Selasa, 22 Desember 2009

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DALAM SENGKETA TANAH DI DESA SADAR TENGAH KECAMATAN MOJOANYAR KABUPATEN MOJOKERTO

A. URAIAN FAKTA

1. Tahun 1987 tercatat ada transaksi peralihan hak atas tanah 28 orang warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto dengan orang benama: SUWOSO, SUNOTO, SA’I, ABDUL LATIB, RUBADI dan SITI CHOIRIYAH. Luas tanah tersebut sekitar 25,6 hektar (Ha).

2. Jual-beli tanah tersebut dengan harga Rp. 300,- permeter persegi, dilakukan di rumah kepala dusun SUTJIPTO dan disaksikan oleh Drs. R. SOEPRAPTO selaku Camat, ROYAN (alm) selaku kepala desa dan TOTOT ARYUN WIBAWA sebagai pegawai kecamatan Mojoanyar.

3. Jual beli tanah tersebut diterbitkan dalam bentuk akta jualbeli (AJB) yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Camat Drs. R. SOEPRAPTO, S.H. yaitu:

- AJB No. 24, 25, 26, 27 dan 28, tanggal 03 Maret 1987 a.n. RUBADI;

- AJB No. 29, 30, 31, 32, dan 33, tanggal 05 Maret 1987 a.n. H. AHMAD SA’I;

- AJB No. 34, 35, 36, dan 37, tanggal 10 Maret 1987 a.n. SUNOTO;

- AJB No. 38, 39, 40, 41 dan 42, tanggal 14 Maret 1987 a.n. SITI CHOIRIYAH;

- AJB No. 44, 45, 46, 47, 48 dan 49, tanggal 18 Maret 1987 a.n. SUWOSO;

- AJB No. 50, 51, dan 52, tanggal 18 Maret 1987 a.n. ABDUL LATIF.

4. Atas dasar AJB tersebut selanjutnya SUWOSO dan kawan-kawan tersebut menyertifikatkan tanah tersebut di Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto.

5. Selanjutnya SUWOSO, SUNOTO, SA’I, ABDUL LATIB, RUBADI dan CHOIRIYAH memberikan kuasa jual tanggal 21 Oktober 1987 kepada RUDIYANTO. Dengan kuasa jual tersebut RUDIYANTO menjual tanah tersebut kepada EDWIN SURYA LAKSANA (asisten direktur PT. Tjiwi Kimia).

6. Selanjutnya pada 09 Maret 2004, EDWIN SURYA LAKSANA mengalihkan tanah tersebut kepada PT. Tjiwi Kimia dengan AJB No. 61 s.d. AJB No. 88, yang selanjutnya tanah tersebut menjadi 28 sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) yang kemudian digabung menjadi 1 (satu) sertifikat HGB No. 39 tanggal 03 Agustus 2004 a.n. PT. Tjiwi Kimia.

7. Tahun 2000 warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto merasa tidak pernah menjual tanah mereka, setelah zaman reformasi baru berani menggugat SUWOSO dkk (yang diduga bekerjasama dengan PT. Tjiwi Kimia) melalui Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto, dan pada tanggal 04 Januari 2001 PN Mojokerto dengan putusannya No. 42/Pdt.G/2000/PN.Mjk mengabulkan gugatan warga, menyatakan bahwa tanah sengketa adalah sah milik warga penggugat (SAID dkk).

8. Selanjutnya putusan PN Mojokerto tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Timur dengan putusan No. 189/PDT/2001/PT.Sby, tanggal 23 Mei 2001.

9. Namun di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) dengan putusannya No. 3627/K/Pdt/2001, tanggal 11 September 2002 mengabulkan kasasi SUWOSO dkk dan menyatakan membatalkan putusan PN Mojokerto dan putusan PT Jawa Timur tersebut, serta memutuskan gugatan warga Dusun Selorejo tersebut TIDAK DAPAT DITERIMA.

Alasan hakim agung dalam putusannya adalah: “Terdapat pihak lain yaitu PT. Tjiwi Kimia yang tidak turut digugat dalam perkara tersebut.”

10. Warga Dusun Selorejo mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK), namun ditolak oleh MA dengan putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004.

11. Pada tahun 2004 warga (SAID dkk) melaporkan perkara tersebut ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur dengan laporan No. LP/543/XII/2004/Biro Ops, tanggal 29 Desember 2004, namun terakhir Polda Jawa Timur setelah melakukan penyidikan menyatakan kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana pasal 266 KUHP dan 263 KUHP.

