamah Agung RI a.n. Panitera Mahkamah Agung RI c.q. Panitera Muda Perdata Khusus telah memberitahukan register berkas kasasi kepada Ketua PHI pada Pengadilan Negeri Surabaya dengan suratnya Nomor: 43/Datsus/U/X/2007, tanggal 5 Oktober 2007.

Sayangnya hingga hari ini Mahkamah Agung belum juga memutuskan perkara tersebut. Padahal menurut pasal 115 UU No. 2 Tahun 20004 putusan kasasi diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak tanggal diterimanya permohonan kasasi.

YPPI mengajukan permohonan kasasi tanggal 12 Agustus 2006. Hari ini sudah Agustus 2008 alias 2 (dua) tahun. Jika terlambat satu atau dua bulan masih wajar meski tetap melanggar hukum. Tapi melambatkan perkara orang kecil hingga dua tahun dari ketentuan undang-undang merupakan hal yang sama sekali tidak wajar. Mahkamah Agung telah memupus harapan seorang buruh, rakyat kecil bernama Mudjimantara. Setelah 17 tahun bekerja sebagai guru, lalu dibuang setelah tak dibutuhkan, kini nasibnya digantung oleh Mahkamah yang semakin diragukan keagungannya. Jika ternyata hanya seperti itu kemampuan Mahkamah Agung, menurut pengalaman hal itu lebih buruk jika dibandingkan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).

Lalu ke mana orang kecil seperti Mudjimantara yang kehilangan pekerjaan itu harus mencari keadilan jika negara tak lagi kuasa menanggung hak-haknya yang dirampas? Masih adalah Republik Indonesia sebagai negara?

Jumat, 08 Agustus 2008

Pekerja Gugat Manajemen PT. Phillips Indonesia Jawa Timur

Di bawah ini kutipan analisis gugatan 10 pekerja PT. Phillips Indonesia yang didaftarkan tanggal 08 Agustus 2008, mendapatkan register perkara No. 154/G/2008/PHI-Sby.

Gugatan ini melebar ke arah tuntutan ganti kerugian imateriil dan memperluas tergugat bukan hanya perusahaan tapi Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo. Perluasan itu sebagai bentuk eksperimen hukum mengingat selama ini belum ada saluran hukum untuk gugatan kerugian lain di luar uang pesangon yang ditentukan Hukum Ketenagakerjaan. Jika kelak Pengadilan Hubungan Industrial menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan ganti kerugian di luar pesangon dan lain-lain yang ditentukan UU No. 13 Tahun 2003 maka putusan itu dapat menjadi dasar gugatan ganti kerugian selain pesangon di Pengadilan Negeri.

Terima kasih.

ANALISIS HUKUM POKOK PERKARA
    1. Bahwa upaya Tergugat I untuk menggantikan kedudukan kerja para Penggugat di perusahaannya dengan pekerja outsourcing tersebut merupakan perbuatan melawan hukum sebab dilakukan dengan melanggar hukum yang berlaku. Tergugat I telah berlaku curang dan tidak adil, apalagi ada kewajiban hukum bagi Tergugat I untuk tidak mempekerjakan pekerja outsourcing pada kegiatan utama perusahannya (vide Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003).

    1. Bahwa akal-akalan evaluasi kerja yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat akan tampak ‘kepalsuannya’ jika dilihat dari faktor-faktor:

      1. Para Penggugat terbukti bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun dengan peningkatan prestasi kerja sehingga tidak masuk akal jika dikatakan tidak cakap bekerja;

      1. Dalam perundingan-perundingan antara pengurus SPSI PUK perusahaan Tergugat I dengan Tergugat I tampak adanya pembicaraan penggantian pekerja tetap dengan pekerja outsourcing, dengan adanya tawaran ‘pensiun diri’ kepada para pekerja.

      1. Terdapat alat bukti kecurangan atau kesalahan dalam melakukan penilaian evaluasi sehingga itu bisa menjadi petunjuk adanya manipulasi tersebut.

    1. Bahwa selain itu Tergugat I telah melanggar pasal 40 Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang menentukan bahwa Surat Peringatan Terakhir (SP III) haruslah melalui tahap-tahap SP I dan SP II.

    1. Bahwa Tergugat I juga melanggar pasal 126 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 yang menentukan bahwa Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.

    1. Bahwa Tergugat I melanggar pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 juga menentukan tahap-tahap surat peringatan pertama, kedua dan ketiga.

    1. Bahwa dengan demikian SP III yang dikeluarkan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut adalah tidak sah sebab bertentangan dengan PKB dan UU No. 13 Tahun 2003.

    1. Bahwa Tergugat I dan II telah keliru menggunakan dasar hukum, yaitu pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000 yang bertentangan dengan pasal 161 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori derogat lex inferiori, di mana kedudukan UU No. 13 Tahun 2003 lebih tinggi dibandingkan Kepmenaker No. Kep.150/Men/2000.

    1. Bahwa hukum harus menyarakan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sudah tidak berlaku lagi sebab peraturan tersebut sudah tak mungkin lagi dapat digunakan mengingat lembaga-lembaga penyelesaian hubungan industrial Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan P4P yang diatur di dalamnya sudah tak ada, diganti dengan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

    1. Bahwa pasal 125 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2004 menentukan bahwa peraturan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1957 masih dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan UU No. 22 Tahun 2004. Sedangkan Kepmennaker No. Kep.150/Men/2000 sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1957 bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2004 sebab mengandung hukum acara perselisihan hubungan industrial yang berbeda dengan UU No. 2 Tahun 2004.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I dan II yang memaksakan penggunaan dasar pasal 7 ayat (1) Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 tersebut merupakan misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaannya yang lebih dominan).

    1. Bahwa untuk menentukan performance para Penggugat dalam bekerja tidak mudah dilakukan secara invidual mengingat unit kerja masing-masing para Penggugat dijalankan oleh masing-masing Tim atau kelompok pekerja. Seandainya suatu saat ada kegagalan kerja sebuah tim kerja yang ditempati masing-masing Pekerja maka tidak mudah untuk dikatakan sebagai kesalahan personal. Maka, alat bukti Pengusaha untuk membuktikan tuduhannya tidaklah cukup hanya dengan hasil ujian di atas kertas subyektivitas dengan penilaian personal.

    1. Bahwa UU No. 13 Tahun 2003 memberikan batas ukuran ketidakmampuan bekerja diformulasikan dengan ‘masa percobaan’ selama 3 (tiga) bulan bagi para pekerja tetap (pasal 60). Padahal para Penggugat sudah bekerja rata-rata lebih dari 9 (sembilan) tahun.

    1. Bahwa seandainya hasil evaluasi terhadap para Penggugat tidak curang – padahal curang – maka Tergugat I pun tidak adil dan subyektif dalam menentukan standar kelulusan evaluasi kerja sebab menetapkan standar nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Tergugat I memutuskan tidak lulus jika hasil ujian para Penggugat kurang dari angka 100. Padahal dalam standar internasional pencapaian angka 70 (dalam rentang skor 0 – 100) adalah dianggap lulus. Charles R. Thomas, Mechanical Engineering Technology Purdue University dalam Rational Standard and Ability Adjusted Standard Transformed Score Models memberikan abstrak standar model skor yang rasional sebagai berikut:

A rational approach to standard transformed scores which always results in the numerical to letter grade correspondence A (90 & above), B (80-89.99), C (70-79.99), D (60-69.99), and F (59.99 & below) for any chosen hypothetical grade distribution model is developed.”

(Sumber: http://epm.sagepub.com/cgi/content/abstract/45/4/803)

Dalam standar nasional (Indonesia), angka 60 (dalam rentang skor 0 – 100) dianggap lulus. Dengan kondisi sosial saat ini, bahkan dalam Ujian Nasional skor kelulusan anak-anak sekolah minimalnya hanya 5,5 (atau 50,50 dalam skor rentang 0 – 100). Pun dalam kondisi sosial ketenagakerjaan nasional Indonesia saat ini, penetapan skor kelulusan harus (mutlak) 100 merupakan cara yang jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara maju di Eropa dan Amerika.

Dengan demikian Tergugat I telah melanggar hak asasi manusia (HAM) terkait hak memperoleh pekerjaan dan hak mendapatkan syarat-syarat yang adil dalam ketenagakerjaan. Pasal 38 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM menentukan: “Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil.

    1. Bahwa tindakan Tergugat I yang selalu melanggar hukum tersebut terkait dengan kebiasaannya yang memang cenderung melanggar hukum, diantaranya:


        1. Tergugat I biasa menerapkan pola hubungan kerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) ketika pekerja baru mulai bekerja pada perusahaannya. Hal itu melanggar pasal 59 UU No. 13 Tahun 2003 dan Kepmenakertrans No. Kep100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan PKWT.


        1. Tergugat I biasa menggunakan tenaga kerja outsourcing pada bidang-bidang pekerjaan proses produksi sebagai bagian melekat kegiatan utama perusahaan Tergugat I yang dikerjakan di dalam perusahaannya (tidak terpisah). Hal itu melanggar ketentuan pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003.


Kedua bentuk kebiasaan pelanggaran tersebut berlangsung selama bertahun-tahun tanpa ada teguran atau tindakan administratif dari lembaga pemerintah yang berwenang. Sehingga timbullah kebiasaan berlaku sewenang-wenang.


    1. Bahwa perbuatan Tergugat II yang berkonspirasi dengan Tergugat I tersebut juga merupakan perbuatan melawan hukum yang merugikan para Penggugat.


    1. Bahwa karena SP III Tergugat I kepada para Penggugat secara langsung tanpa melalui SP I dan SP II yang dilandasi oleh perbuatan curang atau tidak adil serta melanggar PKB dan melanggar UU No. 13 Tahun 2003 maka harus dinyatakan tidak sah atau batal demi hukum.

    1. Bahwa perbuatan Tergugat I yang memPHK para Penggugat tanpa ijin tersebut juga melanggar hukum dan merugikan para Penggugat maka harus dinyatakan batal demi hukum.

    1. Bahwa kerugian para Penggugat akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I dan II adalah bentuk kerugian imateriil, yaitu:


      • Kerugian moril dalam keluarga dan tetangga dari perasaan menderita akibat menyimpan rasa malu. Para Penggugat harus menyembunyikannya dengan tetap ‘pura-pura’ berangkat bekerja.


      • Kerugian sosial di lingkungan kerja yang lebih luas di perusahaan Tergugat I sebab tidak semua pekerja di sana mengetahui sebab-sebab perkara ini sehingga para Penggugat seolah-olah adalah orang-orang yang bersalah dan tidak berkualitas.


Kerugian imateriil tersebut jumlahnya tak terhingga tetapi cukup masuk akal dan adil jika dinilai masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) untuk masing-masing Penggugat.


    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I dan II secara tanggung-renteng harus dihukum membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara tunai, seketika dan sekaligus, bagi tanggungan Tergugat I dengan jaminan harta kekayaannya.

    1. Bahwa agar gugatan ini tidak sia-sia apabila dikhawatirkan Tergugat I tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini maka mohon agar pengadilan ini meletakkan sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I berupa barang-barang bergerak, dan jika tak ditemukan atau tak mencukupi atau tak memungkinkan secara hukum maka sita jaminan mohon diletakkan pada tanah dan bangunan hak Tergugat I yang terletak di Jl. Berbek Industri I Kav. 5 -19 Sidoarjo dan di tempat lain yang ditemukan, serta agar dinyatakn sah dan berharga sita jaminan tersebut.

    1. Bahwa jika Tergugat II tidak tunduk pada putusan perkara ini untuk membayar ganti kerugian bagian tanggungannya maka dapat melalui mekanisme hukum pemerintahan yang ada.

    1. Bahwa dengan demikian Tergugat I harus dihukum untuk memperbaiki hubungan industrial dengan para Penggugat dan mengembalikan masing-masing para Penggugat untuk bekerja pada jabatan masing-masing, serta diperlakukan adil dan sama dengan pekerja lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta standar umum ketenagakerjaan nasional Indonesia.

    1. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat I kepada para Penggugat tersebut berkaitan dengan penggunaan pekerja outsourcing maupun pekerja yang diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu di perusahaan Tergugat I, sehingga untuk mencegah akibat buruk lanjutannya maka mohon agar pengadilan ini menghukum Tergugat I menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa untuk menghindari problem ketenagakerjaan yang lebih luas yang juga berakibat buruk bagi diri para Penggugat maka mohon agar pengadilan ini memerintahkan Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tak tertentu (pekerja tetap) terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

    1. Bahwa berkaitan dengan pelanggaran hukum Tergugat I yang mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT maka mohon pula pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat II untuk melarang Tergugat I menggunakan pekerja outsourcing dan PKWT memberikan hukuman administratif kepada Tergugat I.

    1. Bahwa berkenaan dengan gugatan agar Tergugat I dan II melakukan perbuatan-perbuatan yang telah dijelaskan di depan kecuali gugatan pembayaran uang maka apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini yang telah telah bersifat dapat dilaksanakan maka mohon agar Tergugat I dan II dihukum membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini sampai dengan Tergugat I dan II tunduk melaksanakannya.

    1. Bahwa apabila Tergugat I dan II dikalahkan dalam perkara ini mohon untuk dihukum membayar biaya perkara ini.

    1. Bahwa oleh karena Tergugat I menggunakan dasar Kepmenaker No. Kep-150/Men/2000 maka dikhawatirkan akan melanggar ketentuan pasal 155 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 maka mohon dalam putusan sela pengadilan ini memerintahkan kepada Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


  1. PETITUM GUGATAN

Berdasarkan uraian tersebut para Penggugat memohon agar pengadilan ini memutuskan:

DALAM PUTUSAN SELA:

Memerintahkan Tergugat I agar tetap membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima oleh para Penggugat.


DALAM POKOK PERKARA:

  1. Menerima dan mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;

  1. Menyatakan bahwa Surat Peringatan III yang dikeluarkan untuk para Penggugat dalam perkara ini batal demi hukum;

  1. Menyatakan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan Tergugat I dan disarankan Tergugat II kepada para Penggugat batal demi hukum;

  1. Menyatakan Tergugat I dan II telah melakukan perbuatan melawan hukum sehingga merugikan para Penggugat;

  1. Menghukum Tergugat I dan II secara tanggung-renteng membayar ganti kerugian imateriil kepada para Penggugat untuk masing-masing para Penggugat sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) secara seketika, tunai dan sekaligus;

  1. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan terhadap kekayaan Tergugat I tersebut;

  1. Menghukum Tergugat I untuk memperbaiki hubungan industrialnya dengan para Penggugat dan mengembalikan kedudukan atau jabatan kerjanya seperti sediakala sebelum diberikan skorsing dan memperlakukan para Penggugat dengan syarat-syarat dan standar pengelolaan ketenagakerjaan nasional yang adil terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk menghentikan perekrutan pekerja outsourcing dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini.

  1. Menghukum Tergugat I untuk mengangkat para pekerja outsourcing dan PKWT menjadi pekerja tetap terhitung sejak gugatan perkara ini didaftarkan di kepaniteraan pengadilan ini;

  1. Menghukum Tergugat II untuk segera melarang Tergugat I mempekerjakan pekerja outsourcing dan PKWT serta memberikan sanksi adminsitratif kepada Tergugat I.

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa sebesar Rp. 5.000.000,- (limajuta rupiah) per hari terhitung sejak gugatan ini didaftarkan di pengadilan ini apabila Tergugat I dan II tidak tunduk melaksanakan putusan perkara ini;

  1. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar biaya perkara ini.


Subsider: Mohon diputuskan seadil-adilnya.

Kamis, 31 Juli 2008

KEJAHATAN KEMANUSIAAN GAYA BARU

Perkembangan gaya pikir manusia membuahkan cara baru kejahatan kemanusiaan dalam bekerja. Modus ‘serangan’ terhadap hak asasi manusia (HAM) tidak lagi didominasi oleh militer. Senjata fisik bukan lagi cara dominan. Kekuasaan sipil bisa lebih militeristik dibandingkan militer sendiri. Pun sistematisasi serangan terhadap HAM bisa dengan alat hukum tertulis yang dioperasikan oleh kekuasaan yang bersekongkol, terdiri atas empat unsur oligarki, yaitu: pemilik kapital, penguasa politik (pemerintah pusat atau daerah), kekuasaan ilmiah (ahli), dan kekuasaan keamanan dan atau pertahanan (militer atau polisi).

Oligarki tersebut juga menciptakan organisasi yang berlabel lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau non-government organization (NGO) sebagai alat untuk menghadapi LSM atau NGO oposisi oligarki. Selain itu, mereka juga memasuki kawasan kekuasaan sosial informal yang seperti yang dimiliki lembaga atau para pemuka agama. Oligarki itu juga didukung oleh para advokat handal. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika oligarki itu merasuki pori-pori spirit penegakan hukum, membuat lembaga penegak hukum juga tunduk kepada mereka.


Modus baru


Andaikan gejala yang turut-temurut dalam kasus lumpur Lapindo dapat disimpulkan (dengan alat-alat bukti) sebagai ‘serangan sistematis’ untuk ‘memindahkan penduduk’ (selaku korban), yaitu dengan cara: tidak memasang selubung pelindung (casing) di kedalaman tertentu dalam pemboran sehingga terjadi semburan lumpur; memindahkan rig pemboran saat semburan lumpur untuk memperkecil kemudahan penanganan awal; pura-pura menanggulangi semburan lumpur dengan beberapa teknik yang tidak tuntas; menanggul kolam lumpur dengan cara berbeda, untuk sisi tertentu tanggul diperkuat, untuk sisi lain tidak diperkuat supaya ambrol sehingga penduduk akan menyingkir; memakai kekuasaan pemerintah untuk menelurkan Perpres No. 14/2007 agar penduduk ‘terpaksa’ menjual tanah mereka; mendesain akta jual-beli tanah dengan korban dengan klausul subyektif agar korban tidak menuntut; dan seterusnya.