12. SUWOSO, RUBADI, SUNOTO, SITI CHOIRIYAH, H. AHMAD SYA’I selaku pembeli tanah warga pada tahun 1987 menerangkan di depan penyidik Polda Jawa Timur bahwa mereka membeli tanah warga Dusun Selorejo tersebut hanya sebatas dipergunakan namanya oleh orang bernama RUDI (maksudnya: RUDYANTO). Mereka menandatangani AJB tanah dengan warga Dusun Selorejo atas permintaan ROYAN selaku Kepala Desa Sadar Tengah. SUWOSO dkk tersebut saat menandatangani AJB tahun 1987 tidak pernah kenal dengan warga penjual tanah yang dimaksudkan dalam AJB yang ditandatanganinya. SITI CHOIRIYAH mengaku memperoleh komisi Rp. 200.000,- dari RUDIYANTO.

13. Dalam pertemuan mediasi yang diselenggarakan DPRD Kabupaten Mojokerto, SUWOSO dkk juga menyatakan bahwa dalam pembuatan seluruh AJB atas tanah warga Dusun Selorejo tersebut tidak pernah ada transaksi riil.

14. Pada tahun 2004 SUWOSO dkk pernah membuat pernyataan tertulis yang sisinya SUWOSO dkk yang menyatakan tidak pernah membeli / melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga. Pernyataan itu kemudian disusul dengan Akta Pernyataan SUWOSO dkk dihadapan Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 6 Pebruari 2004 yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membeli/melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga Dusun Selorejo; dan Akta Pembatalan jual-beli tanah oleh SUWOSO dkk yang dibuat Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 11 Pebruari 2004.

15. Namun, atas surat dan akta peryantaan tersebut pihak PT. Tjiwi Kimia melakukan upaya hukum pidana melalui Kepolisian Resor (Polres) Kabupaten Mojokerto. Dalam penanganan kasus tersebut terjadi tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Polres Mojokerto.

16. Selanjutnya, warga koran (SAID dkk) dan SUWOSO diadili di PN Mojokerto dan diputuskan bersalah serta dipidana penjara selama 5 (lima) bulan dengan putusan No. 126/Pid.B/2005/PN.Mkt, tanggal 06 Juni 2005.

B. ANALISIS

Berdasarkan pengakuan SUWOSO dkk selaku yang tercatat dalam pembeli tanah warga Dusun Selorejo, mereka menyatakan tidak pernah membeli secara riil tanah warga tahun 1987 tersebut. Mereka mengaku menandatangani AJB karena namanya dipergunakan oleh orang bernama RUDIYANTO.

RUDIYANTO selanjutnya menjual tanah warga korban tersebut kepada EDWIN SURYA LAKSANA yang menurut keterangannya telah bekerja sebagai asisten Direktur PT. Tjiwi Kimia selama 30 tahun terakhir. Selanjutnya EDWIN SURYA LAKSANA menjual tanah tersebut kepada PT. Tjiwi Kimia.

Warga korban (SAID dkk) menggugat secara perdata kepada SUWOSO dkk tahun 2000 untuk mendapatkan tanah mereka kembali. Ternyata MA dalam tingkat kasasi, diperkuat putusan di tingkat Peninjauan Kembali (PK), memutuskan gugatan warga korban tidak dapat diterima dengan alasan bahwa PT. Tjiwi Kimia tidak ikut digugat.

Pertimbangan hukum MA tersebut tidak masuk akal sebab berdasarkan alat bukti formalnya peralihan hak atas tanah dari EDWIN SURYA LAKSANA kepada PT. Tjiwi Kimia terjadi pada tanggal 09 Maret 2004 (dengan AJB No. 61 s.d. AJB No. 88 di hadapan Notaris/PPAT SALIM HANDOKO,S.H.), sedangkan gugatan warga korban dilakukan pada tahun 2000. Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) tersebut tanggal 11 September 2002 dengan putusannya No. 3627/K/Pdt/2001.

Bagimana bisa MA pada tahun 2002 menyatakan tanah sengketa milik warga korban ada kaitannya dengan hak PT. Tjiwi Kimia, padahal PT. Tjiwi Kimia baru membeli tanah tersebut pada 09 Maret 2004 dari orang bernama EDWIN SURYA LAKSANA yang merupakan asisten Direktur PT. Tjiwi Kimia?