Tidak seluruh perbuatan di atas harus merupakan unsur-unsur yang harus dirangkaikan. Misalnya, perbuatan sengaja memperlemah tanggul lumpur Lapindo di sisi tertentu sehingga akhirnya tanggul ambrol sehingga penduduk terusir, adalah merupakan ‘serangan sistematis’ yang bersifat ‘luas’. Tetapi akal sehat korban tidak terlalu berpedoman pada ‘cara’ pelaku menyingkirkan atau memindahkan mereka, namun yang substansial adalah akibatnya yang luas, menghancurkan nasib hidup mereka. Normal jika itu disebut sebagai kejahatan kemanusiaan (crime againts humanity).

Merancang ‘pengusiran penduduk’ bisa dengan cara penetapan kawasan hutan yang dihuni kelompok penduduk asli atau adat di hutan menjadi hutan lindung, sehingga penduduk asli yang tidak mau pindah dipidanakan; lalu negara menerbitkan aturan untuk memberi izin korporasi untuk melakukan usaha pertambangan di hutan lindung itu. Itu juga merupakan modus baru kejahatan kemanusiaan.


Interpretasi progresif


Kejahatan kemanusiaan yang dirumuskan oleh pasal 7 huruf b jo. pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ‘menjiplak’ Rome Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Tapi sayangnya UU No. 26 Tahun 2000 memangkas pasal 7 ayat (1) huruf k Statuta Roma yang menentukan:Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Tanpa tafsir progresif untuk kembali pada asal substansi UU No. 26 Tahun 2000 (yaitu: Statuta Roma) maka hukum HAM tak akan bisa menjangkau kejahatan kemanusiaan gaya baru yang dilakukan oligarki (korporasi selaku pelaku sentralnya) dengan modus baru tersebut, sebelum legislator mengubah undang-undang itu untuk merumuskan formulasi baru tentang kejahatan kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat.

Dengan contoh kasus di atas, saya coba hubungkan dengan salah satu bentuk kejahatan kemanusiaan berdasar pasal 9 huruf d UU No. 26 Tahun 2000 yang menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa: ... d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.”

Unsur “serangan yang meluas” atau unsur “sistematik” serta unsur “terhadap penduduk sipil” (selaku korban) dalam ketentuan tersebut seharusnya tidak lagi ditafsir sempit sebagai perbuatan pelaku militer kepada korban sipil. Dalam dunia baru ini, kelompok penduduk anggota militer di suatu kawasan hunian pun bisa mungkin menjadi korban ‘pengusiran’ sistematis oleh korporasi yang membutuhkan tanah hunian mereka melalui cara bersekongkol dengan para pemegang kekuasaan pengambil keputusan atau pembuat regulasi. Pun istilah “serangan” juga tak relevan lagi ditafsir secara tunggal sebagai perbuatan fisik. “Serangan” sistematis secara paksa bisa juga melalui keputusan pemerintahan yang tanpa atau didasarkan landasan regulasi yang tidak adil.

Maka, Komisi Nasional (Komnas) HAM seharusnya menjadi pioner dalam menafsir dengan cara baru, cara progresif atas suatu kasus yang dapat dikategorikan kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM berat, yang seharusnya akan menjadi bahan bagi legislator untuk meluruskan UU No. 26 Tahun 2000.

Guna penegakan HAM yang lebih obyektif – karena pelakunya juga bisa pejabat penting pemerintah – maka kekuasaan independen Komnas HAM mestinya tidak dibatasi sekedar penyelidik, tapi diperluas hingga dalam penyidikan dan penuntutan, seperti halnya wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain soal korupsi, kejahatan pelanggaran HAM berat juga merupakan extra ordinary crimes sebagaimana diutarakan dalam Penjelasan Umum UU No. 26 Tahun 2000. Maka, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 harus diperbaharui.

Oleh Subagyo, Ketua Departemen Advokasi LHKI Surabaya

Selasa, 29 Juli 2008

Bank Rakyat Indonesia ( BRI ) Kembali Digugat Alkatra


Bank Rakyat Indonesia (BRI) kembali digugat oleh mantan karyawannya yang tergabung dalam Alkatra. Gugatan yang bernomor 412/PDT.G/2008/PN.SBY berpoin pada:

  1. Tergugat BRI telah melakukan perbuatan melawan hukum yang diatur dalam hukum perdata.
  2. Tergugat BRI telah menyalahgunakan keadaan (misbruik van omstandigheden).
  3. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 38 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil'.
  4. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran HAM pasal 3 ayat (2) UU no 39/ th 1999 ttg HAM: 'Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum'.
  5. Tergugat BRI telah melakukan pelanggaran atas UU no 13/ th 2003 ttg Ketenagakerjaan, pasal 64-66.
  6. Tergugat BRI telah melakukan perbudakan manusia atas hegemoni kapitalisme.
Selain memnggugat BRI kantor wilayah Jatim, para Penggugat juga menggugat Menteri Tenaga Kerja sebagai Tergugat II. Ini terkait persetujuan dari kebijakan atas mekanisme kerja didijalankan oleh usaha perbankan.


Kuasa Hukum
1. Subagyo (+62-81615461567)
2. Tasnim Ilmiardhi (+62-8523-0606-888)

Ratifikasi Statuta Roma Tentang Mahkamah Pidana Internasional

Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Surabaya bersama Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional mendesak pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma. Dalam Statuta Roma tersebut mengamanatkan untuk dibentuknya Mahkamah Pidana Internasional (ICC/International Criminal Court).
Ratifikasi ini dianggap sangat penting, selain sudah menjadi agenda RANHAM (Rancangan Aksi Nasional tentang Hak Asasi Manusia) tahun 2004-2009, ini juga dimaksudkan untuk melengkapi dan meningkatkan kualitas hukum nasional dalam memberikan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Selain itu juga menghapuskan berbagai praktek impunitas, mengatasi kelemahan sistem hukum nasional serta memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban.
Yang lebih patut dicermati adalah, bahwa meratifikasi Statuta Roma akan memberikan benefit berupa: Hak preferensi aktif dalam Mahkamah Pidana Internasional, Berkesempatan untuk menjadi bagian dari organ Mahkamah Pidana Internasional, Mempercepat proses reformasi hukum di Indonesia, efektivitas sistem hukum nasional, peningkatan upaya perlindungan HAM, dan pemantapan posisi diplomatik.
Memang ratifikasi ini memberikan konsekwensi terhadap hukum nasional. Diharapkan beberapa langkah penyesuaian akan dilakukan pasca ratifikasi Statuta Roma. Amandemen terhadap sejumlah undang-undang di Indonesia merupakan konsekwensi dari ratifikasi Statuta Roma, diantaranya: KUHP, KUHAP undang-undang HAM, dan undang-undang peradilan HAM.


TASNIM ILMIARDHI
085230606888

Senin, 07 Juli 2008

Pekerja PT. Phillips Menolak Sistem Outshourcing

PT. Phillips Indonesia di Berbek Industri I Kav 9 - 15 Sidoarjo kini menghadapi keberatan 10 pekerjanya yang akan di PHK.

Pada mulanya PT. Philips (Pengusaha) hendak melakukan efesiensi dengan cara mempekerjakan para pekerja outsourcing pada bidang pekerjaan rangkaian produksi - di pekerjaan pengepakan lampu, administrasi, mekanik, elektrik dan tenaga penyedia bahan produksi (supply chain) - dengan cara mengurangi para pekerja tetap. Hal itu disampaikan pihak manajemen Pengusaha pada tanggal 2 Oktober 2007 kepada Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) selaku organisasi para pekerja. Untuk itu, Pengusaha menawarkan program pensiun dini (pengunduran diri dengan kompensasi) kepada para pekerja yang bersedia, sebagaimana hal itu disampaikan oleh Pengusaha kepada kepada SPSI pada 9 Januari 2008. Dengan berbagai cara - termasuk upaya-upaya ancaman PHK - maka ada banyak pekerja yang menerima program pensiun dini tersebut. Sejak Oktober 2007 sampai dengan 6 Maret 2008 Pengusaha telah mengeksekusi 70 (tujuh puluh) orang pekerjanya yang mengundurkan diri karena hanya diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu: Pilih mengundurkan diri dengan kompensasi atau di PHK hanya menerima pesangon.

(Saat ini pada perusahaan Pengusaha di Berbek Industri I Sidoarjo terdapat sekitar 1.000 orang pekerja outsourcing).

Selanjutnya, terhadap para pekerja yang tidak bersedia menerima tawaran pensiun dini direncanakan akan ditempuh pembinaan berupa pelatihan kerja dan tes tertulis. Tetapi bersamaa dengan rencana tersebut Pengusaha memberikan Surat Peringatan Terakhir (SP III) kepada 24 (duapuluh empat) orang pekerja, termasuk diri para Pekerja yang dianggap nonperformance, menggunakan dasar pasal 7 ayat (1) huruf c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja (Kepmennaker) No. Kep.150/Men/2000.

Dalam rangka penyelesaian secara bipartit maka telah diadakan perundingan antara para Pekerja yang didampingi dan diwakili oleh organisasi tempat bernaung para Pekerja yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) qq. SPSI Perwakilan Unit Kerja (PUK) PT. Philips Indonesia, yaitu:

Perundingan I pada tanggal 17 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan;

Perundingan II pada tanggal 29 April 2008, tidak membuahkan kesepakatan.


Kemudian Pengusaha menggunakan dalih upaya pembinaan dengan melakukan ujian materi serta seolah-olah pelatihan kerja (training).

Pengusaha menetapkan standar sebagai syarat kelulusan dalam evaluasi hasil pembinaan kepada para Pekerja dengan nilai 100 (dalam rentang skor 0 – 100). Jika hasilnya kurang dari 100 maka dianggap tidak lulus.

Dari seluruh pekerja yang direncanakan di-PHK berjumlah 24 (duapuluh empat) orang hanya ada 2 (dua) orang yang diluluskan dalam evaluasi. Para Pekerja juga dinyatakan tidak lulus.

Selanjutnya diantara 24 (duapuluh empat) orang pekerja yang diminta mengundurkan diri oleh Pengusaha, hanya tinggal 10 (sepuluh) orang para Pekerja ini yang bertahan.

Bersamaan dengan surat pemberitahuan ketidaklulusan hasil program pembinaan tersebut, pada hari yang sama Pengusaha juga memberikan surat skorsing kepada para Pekerja yang menuju pada PHK pada Juni 2008. Tampaknya hal itu sudah dipersiapkan matang.

Selanjutnya para Pekerja melalui perwakilannya pada SPSI PUK PT. Philips Indonesia membawa perkara ini untuk penyelesaian tripartit ke Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Sidoarjo.

Sidang mediasi I digelar di Disnaker Sidoarjo tanggal 25 Juni 2008.

Selasa, 10 Juni 2008

Kasus Korupsi KUT yang Mandek Di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

KEPALA KEJAKSAAN TINGGI JAWA TIMUR DIMINTAI KETERANGAN KEJAKSAAN AGUNG

Benarkah Kejaksaan Tinggi Jawa Timur serius memberantas korupsi?


Pada 8 Juni 2008 Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya menerima surat tembusan dari Kejaksaan Agung c.q. Jaksa Agung Muda Pengawasan, MS Rahardjo dengan surat tertanggal 19 Mei 2008 No.: R-660/H/Hp t.2/05/2008. Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sebagai respon atas surat Ketua Komisi Ombudsman Nasional No.: 0035/KLA/0024.2008/SH-09/III/2008 tertanggal 19 Maret 2008 yang ditujukan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang ditembuskan diantaranya ke Kejaksaan Agung dan LHKI Surabaya tentang lambatnya penanganan kasus korupsi KUT tersebut.


Memang, lebih 3 (tiga) tahun lalu, tepatnya 14 Pebruari 2005, kami Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya melaporkan dugaan korupsi dana kredit usaha tani (KUT) yang dilakukan para pengurus LSM Pusat Peranserta Masyarakat (PPM) Jawa Timur. Setelah melalui penyelidikan, Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menemukan kerugian negara sekitar Rp. 30 Miliar.

Tanggal 13 April 2007 kami pernah berkirim surat ke Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dan Jaksa Agung tentang permohonan agar segera melimpahkan kasus korupsi KUT tersebut ke pengadilan, tetapi tidak ada tanggapan


Penanganan kasus tersebut lambat. Bahkan untuk bisa mengarah sampai ke tingkat penyidikan kami harus melakukan aksi demo di depan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.


Setelah sampai pada tahap penyidikan, para jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Timur meminta bantuan kepada saksi kunci dari LSM PPM Jawa Timur bernama Tri Kardiono untuk mengantarkan surat-surat panggilan ke Banyuwangi, Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Surabaya dan lain-lain. Bahkan para jaksa pernah mendatangi rumah-rumah para tersangka bersama saksi Tri Kardiono, tetapi anehnya setelah itu penanganannya berhenti.


Pada Maret 2008 kami mendatangani Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, menanyakan kelanjutan penanganan perkara tersebut, tetapi jawaban dari para jaksa yang menangani perkara itu mengecewakan. Kata mereka: Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tak mempunyai cukup tenaga menangani kasus tersebut sehingga kami disarankan melaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Timur. Tentu saja itu saran yang cukup bodoh secara hukum. Bagaimana penyelidikan kasus korupsi di Kejaksaan yang sudah sampai pada tahap penyidikan akan dihentikan dengan alasan TIDAK CUKUP TENAGA lalu meminta agar dilaporkan ke Kepolisian?


Selanjutnya kami berkirim surat kepada Komisi Ombudsman Nasional (KON) tanggal 6 Maret 2008, mengadukan berlarutnya penanganan kasus korupsi KUT tersebut. Lalu KON merespon surat kami dan berkirim surat ke Kejaksaan Tinggi Jawa Timur tersebut.


Kasus korupsi KUT ini masih menyisakan banyak penggelapan uang negara oleh para pemain LSM yang tak lain juga para pemain politik (sebab uang KUT juga digunakan membiayai kegiatan parpol dan pelaku politik di daerah-daerah). Dalam catatan keuangan LSM PPM Jawa Timur juga ditemukan aliran dana kepada para penegak hukum Polda Jawa Timur (dengan istilah: “Kampus UBHARA”) dan para hakim. Bahkan Bank Jatim sebagai salah satu bank yang ditunjuk sebagai penyalur dan penerima pengembalian KUT menerangkan kepada kami bahwa sejak tahun 2000 tak ada lagi setoran pembayaran uang KUT padahal setelah tahun 2000 masih ada ‘para siluman’ yang menarik angsuran KUT dari para petani yang rata-rata hanya menerima KUT paling besar Rp. 2 juta per orang. Sedangkan yang dimakan para koruptor penyalur dari LSM dan koperasi adalah puluhan miliar rupiah.


Di Jakarta ada korupsi BLBI ratusan triliun yang cara penyelesaiannya juga dengan cara-cara politik. Di daerah-daerah ada korupsi KUT yang membohongi para petani, yang juga digunakan untuk kegiatan politik. Lalu cara menyelesaikan kasus-kasus korupsi itu juga dengan cara korupsi, seperti contoh besarnya ada pada kasus jaksa Urip yang menerima suap miliaran rupiah dalam kasus BLBI itu.


Jika Kejaksaan hendak mengubah citra buruknya, tak ada cara lain selain REVOLUSI: membersihkan virus-virus korup dalam tubuhnya sendiri. Jika korporasi, baik perusahaan negara atau swasta, dapat melakukan rasionalisasi, memangkas sumber daya manusia yang tidak produktif dan menjadi parasit, maka lembaga negara penegakan hukum harus melakukan hal yang sama. Ganti orang-orang lama dengan orang-orang baru yang diseleksi oleh konsorsium rakyat yang peduli terhadap pembersihan negara. Ciptakan mekanisme hukumnya! Jika mau, itu soal gampang. Jika ada orang baru yang mulai macam-macam, langsung dipecat. Caranya: ikat orang-orang baru itu dengan ‘perjanjian antikorupsi.’ Jadi, pemecatan itu konsekuensi perjanjian, bukan tindakan otoriter.


Pengusutan kasus korupsi KUT hanyalah bagian dari sarana untuk membersihkan negara. Di luar itu masih berjibun kasus korupsi lainnya. Tapi yang jelas: Tak akan berhasil memberantas korupsi dengan cara korupsi.


LHKI Surabaya, 10 Juni 2008

Jumat, 06 Juni 2008

Petani Margorukun Pantang Menyerah

Surabaya, 6 Juni 2008

SIARAN KABAR

Warga Petani Margorukun Lestari Banyuwangi Pantang Menyerah


Hari ini (6/6/2008) warga petani Margorukun Lestari yang telah diusir dari tempat mereka di Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi, sedang ada di Surabaya. Rencananya besok, Sabtu 7 Juni 2008 mereka akan berangkat ke Jakarta dalam rangka mengadukan nasib mereka ke: Komnas HAM, DPR RI, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat.

Mereka masih terus berjuang dan tak ada satupun organisasi politik maupun wakil rakyat di Banyuwangi dan Jawa Timur yang memperhatikan nasib mereka. Rakyat kecil seperti mereka itu hanya dibutuhkan untuk pesta demokrasi pemilu, setelah itu diacuhkan seperti sampah, tak peduli bagaimana nasib mereka. Bahkan terakhir pada bulan Mei 2008 kemarin mereka diusir paksa dan rumah-rumah mereka di lahan sengketa disapu bersih oleh PTPN XII dan kepolisian Banyuwangi. Sebagian dari mereka mengungsi di DPRD Banyuwangi, tapi tanggal 14 Mei 2008 lalu mereka yang mengungsi di DPRD Banyuwangi diusir paksa oleh kepolisian dan Satpol PP atas permintaan DPRD Banyuwangi.