Dalam hal ini MA telah membuat putusan yang ilegal, melanggar hak keadilan warga korban tersebut dengan cara membuat pertimbangan hukum yang keluar dari kebenaran alat bukti dan standar hukum acara perdata. Putusan hakim yang formalistik tetapi tidak masuk akal telah mengabaikan keadilan substantif.

Di samping itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) qq. Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto juga patut dikatakan melanggar hak keadilan bagi warga korban dalam perkara tersebut. Warga Dusun Selorejo mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) tahun 2002, hingga diputuskan MA dengan putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004. Tetapi Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto tetap memroses pendaftaran peralihan hak atas tanah sengketa dari orang bernama EDWIN SURYA LAKSANA kepada PT. Tjiwi Kimia yang terjadi pada tanggal 09 Maret 2004, dan diproses menjadi 1 (satu) sertifikat HGB No. 39 a.n. PT. Tjiwi Kimia pada 03 Agustus 2004, ketika MA belum memutuskan permohonan PK warga korban. Putusan PK dalam perkara tersebut adalah putusan No. 05/PK/Pdt/2004, tanggal 10 Nopember 2004.

Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto juga mengetahui status tanah warga korban tersebut sebagai tanah sengketa sejak tahun 2000 dan pernah turut dipanggil dalam dengar pendapat di DPRD Kabupaten Mojokerto.

Tindakan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto yang menyetujui pendaftaran peralihan hak atas tanah sengketa milik warga korban menjadi sertifikat HGB a.n. PT. Tjiwi Kimia tersebut bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pasal 45 ayat (1) huruf e yang menentukan: “Kepala Kantor Pertanahan Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran peralihan atau pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi: …e. tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di pengadilan.

Selain dengan gugatan perdata, warga korban juga memperkarakan kasus pemalsuan surat dengan obyek AJB a.n. SUWOSO dkk tersebut yang dilaporkan ke Polda Jawa Timur pada 29 Desember 2004 dengan laporan No. LP/543/XII/2004/Biro Ops, namun terakhir Polda Jawa Timur setelah melakukan penyidikan menyatakan kasus tersebut tidak memenuhi unsur pidana pasal 266 KUHP dan 263 KUHP.

Padahal, terlapor yang tercatat sebagai pembeli tanah warga korban pada tahun 1987 (SUWOSO dkk) mengakui bahwa mereka pada saat menandatangani AJB atas tanah warga korban tidak mengenal warga yang dicatat dalam AJB selaku penjual, dan menerangkan bahwa nama mereka dipakai orang lain bernama RUDIYANTO. Mereka (SUWOSO dkk) menandatangani AJB pada tahun 1987 disuruh oleh ROYAN (alm) selaku Kepala Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto.

Artinya, benar bahwa keterangan mereka (SUWOSO dkk) di dalam :

- AJB No. 24, 25, 26, 27 dan 28, tanggal 03 Maret 1987 a.n. RUBADI;

- AJB No. 29, 30, 31, 32, dan 33, tanggal 05 Maret 1987 a.n. H. AHMAD SA’I;

- AJB No. 34, 35, 36, dan 37, tanggal 10 Maret 1987 a.n. SUNOTO;

- AJB No. 38, 39, 40, 41 dan 42, tanggal 14 Maret 1987 a.n. SITI CHOIRIYAH;

- AJB No. 44, 45, 46, 47, 48 dan 49, tanggal 18 Maret 1987 a.n. SUWOSO;

- AJB No. 50, 51, dan 52, tanggal 18 Maret 1987 a.n. ABDUL LATIF.

adalah keterangan yang palsu atau tidak benar, sebab ternyata mereka (SUWOSO dkk tidak pernah mengenal warga korban yang dicatat sebagai penjual dalam AJB-AJB tersebut dan tidak bertindak sendiri selaku pembeli, melainkan namanya digunakan oleh orang bernama RUDIYANTO.

Hal tersebut sesuai dengan alat bukti surat lainnya yang telah diperoleh penyidik Polda Jawa Timur, yaitu:

- Surat Pernyataan SUWOSO dkk yang menyatakan tidak pernah membeli / melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga;

- Akta Pernyataan SUWOSO dkk dihadapan Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 6 Pebruari 2004 yang menyatakan bahwa mereka tidak pernah membeli/melakukan transaksi jual-beli tanah dengan warga Dusun Selorejo; dan

- Akta Pembatalan jual-beli tanah oleh SUWOSO dkk yang dibuat Notaris JUDI PURWASTUTI, S.H. tanggal 11 Pebruari 2004.