Tanpaknya tindakan sapu bersih itu terkait perkembangan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM atas kasus tersebut mulai terkuak misteri bahwa diduga tanah sengketa tersebut adalah masih berstatus tanah negara yang bukan termasuk Hak Guna Usaha (HGU). Hal itu juga diakui oleh Pemkab Banyuwangi yang memberikan keterangan kepada wakil warga Margorukun Lestari pada saat proses mediasi konflik agraria tersebut.


PTPN XII telah menganggap ‘kepalang basah’, tak mau mengakui hal tersebut, dan melakukan sapu bersih mengusir warga Margorukun Lestari dan meratakan dengan tanah seluruh bangunan tempat tinggal milik warga petani Maegorukun Lestari (Marules) tersebut.


Itulah gambaran tindakan barbar, anti hukum keadilan, di mana eksekusi tanah sengketa tanpa izin atau perintah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Itu terjadi di jaman reformasi yang katanya demokratis.

Kita tengok kilas balik bagaimana konflik agraria antara kaum tani Margorukun Lestari dengan PTPN XII itu terjadi:

- Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda.

- Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun pihak manapun.

- Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.

- Sejak tahun 2001, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007.

- Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.

- Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengusir warga petani itu.

- Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.

- Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.

- Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka.

- Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.

- Setelah itu rumah-rumah gubuk warga petani itu disapu bersih, dibakar dan kini lahan mereka dikontrol dan dikuasai sepenuhnya oleh PTPN XII.

- Selanjutnya para petani tersebut mengungsi di DPRD Banyuwangi dan setelah itu juga diusir oleh Kepolisian Resor Banyuwangi bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2008.


Demikian siaran ini.

LHKI Surabaya


Kamis, 05 Juni 2008

Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERAT

DALAM KASUS LUMPUR LAPINDO

A. ABSTRAK


Jika dilihat dari hasil investigasi tentang proses eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Sidoarjo yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo, atau banyak disingkat menjadi LBI), termasuk temuan fakta-fakta pelanggaran berbagai peraturan perundang-undangan tentang syarat-syarat perizinan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (disingkat migas), tatacara penanggulangan semburan lumpur Lapindo serta upaya-upaya masalah sosialnya, maka akibat yang menimpa masyarakat korban lumpur Lapindo sudah dapat diprediksi sebelumnya.

Dengan melihat begitu besarnya intensitas, kualitas serta meluasnya penderitaan (great suffering) masyarakat korban lumpur Lapindo yang tidak memperoleh perlindungan khusus dan responsif dari pemerintah maka dalam kasus lumpur Lapindo tersebut telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang melibatkan para pengambil keputusan korporasi di Lapindo, induk korporasinya serta para pejabat pemerintah pengambil keputusan. Maka perkara tersebut harus diajukan dalam Pengadilan HAM. Jika pemerintahan Indonesia tidak dapat menuntaskan persoalan tersebut maka perkara itu dapat diajukan dalam Forum Internasional sesuai dengan prinsip Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (disingkat UU No. 39 Tahun 1999).

B. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Persoalan HAM yang berkaitan dengan jenis-jenis pelanggaran HAM yang diuraikan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (disingkat UU No. 26 Tahun 2006) tidak dapat dilepaskan dari ketantuan Hukum Pengadilan HAM Internasional yaitu: Roma Statute of The International Criminal Court yang dideklarasikan di Roma 17 Juli 1998 (selanjutnya disebut Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi pelanggaran HAM berat oleh UU No. 26 Tahun 2000.

Tampaknya ketentuan hukum HAM tersebut belum dilaksanakan konkrit di Indonesia dengan berbagai contoh kasus yang direkomendasikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) – berdasarkan hasil investigasi yang mendalam – seperti pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (kini negara Timor Leste) yang membuahkan putusan bebas terhadap seluruh terdakwa dan kasus Trisaksi-Semanggi I dan II yang ditolak oleh Kejaksaan. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia belum serius dalam upaya menegakkan HAM di negara ini. Tetapi hal itu tidak akan menyurutkan bangsa ini untuk terus berusaha melakukan perubahan-perubahan.

Tulisan ini bermaksud membuat korelasi antara kasus semburan lumpur Lapindo yang telah menjadi tema internasional itu dengan penegakan HAM di Indonesia. Seperti diketahui umum – telah menjadi fakta yang tak perlu lagi dibuktikan sebab telah menjadi pengetahuan umum – kasus lumpur Lapindo telah mengakibatkan penderitaan yang meluas dan luar biasa (great suffering) bagi ribuan korban yang harus hidup dalam pengungsian yang jauh dari kelayakan hidup normal.

Untuk menjaga obyektivitas tulisan ini, dalam hal kronologi peristiwa dan temuan-temuan yang berkaitan dengan proses perolehan izin serta peralihan kepemilikan Blok Brantas maka penulis akan lebih banyak menggunakan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga negara yang telah secara lebih teliti dan detil melakukan investigasi dengan memeriksa seluruh dokumen penting yang ada di pemerintah maupun milik Lapindo dan induknya yaitu PT. Energy Mega Persada, Tbk. (EMP).

Dalam perspektif hukum pembuktian, hasil audit BPK tersebut merupakan alat bukti surat otentik yang memuat kebenaran formil sekaligus kebenaran materiil sebab hasil audit tersebut didasarkan pada penyelidikan dan temuan-temuan fakta materiil. Wewenang BPK melakukan audit terhadap pengelolaan Blok Brantas yang merupakan aset atau kekayaan negara didasarkan pada UU No. 15/2006 tentang BPK dalam rangka audit kinerja atau untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat (3)) sehingga hasil auditnya merupakan dokumen atau surat otentik sebagai salah satu bentuk alat bukti perkara.

Hasil audit BPK untuk kasus lumpur Lapindo tersebut tertanggal 29 Mei 2007, diantaranya menjelaskan sebagai berikut:

1. Kasus semburan lumpur itu bermula dari peristiwa eksplorasi Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) Sidoarjo, dimulai pada tanggal 8 Maret 2006. Lapindo sebagai operator Blok Brantas telah menunjuk PT. Medici Citra Nusa (MCN) sebagai pemenang tender kontrak pengeboran, berdasarkan kontrak Integrated Drilling Project Management Contract (IDPMC) No. Con-0144/DRLG/2005 tanggal 23 Desember 2005 dengan nilai kontrak sebesar US$24,054,625.33, untuk melakukan pengeboran 5 (lima) sumur di Blok Brantas termasuk Sumur BJP-1. Aktivitas pengeboran telah berlangsung selama 80 hari, pada saat terjadi semburan lumpur panas di sekitar Sumur BJP-1 pada tanggal 29 Mei 2006 (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

2. Dengan IDPMC, PT. MCN sebagai kontraktor utama bertanggungjawab terhadap semua pekerjaan yang terkait dengan eksplorasi sumur seperti cementing, mud lodging, penyediaan peralatan pemboran (rig) maupun pekerjaan terkait lainnya. PT. MCN telah menunjuk beberapa sub kontraktor pelaksana sebagai berikut :

PT. Halliburton Indonesia untuk pekerjaan cementing equipment and services dan directional drilling services.

PT. MI Indonesia untuk pekerjaan mud material and services.

PT. Baker Atlas Indonesia untuk pekerjaan wireline logging services.

PT. Elnusa untuk pekerjaan mud logging services.

PT. Tiga Musim Mas Jaya untuk pekerjaan drilling rig contracto.

PT. Asri Amanah untuk pekerjaan drilling waste managemen.

PT. MI Swaco untuk pekerjaan verti “G” dryer.

PT. Fergaco untuk pekerjaan H2S monitoring services.

3. PT. MCN bersama dengan perusahaan-perusahaan sub kontraktornya memulai pemboran pada tanggal 8 Maret 2006 dan terus berlangsung hingga tanggal 29 Mei 2006. Pada tanggal 29 Mei 2006 pukul 4.30 WIB sekitar 200 meter arah barat daya dari Sumur BJP-1 muncul erupsi (semburan) lumpur panas yang kemudian dikenal dengan Lumpur Sidoarjo. Pada saat terjadinya semburan PT. MCN (dan LBI) belum menurunkan/memindahkan rig (peralatan pemboran) (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

4. Pada awalnya, Blok Brantas, lokasi terjadinya semburan, dikelola oleh operator Huffco Brantas Inc, sebuah perusahaan milik pengusaha Texas, Terry Huffington yang didirikan berdasarkan wilayah hukum negara bagian Delaware USA, berdasarkan kontrak production sharing contract (PSC) antara Pertamina dengan Huffco Brantas Inc, yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1990. Huffco Brantas Inc sebagai operator mengalami perubahan nama menjadi Lapindo Brantas Inc pada tanggal 11 April 1996. Setelah mengalami perubahan nama, kepemilikan Lapindo Brantas Inc dijual atau dialihkan kepada PT. Ladinda Petroindo pada tanggal 17 April 1996. Sejak saat itu kepemilikan atas Lapindo Brantas Inc. mengalami beberapa kali perubahan. Lapindo Brantas Inc terakhir dimiliki oleh PT. Kalila Energy Ltd (82,42%) dan Pan Asia Enterprises (15,76%). Kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada (99,99%). Dalam operasi migas di Blok Brantas, LBI selain bertindak sebagai kontraktor dengan participating interest sebesar 50%, juga bertindak sebagai operator dengan participating partners PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd (18%) sesuai dengan Joint Operating Agreement (JOA) Blok Brantas. Participating partner, kontraktor dan pemilik operator Blok Brantas telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu:

- Pada tahun 1990, Blok Brantas dimiliki 100% oleh Huffco Brantas Inc.

- Pada tahun 1992, pemilik Blok Brantas berubah menjadi Huffco Brantas Inc, Inpex Brantas Inc dan Norcen Brantas Ltd masing-masing dengan partisipasi sebesar 20% serta Oryx Indonesia Brantas Coy dengan partisipasi 40%.

- Pada tahun 1996, Oryx Brantas Coy berubah nama menjadi Novus Indonesia Brantas Coy.

- Pada tahun 1996, kepemilikan Blok Brantas berubah menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Coy masing-masing 50%.

- Pada tahun 1997, Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Inc mengalihkan masingmasing 5% partisipasinya kepada PT. Sarimbi Menur Sari sehingga komposisinya menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Brantas Inc masing-masing 45% dan PT. Sarimbi Menur Sari 10%.

- Pada tahun 1998, pemilik Blok Brantas menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Pty Ltd masing-masing 50%.

- Pada tahun 2004, Novus Indonesia Brantas Pty Ltd menjual sebagian partisipasinya (18%) kepada Santos Brantas Pty Ltd.

- Posisi terakhir pemilik Blok Brantas adalah Lapindo Brantas Inc, PT Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd dengan participating interest masing-masing sebesar 50%, 32% dan 18%. LBI bertindak pula sebagai operator, sementara Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd sebagai participating partners.

5. Pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Inpex Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Novus Indonesia Brantas Coy, dan pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Norcen Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Lapindo Brantas Inc hanya berdasarkan persetujuan Pertamina/BP Migas, tanpa mendapat persetujuan dari Pemerintah (Departemen ESDM). BP Migas/Pertamina dan Pemerintah perlu memberikan persetujuan perubahan participating interest kepada perusahaan non afiliasi untuk menjamin kompetensi finansial, teknis dan keahlian profesional lainnya dari participating partner baru untuk melaksanakan PSC. Pengalihan participating interest di atas tidak sesuai dengan PSC section V article 5.1.2 yang antara lain mengatur bahwa pengalihan keseluruhan hak dan participating interest kepada perusahaan non afiliasi dapat dilakukan setelah disetujui terlebih dahulu oleh Pertamina dan Pemerintah. BP Migas menjelaskan bahwa pengalihan interest ini dikategorikan sebagai pengalihan sebagian participating interest yang sesuai dengan PSC hanya memerlukan persetujuan dari Pertamina/BP Migas. BPK-RI berpendapat bahwa penjelasan tersebut tidak sejalan dengan PP No. 35 tahun 1994 yang memberikan wewenang kepada Menteri ESDM untuk menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan nasional jika terjadi pengalihan participating interest kepada pihak non afiliasi. Untuk melaksanakan ketentuan ini, maka Pemerintah perlu mengawasi perubahannya.

6. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh LBI sebelum memulai pemboran Sumur BJP-1 di antaranya adalah ijin lokasi pemboran dan ijin gangguan dari Pemda Sidoarjo. Selain itu peralatan dan personil pemboran harus disertifikasi oleh Departemen ESDM. Di samping itu, dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) juga harus telah disetujui oleh Ditjen Migas. Semua persyaratan di atas telah dipenuhi, sehingga LBI dapat memulai pemboran Sumur BJP-1. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa pelanggaran ketentuan yang terkait dengan pemberian ijin lokasi oleh Pemda Sidoarjo, yaitu :

a. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh LBI yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman, yaitu Sumur Wunut-3, Wunut-4, Wunut-5, Wunut-6, Wunut-16 Wunut-20, dan Carat-1. Sementara Sumur Wunut-19 dan Carat-2 letaknya juga diperkirakan kurang 100 meter dari sarana umum dan pipa gas. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur Migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul. Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967.

b. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda No.16 tahun 2003. Peruntukan lokasi tanah dimaksud sesuai Perda tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada LBI, Perda No. 16 tahun 2003 tersebut belum direvisi. Pemda Kabupaten Sidoarjo mengakui bahwa pemberian ijin lokasi ekplorasi Sumur BJP-1 di pemukiman tersebut tidak sesuai dengan aturan dalam Inpres No. 1/1976 dan UU No. 11/1967 karena bukan sumur eksploitasi tetapi hal itu dilakukan karena tidak tersedianya aturan yang lebih teknis. Terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas.

7. Berkaitan dengan pelanggaran kaidah keteknikan yang baik BPK menjelaskan:

a. PT MCN sebagai kontraktor pemboran belum berpengalaman yang memadai untuk melaksanakan pekerjaan IDPM. Company profil PT MCN menunjukkan bahwa perusahaan tersebut baru memiliki pengalaman satu kali dalam menangani kontrak sejenis IDPM yaitu kontrak integrated drilling service (IDS) dari Semco pada tahun 2001. Kurangnya pengalaman akan meningkatkan risiko pekerjaan gagal dan berlarut-larut. LBI menjelaskan bahwa penunjukkan PT. MCN tersebut telah melalui proses tender terbuka yang highly regulated procurement process dan telah mendapat persetujuan BP Migas.

b. PT. MCN dan sub kontraktornya menggunakan personel (drilling crew) yang kurang memiliki kemampuan dalam melaksanaan pekerjaan pemboran. Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran. LBI menjelaskan bahwa personil tersebut telah bersertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu) dan telah menyampaikan CV sebelum ditunjuk untuk bekerja di Sumur BJP-1.

c. Peralatan pemboran yang digunakan oleh PT MCN dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari. LBI menjelaskan bahwa kontrak IDPM telah dibuat untuk melindungi kepentingan LBI jika kondisi di atas terjadi dan PT. MCN cedera janji.

8. Soal adanya dugaan faktor kesalahan manusia sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo itu BPK menjelaskan:

a. Konsultan PT. Exploration Think Tank Indonesia (PT. ETTI) yang membantu BPK RI untuk mengidentifikasi penyebab semburan menyatakan bahwa penanganan kick dengan menggunakan lumpur yang beratnya melebihi kekuatan formasi batuan pada kedalaman 3.605 kaki telah mengakibatkan pecahnya formasi batuan (batu lempung) sekitar kedalaman tersebut dan keluar melalui lubang bor, lalu mengikuti rekahan yang ditimbulkan untuk akhirnya muncul di permukaan pada tanggal 29 Mei 2006 di dua tempat yang berbeda yaitu di dalam lokasi rig dan di luar lokasi rig (150-200 meter dari Sumur BJP-1). PT ETTI menegaskan bahwa eksplorasi Sumur BJP-1 telah memicu terjadinya semburan lumpur ke permukaan.

b. Pihak LBI/PT MCN sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor Sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

c. Ada indikasi operator terlambat menutup Sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

d. Selain hal-hal tersebut di atas, ada indikasi tidak dilakukannya prinsip kehati-hatian dalam proses pencabutan pipa bor. Selama pencabutan pipa bor sejak kedalaman 9.297 kaki telah terjadi indikasi adanya partial loss maupun displasemen lumpur yang sulit diatasi. Namun demikian pencabutan pipa tetap dilakukan sehingga hal tersebut akhirnya menginduksi terjadinya kick.

9. Selanjutnya BPK menjelaskan bahwa pendapat BPK RI tersebut di atas sejalan dengan pendapat beberapa ahli dan instansi lain mengenai semburan lumpur Sidoarjo. Pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun LBI sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

b. Hasil pengujian oleh LBI Perbandingan data ekstrapolasi temperatur pada saat melakukan logging dengan data temperatur lumpur dan air yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa sumber air diperkirakan berasal dari Formasi Kujung dan adanya kontribusi dari lapisan sandstone pada kedalaman di bawah 6.300 kaki. Uji analisa korelasi geokimia indeks kematangan batuan dengan membandingkan contoh cutting Sumur BJP-1 dengan lumpur yang keluar dari semburan menunjukkan lumpur yang keluar kemungkinan berkorelasi dengan sedimen shale pada kedalaman 5.600 kaki di Sumur BJP-1. Oleh karenanya, diasumsikan sumber lumpur berasal dari interval kedalaman 5.100 kaki s.d. 6.300 kaki. Uji analisa fosil formanifera dengan membandingkan contoh cutting pemboran Sumur BJP-1 dan lumpur yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa asal lumpur yang keluar dari pusat semburan berkorelasi dengan kedalaman 4.000 s.d. 6.000 kaki di Sumur BJP-1.

c. Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

d. Pernyataan PT Energi Mega Persada Tbk (pemilik LBI) dalam press release tanggal 30 Mei 2006 yang menyatakan antara lain bahwa “perusahaan telah bekerja sama dengan pejabat Pemerintah setempat sehingga tercapai situasi yang aman terkendali dan melaporkan bahwa tekanan semburan telah berkurang setelah dilakukan upaya pemompaan lumpur pemboran ke dalam sumur.