Kepolisian Resor Kabupaten Mojokerto juga patut dikatakan melakukan pelanggaran HAM kepada warga korban sebab telah melakukan kriminalisasi dengan cara-cara kekerasan terhadap warga korban (SAID dkk) dan memihak PT. Tjiwi Kimia, berkaitan dengan terbitnya ketiga surat atau akta pernyataan SUWOSO dkk tersebut di atas, selanjutnya perkara itu diadili di PN Mojokerto dengan putusan No. 126/Pid.B/2005/PN.Mkt, tanggal 06 Juni 2005 di mana SAID dan SUWOSO pun dijatuhi hukuman penjara selama 5 (lima) bulan.

Polda Jawa Timur dan Polres Mojokerto telah memihak kepada PT. Tjiwi Kimia, sebab menindaklanjuti upaya kriminalisasi terhadap warga korban dan tidak memberikan kepastian atas laporan pidana yang dilakukan warga korban.

Maka dalam hal ini, pelaku pelanggaran HAM dalam perkara ini adalah:

  1. Hakim pada Mahkamah Agung RI telah melanggar hak untuk memperoleh keadilan bagi warga korban tersebut, sebagaimana hak itu dijamin dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menentukan: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.”

  1. Kepolisian Daerah Jawa Timur juga telah melanggar hak untuk memperoleh keadilan bagi warga korban tersebut, sebagaimana hak itu dijamin dalam pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut.

  1. Kepolisian Resort Kabupaten Mojokerto selain melanggar hak atas keadilan sebagaimana ditentukan pasal 17 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tersebut juga melanggar hak atas rasa aman sebagaimana menurut pasal 30 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

  1. Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto telah berkonspirasi dengan PT. Tjiwi Kimia dan pengurusnya, melanggar hak atas kesejahteraan warga korban dengan cara memperoleh hak secara melawan hukum melanggar kaidah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sehingga mengeliminasi hak warga korban atas tanah mereka, sebagaimana pasal 36 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa, dan masyarakat, dengan cara yang tidak melanggar hukum.”

  1. Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian Negara RI dan Badan Pertanahan Nasional telah melanggar kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 71 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang menentukan: “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia.

C. KESIMPULAN

SAID dkk selaku warga Dusun Selorejo Desa Sadar Tengah Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto telah menjadi korban pelanggaran HAM secara sistematik yang dilakukan aparat pemerintahan yang melibatkan para pejabat Kepolisian dan Pengadilan (Mahkamah Agung) serta Kantor Pertanahan Kabupaten Mojokerto, untuk kepentingan korporasi bernama PT. Tjiwi Kimia di Mojokerto.

Rabu, 18 November 2009

HUKUM PUN TENGGELAM DALAM LUMPUR LAPINDO


Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Timur akhirnya mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) perkara pidana lumpur Lapindo. Pertimbangannya, putusan Pengadilan telah menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Pertimbangan lainnya adalah perbedaan pendapat para ahli.

Perubahan arah

Pada mulanya penyidik Polda Jawa Timur sangat yakin bahwa penyebab semburan lumpur tersebut akibat kegiatan eksplorasi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Pada 8 Maret 2007, saya hadir dalam acara paparan untuk publik tentang perkembangan penyidikan perkara kasus lumpur Lapindo di Mapolda Jawa Timur, diselenggarakan Polda Jawa Timur.

Dalam perkembangan berikutnya penyidik hanya mengeluh pada soal pengembalian berkas perkara oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur dengan P-19 (berkas dinyatakan belum lengkap, disertai petunjuk), tetapi petunjuk-petunjuk yang diberikan Tim Penuntut Umum (kejaksaan) dinilai semrawut sebab memang terdapat 17 orang tersangka yang dipisah dalam tujuh berkas. Dalam soal pokok perkaranya Tim Penuntut Umum hanya mempersoalkan perbedaan pendapat ahli yang ada.

Penyidik Polda Jawa Timur pada acara 8 Maret 2007 itu menjelaskan telah memeriksa 59 orang saksi fakta, 16 ahli dan 13 tersangka. Barang bukti yang telah disita termasuk dokumen dan surat-surat (Production Sharing Contract, Drilling Program, Daily Drilling Report, instruksi kerja, Real Time Chart, survey seismic, perizinan, dokumen UKL-UPL, Pedoman Standard of Operation, kontrak kerja antara Lapindo dengan PT. Medici Citra Nusa (MCN) beserta sub kontraktornya dan lain-lain), 1 (satu) unit Rig beserta komponennya.