10. Berkaitan dengan upaya penghentian semburan Lumpur tersebut BPK melakukan pemeriksaan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo dengan mengevaluasi ketaatan pada prosedur (SOP) yang berlaku, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan dan action plan. Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut.

a. Penggunaan snubbing unit, side tracking dan relief well yang dilakukan oleh LBI dan Timnas PSLS tidak dapat menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Upaya penghentian semburan tersebut telah menghabiskan dana lebih kurang sebesar US$ 21.832,8 ribu atau Rp 200.862 juta (kurs 1 US$ = Rp 9.200). Tidak berhasilnya upaya penghentian semburan tersebut mengakibatkan dana yang telah dikeluarkan menjadi tidak efektif dan sia-sia.

b. Operasi snubbing dan relief well tidak mencapai sasaran yang diharapkan karena terkendala oleh faktor-faktor non teknis, seperti peralatan yang tidak tersedia di lapangan pada saat dibutuhkan, peralatan yang tidak memenuhi syarat, luapan lumpur yang tidak terkendali sehingga menggenangi lokasi rig dan keterbatasan dana operasional.

c. Tiga skenario penghentian semburan yaitu dengan menggunakan metode snubbing, side tracking dan relief well tidak berhasil. Sampai akhir pemeriksaan, Timnas PSLS sedang berupaya memperlambat semburan lumpur Sidoarjo dengan menggunakan metode insersi High Density Chained Ball (HDCB).

11. Salah satu akibat kasus semburan lumpur Lapindo adalah ledakan pipa gas yang merenggut 13 nyawa. BPK menjelaskan dampak kerugian ekonominya sebagai berikut:

Pada tanggal 22 November 2006 terjadi ledakan pipa gas Transmisi East Java Gas Pipeline (EJGP) milik Pertamina dilokasi jalan tol Surabaya – Gempol KM 38 di Porong, Jawa Timur. Pipa gas tersebut digunakan untuk menyalurkan gas sebanyak 63 MMscfd milik EMP Kangean yang akan didistribusikan ke Petrokimia Gresik (PKG) sebesar 50 MMscfd serta ke PLN PLTU Gresik sebesar 13 MMscfd dan menyalurkan 77 MMscfd milik Santos Maleo yang akan didistribusikan ke Perusahaan Gas Negara (PGN). PKG yang mendapat pasokan gas dari EMP Kangean sebesar 50 MMscfd pada saat terjadinya ledakan tidak dapat berproduksi sehingga dapat mengganggu penyediaan pupuk nasional terutama jenis ZA. Kebutuhan gas PKG untuk sementara di ganti dengan Swap gas PGN sebesar 15 MMscfd, PKG dari Kodeco sebesar 7 MMscfd, dan gas dari PLN dari Kodeco sebesar 27 MMscfd. Untuk memproduksi listrik karena pasokan gas dari Kodeco sebesar 27 MMscfd/hari disalurkan ke PKG maka PLN mensubstitusikan kebutuhan energi dari gas tersebut dengan menggunakan solar sebanyak 907.500 liter per hari atau memerlukan biaya produksi tambahan sebesar Rp 3.792,03 juta per hari. Jumlah biaya tambahan yang telah dikeluarkan selama periode 14 Januari s/d 28 Pebruari 2007 adalah sebesar Rp 174.433 juta.”

Demikian beberapa fakta hasil pemeriksaan BPK yang sudah menjadi data dalam bentuk akta otentik, dapat dijadikan sebagai dasar analisis perkara lumpur Lapindo tersebut berkaitan dengan pelanggaran ataupun pelaksanaan HAM.

2. Masalah

Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah yang dikemukakan di sini adalah: “Apakah dalam kasus semburan lumpur Lapindo tersebut terdapat fakta pelanggaran HAM berat?”

C. ANALISIS

1. Dasar Hukum

Dasar hukum yang dimaksudkan bersumber dari sumber-sumber hukum yang tak terbatas pada peraturan perundang-undangan (written law) tapi juga prinsip-prinsip atau asas keadilan termasuk pendapat ahli hukum. Doktrin hukum modern tidak lagi secara kaku berpegangan pada aturan hukum tertulis saja (positivistik) tetapi juga memperhatikan kebutuhan hukum sosial.

Dalam persoalan penegakan HAM, hukum tertulis juga bukan satu-satunya instrumen atau sumber hukum. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Abepura Papua, terdapat dessenting opinion hakim yang berpendapat berbeda dalam menanggapi putusan bebas terhadap para terdakwa. Hakim tersebut berpendapat bahwa dari pertimbangan-pertimbangan dan teori yang dipakai dalam putusan yang dikeluarkan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan sebagian hakim yang menyidang kasus Abepura terkesan positivisik dan menggunakan prinsip-prinsip hukum kolonial yang jauh dari rasa keadilan korban. Selain itu, majelis hakim inkonsisten dan inrasional antara fakta hukum dengan prinsip sistematis dan meluas terhadap kejahatan dalam hukum kemanusian. Dikatakan, putusan majelis hakim dalam hal ini tidak mempertimbangkan psikologi massa masyarakat Papua yang selama ini mendapat ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif dalam perjuangan hak-haknya. Praktek pengadilan hak seperti itu menambah deretan fakta bahwa paradilan HAM Indonesia merupakan 'kuburan' bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (www.freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00197.html).

Tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia mengikuti kecenderungan global yang mengindikasikan bahwa pelanggaran HAM berat, antara lain kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes) termasuk kejahatan internasional (international crimes). Tujuan tuntutan ini adalah memperoleh keadilan transisional (transitional justice). Instrumen hukum yang telah dibuat oleh pemerintah tidak efektif dalam penerapannya. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM. Dengan demikian dikembangkanlah studi hukum kritis. (Critical Legal Studies) untuk membangun serangan terhadap peradilan dalam iklim demokrasi liberal (judiciary within liberal democracy). Berhadapan dengan praktek dan watak liberal tersebut, Critical Legal Studies menginginkan penyelenggaraan peradilan secara obyektif (judicial objectivity) dan tuntutan terhadap keadilan sosial (social justice). (Khaerul H. Tandjung pada http://khaerulhtanjung.blogster.com, 20/2/2007).

UU No. 16 Tahun 2000 diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Penegak HAM mau tidak mau harus memasuki kawasan tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut dengan memahami substansi Statuta Roma, yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘pelanggaran HAM berat’ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.” Di sinilah pentingnya Critical Legal Studies dibangun sehingga penegakan hukum HAM dijalankan dengan cara mengembalikan politisasi hukum (dalam arti negatif) HAM ke jalan hukum HAM yang benar dengan tujuan dasar perlindungan dan penegakan HAM. Artinya, hambatan-hambatan pembatasan politis dalam undang-undang (yang positivistik) harus diatasi dengan cara menemukan kembali prinsip-prinsip HAM yang telah ‘dikorupsi’ oleh pembuat undang-undang.

Selain itu, dasar hukum HAM juga berupa prinsip-prinsip Hukum HAM Internasional yang diantaranya telah diformulasikan dalam bentuk-bentuk Kovenan Internasional.

2. Pelanggaran HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.

Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.

Akal sehat (logika obyektif) manusia bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dalam memperoleh ijin eksplorasi Sumur BJP-1 (dan lain-lainnya) tersebut menunjukkan adanya unsur kesengajaan (dollus) terhadap hukum keselamatan sosial.

Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi pelanggaran secara sengaja terhadap hukum yang bertujuan menyelematkan penduduk dari bahaya kegiatan pemboran pertambangan migas cukup memberikan gambaran rasional bahwa semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya dan akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya. Jadi, unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu.

Alasan lain soal adanya unsur kesengajaan tersebut juga dapat disimpulkan dari hasil temuan BPK yang menyebutkan adanya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, mulai dari penggunaan peralatan pemboran yang tidak layak serta tenaga pemboran yang kurang berkompeten sampai dengan kesengajaan tidak memasang selubung casing di kedalaman tertentu yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut.

Sedangkan akibatnya sudah menjadi pengetahuan umum yang tak perlu dibuktikan lagi (menjadi fakta notoir) bahwa ada ribuan penduduk yang terusir (mengungsi) dan mengalami apa yang digambarkan oleh huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk lain kejahatan kemanusiaan, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Fakta tersebut dapat dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …”

Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tersebut adalah:

- Salah satu perbuatan;

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; atau:

- Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

- Salah satu perbuatan;

Salah satu perbuatan (bersifat alternatif) yang disebutkan dalam pasal 9 UU No. 26/2000. Dalam perkara lumpur Lapindo ini dapat ditentukan bentuk perbuatan menurut pasal 9 huruf d dan huruf e yang akan diuraikan dalam analisis selanjutnya ini.