Di luar itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menemukan bekas bor milik Lapindo di lokasi pertambangan migas Santos di Pasuruan, tapi ini tidak termasuk barang bukti yang disita penyidik.

Penyidik menemukan fakta bahwa eksplorasi di sumur Banjar Panji 1 (BJP-1) Porong Sidoarjo mengalami peristiwa kick dan stuck di kedalaman 4.241 kaki. Di kedalaman 9297 terjadi lost. Dalam keadaan kick and lost, dilakukan penarikan bor ke atas. Tetapi malapetakan terjadi ketika formasi di bawah casing shoe di kedalaman 3580 kaki pecah akibat tekanan dari bawah yang berlebih.

Penyidik menyimpulkan: “Pada 29 Mei 2006 telah terjadi semburan lumpur yang berada di + 200 m dari lokasi pemboran sumur Banjar Panji 1 di Ds. Reno Kenongo, Kec. Porong, Kab. Sidoarjo yang diduga akibat dari kesalahan dalam penanganan Lost dan Kick yang menimbulkan tekanan melebihi kemampuan casing shoe sehingga menyebabkan retak / pecahnya formasi dibawah casing shoe (kedalaman 3.580 ft) pada kegiatan pemboran sumur Banjar Panji 1 yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc beserta para subkontraktornya yang mengakibatkan terjadinya banjir lumpur dan kerusakan serta pencemaran terhadap lingkungan.”

Kesimpulan itu bukan diperoleh dari theoritical proving, tapi fact evidence, sebab diperoleh dari keterangan para saksi pengeboran serta laporan pengeboran harian (daily drilling report). Penyidik mengatakan telah memeriksa ‘saksi kunci’ pelaksana pengeboran berkat informasi dari aktivis jurnalis dan Walhi.

Kepolisian memunyai data tentang tekanan selama pengeboran – sebagaimana juga dikatakan Prof. Rudi Rubiandini, ahli perminyakan Institut Teknologi Bandung (ITB) (Kompas, 23/1/2008) – hal mana data tersebut juga merupakan salah satu alat bukti fakta (fact evidence).

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga punya surat dari Dinas Survei & Pemboran BP Migas yang dilampiri penjelasan tertulis dari Edi Sutriono (Senior Drilling Manager PT Energy Mega Persada, Tbk) yang menjelaskan bahwa proses pencabutan pipa dan mata bor dari kedalaman 7.415 kaki pada tanggal 28 Mei 2006 pagi telah menyebabkan well kick yang terlambat diantisipasi. Kick baru diidentifikasi pada kedalaman 4.241 kaki. Langkah penanganan dilakukan dengan menutup sumur dengan BOP (blow out preventer) dan selanjutnya membunuh kick dengan metode volumetric.

Silang pendapat

Pendapat hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Selatan serta Kapolda Jawa Timur berbeda dengan hasil audit BPK yang dilaporkan 29 Mei 2007. Itu sekaligus menunjukkan adanya silang pendapat antarpengurus negara, meski BPK dalam laporan auditnya implisit menghormati proses hukum. BPK melaksanakan wewenangnya menurut UU No. 15/2006, dalam rangka audit kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat 3). (Hasil audit dapat dilihat dari www.bpk.go.id). Berkaitan dengan proses eksplorasi di sumur BJP-1 tersebut diantaranya BPK menjelaskan fakta bahwa laporan harian pemboran (daily drilling report) menunjukkan bahwa terjadi keterlambatan pekerjaan pemboran karena kerusakan dan perbaikan peralatan pemboran.

Total hari perbaikan peralatan pemboran mencapai 667,9 jam atau kurang lebih 27 hari yang disebabkan suku cadang yang tersedia tidak memadai. Selain peralatan pemboran yang sering rusak, PT MCN (kontraktor pengeboran yang ditunjuk Lapindo) juga diduga menggunakan beberapa peralatan bekas, atau peralatan yang tidak memenuhi standar kualitas. Terjadi praktik kanibalisasi dan penggunaan suku cadang yang tidak asli antar mesin dan mud pump. PT MCN maupun subkontraktor penyedia drilling rig disimpulkan tidak memiliki kesiapan, peralatan dan personil yang memadai dalam melaksanakan pekerjaan pemboran Sumur BJP-1.