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

Pengertian kata “serangan” ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan yang bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan militer untuk secara ofensif membunuh atau mengusir kelompok penduduk, tapi dapat dalam bentuk “serangan” dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan atau kemampuan teknis, konspirasi kekuasaan. Di jaman yang semakin moderen, bentuk serangan bisa bermacam-macam cara dengan metode yang moderen pula. Misalnya serangan dengan menggunakan senjata kimia, kuman atau virus penyakit, meracuni tempat atau media hidup penduduk. Dalam kasus lumpur Lapindo, bentuk “serangan” tersebut terletak pada melubernya semburan lumpur Lapindo yang dapat atau patut diduga sebelumnya bahwa semburan lumpur tersebut akan bisa terjadi. Cara-cara yang tidak memenuhi kaidah teknis yang baik dalam penanggulangan lumpur yang mengakibatkan tanggul lumpur jebol berkali-kali juga merupakan cara lain dari serangan tersebut. Pada intinya, dalam kasus lumpur Lapindo, perbuatan “serangan” ini baru dapat dilihat ketika semburan lumpur Lapindo itu terjadi akibat kesengajaan pelanggaran kaidah-kaidah hukum dan keteknikan yang baik – karena konspirasi – sehingga dengan terpaksa para penduduk korban lumpur Lapindo harus pergi untuk mengungsi atau berpindah dari tempat tinggal mereka yang sah.

Sedangkan sifatnya yang meluas dapat dilihat dari jumlah korban yang mencapai ribuan penduduk sipil yang berasal dari beberapa desa yang tergenang lumpur Lapindo. Sistematisasi serangan tersebut tampak pada fakta konspirasi antara para petinggi Lapindo (pengambil keputusan strategis) dengan aparatur negara yang berwenang mengeluarkan perijinan.

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

Dalam kasus lumpur Lapindo, serangan tersebut sudah jelas ditujukan langsung terhadap penduduk sipil yang berada di sekitar wilayah Sumur BJP-1 Porong Sidoarjo tersebut. Masyarakat korban lumpur Lapindo merupakan penduduk sipil.

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa dalam kasus lumpur Lapindo dengan cara sengaja membiarkan semburan lumpur menggenangi tempat tinggal penduduk, melakukan upaya penyelesaian semburan lumpur secara tidak serius dengan lebih memilih pertimbangan ekonomi (efesiensi) dibandingkan dengan orientasi penyelamatan penduduk di sekitar Sumur BJP-1 tersebut. Hal itu juga terjadi dalam contoh penggunaan metode relief well yang ditunda-tunda dan tidak dilanjutkan, penggunaan metode insersi bola beton yang direncanakan 400 bola tapi hanya dilakukan dengan 250 bola, dan lain-lain yang menunjukkan bahwa akibat dari ketidakseriusan dalam penghentian semburan lumpur tersebut akan mengakibatkan luberan lumpur terus bertambah sehingga memaksa penduduk untuk berpindah tempat (mengungsi) dan terusir.

- Atau: Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

Bentuk perampasan kemerdekaan dalam kasus lumpur Lapindo bermula dari pembiaran nasib ribuan penduduk korban lumpur Lapindo yang diserahkan kepada Lapindo di mana negara (pemerintah) tidak memberikan tindakan perlindungan yang maksimum kepada para korban. Kondisi penderitaan luar biasa (great suffering) para korban dimanfaatkan pihak Lapindo dengan penyodoran kontrak baku transaksi jual-beli yang disusun pihak Lapindo yang memuat klausul untuk tidak menuntut atau menggugat Lapindo, memuat pernyataan pengakuan bahwa semburan lumpur tersebut akibat bencana alam, dan lain-lain yang tidak memberikan pilihan secara wajar bagi masyarakat korban untuk mengemukakan hak-hak mereka selaku korban. Hal itu tampak dengan adanya Paguyuban korban lumpur Lapindo yang bernama PAGAR REKONTRAK yang menolak menandatangani kontrak atau perjanjian baku jual-beli tanah mereka yang telah terendam lumpur yang tidak diberikan opsi apapun untuk mengemukakan hak-hak mereka yang bahkan beberapa kali diminta dan diintimidasi dengan ancaman akan dipaksa untuk meninggalkan tempat pengungsian di Pasar Porong Baru. Hal itu membuktikan bahwa korban lumpur Lapindo tidak diberikan kebebesan atau dirampas kemerdekaan mereka untuk memperoleh ganti kerugian atau keadilan, diperdaya dengan memanfaatkan kondisi lemah mereka. Di sini terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Dalam Preamble (Pembukaan) International Covenant on Civil and Political Rights ditentukan bahwa setiap negara yang yang dimaksudkan kovenan tersebut :

“Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and cultural rights.

”Considering the obligation of States under the Charter of the United Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedoms.”

Dalam kasus lumpur Lapindo justru dilakukan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, politik, hak kebebasan berupaya memperoleh keadilan, serta diciptakan ketakutan dengan ancaman pengusiran dari tempat pengungsian sehingga masyarakat korban tidak mungkin dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Pemerintah yang seharusnya berkewajiban untuk mendorong penghormatan, menegakkan serta memenuhi HAM, tetapi dalam kasus lumpur Lapindo justru sebaliknya memberikan impunitas kepada Lapindo dan memberikan alat legalitas pelanggaran HAM berupa Perpres No. 14/2007.

Dalam menerapkan ketentuan pasal 9 UU No. 26/2000 – berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo tersebut - haruslah melihat pada tujuan keadilan substansialnya dimana yang sangat dan lebih penting untuk dilihat adalah luasnya penderitaan dan banyaknya korban akibat konspirasi pelanggaran kaidah-kaidah hukum keselamatan rakyat serta kaidah-kaidah keteknikan yang baik pada praktik usaha pertambangan yang sengaja dilakukan di wilayah padat penduduk. Kejahatan kemanusiaan dalam kasus itu tampak pada kuatnya pertimbangan ekonomi korporasi yang mengabaikan hak-hak keselamatan manusia (penduduk). Tafsir demikian itu mutlak dilakukan untuk melindungi hak-hak para korban dan guna mencegah agar peristiwa semacam itu tidak akan terulang di masa depan. Jika kasus sebesar itu dengan ekskalasi korban yang sedemikian luas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, justru itu tidak masuk akal.

3. Penegakan HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Salah satu cara penegakan HAM dalam kasus lumpur Lapindo tersebut adalah membawa para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo tersebut ke Pengadilan HAM sesuai dengan Hukum Acara yang diatur menurut UU No. 26/2000.

Para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo yang terpenting harus bertanggung jawab adalah:

a. Para pejabat pemerintahan yang mengeluarkan ijin eksplorasi Sumur BJP-1, yaitu Menteri yang menawarkan wilayah pertambangan, pejabat BP Migas yang mengeluarkan rekomendasi, Bupati Sidoarjo atau Gubernur Jawa Timur yang menyetujui adanya eksplorasi serta memberikan ijin lokasi.

b. Para penanggungjawab (intelectual actor) korporasi yang memerintahkan dilakukannya pemboran di Sumur BJP-1 yang ada di Grup Bakrie. Lapindo hanyalah anak korporasi dari EMP yang berada dalam imperium bisnis Grup Bakrie.

c. Para pejabat pemerintah yang melakukan pembiaran dilakukannya kejahatan kemanusiaan, termasuk Presiden RI yang melegalisasi pelanggaran HAM berat tersebut dengan Perpres No. 14/2007 yang bahkan memfasilitasi akibat pelanggaran HAM berat itu dengan dana APBN.

Jika forum hukum nasional setelah ditempuh tetapi tidak dapat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut maka sesuai dengan prinsip penegakan HAM internasional maka kasus tersebut dibawa ke forum hukum internasional untuk mendapatkan penyelesaian yang adil sebab persoalan HAM sudah menjadi Hukum Internasional.

Namun salah satu kendala dalam penegakan HAM di Indonesia adalah tidak adanya kebaruan sistem penyidikan dan penuntutan sebab masih dilakukan oleh Kejaksaan, sedangkan wewenang Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik. Padahal kultur lembaga penegakan hukum konvensional di Indonesia masih cenderung korup dan bergaya positivistik meski mulai juga ada perkembangan sedikit ke arah hukum yang terbuka (unstrict law).

D. SIMPULAN

Kasus lumpur Lapindo merupakan perkara kejahatan kemanusiaan yang merupakan bentuk pelanggaran HAM berat.

E. SARAN

1. Dilakukan tafsir progresif terhadap bentuk kejahatan kemanusiaan menurut UU No. 26/2000 dengan melihat luasnya korban dan beratnya penderitaan korban lumpur Lapindo. Tafsir ini diterapkan pula dalam kasus-kasus lainnya.

2. Alat bukti hasil audit BPK tersebut agar diperkuat dengan alat bukti lainnya temuan Komnas HAM.

3. Komnas HAM melakukan konsolidasi publik agar mendesak legislator untuk memperbaiki UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000 agar Komnas HAM diberikan wewenang sebagai lembaga penyelidik, penyidik dan penuntut seperti contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).