BPK juga menemukan dokumen Berita Acara Penanggulangan Kejadian Semburan Lumpur di sekitar lokasi Sumur BJP-1 tanggal 8 Juni 2006 yang ditandatangani oleh Lapindo dan BP Migas menyebutkan, BP Migas maupun Lapindo sepakat bahwa semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Sumber semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu Formasi Shallow G-10 (overpressure zone) dan formasi Kujung (formasi batuan gamping) yang telah tertembus saat operasi pemboran berlangsung dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

Laporan final Loss Adjuster Matthews Daniel tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis (rekahan).

Jadi, alat bukti faktual (fact evidence) kasus semburan lumpur Lapindo (yang diperoleh dari dokumen dan para saksi pihak Lapindo sendiri) membuktikan adanya kesalahan dalam proses eksplorasi yang mengakibatkan semburan. Alat bukti tersebut diperoleh dari factual proving, bukan sekedar theoritical proving. Sedangkan pendapat para ahli yang menghubungkan semburan lumpur Lapindo dengan gempa Jogja atau pergeseran lempeng bumi, hanya bersifat hipotesis (belum mengarah pada kebenaran teori), tidak berdasarkan factual evidence. Para ahli yang ‘membela Lapindo’ itu mengabaikan fakta adanya kesalahan dalam proses eksplorasi. Logikanya sederhana: ahli geologi disuruh menjelaskan ‘kesalahan eksplorasi’ terang tidak bisa.

Tapi mengapa penegak hukum kita begitu? Tampaknya ada indikasi politis yang menggiring hukum untuk ditenggelamkan ke dalam lumpur. Itu tak beda jauh dalam preseden kasus perusakan hutan, pencemaran/perusakan Buyat oleh Newmont, pencemaran/perusakan Papua oleh Freepot, dan lain-lain, di mana hukum kita patuh kepada oligarki, tidak berani memihak keadilan dan rabun menatap kebenaran. Ini negara hukum semu.

Rabu, 20 Mei 2009

SEJARAH PEMUKIMAN DAN KRONOLOGI PENGGUSURAN KAWASAN JAGIR SURABAYA

1960 Daerah Jagir Barat (sekarang di seberang gang II-IV) merupakan kompleks prostitusi.
Daerah sebelah timur (sekarang di seberang gang IV- perempatan Panjang Jiwo) merupakan tanah kosong yang ditumbuhi ilalang dan pohon krangkong.

1961-1962 Terjadi keributan di kompleks prostitusi sampai terjadi kebakaran. Sejak saat ini prostitusi dipindah ke Jarak Surabaya.

1964 Ada pemindahan sekitar 50 pedagang dari pasar Wonokomo oleh walikota Sukoco karena pembangunan perluasan pasar Wonokromo. Mereka umumnya pedagang besi yang semula berjualan dibagian Barat pasar. Karena tempat tersebut akan digunakan sebagai terminal bemo, maka mereka diminta pindah dengan dua pilihan tempat pindah.

Pilihan pertama direlokasi ke toko-toko kosong yang ada didalam pasar dengan ukuan 2,5m x 4 m. Pilihan kedua dipindah ke daerah Jagir-wonokomo, ditepi sungai. Akhirnya 50 orang memilih pindah ke Jagir-Wonokromo. Mereka mendirikan bangunan untuk berdagang dan tempat tinggal.

Janji pemerintah saat itu (wali kota Sukoco) tempat tinggal dan tempat usaha akan dibayar pembangunannya oleh pemkot dan warga mencicil jika sudah selesai. Tetapi janji tersebut tidak penah terlaksana.

Kondisi tanah yang ditempati saat itu masih lebih tinggi dari jalan raya yang ada saat ini. Transportasi darat yang paling disukai adalah becak dan bendi, meski sudah ada bemo.
Sungai digunakan oleh pedagang ikan dan bambu dari arah Timur sampai disebelah Timur pintu air tempat mereka biasanya menggelar dagangan. Penduduk tepi sungai memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari (mandi, cuci, buang air dan masak).

Bagian Barat wilayah Jagir (dari rel kereta api sampai seberang kantor Pertamina) ada taman. Di sebelahnya ada bangunan rumah penjaga aspal dan drum Pertamina.

1967 Daerah Timur Jagir yang masih berupa tanah kosong penuh ilalang dan krangkong mulai dihuni oleh tukang becak dan beberapa orang yang tidak memiliki lahan diwilayah barat. Selain rumah tinggal, mereka juga membuka usaha sepeti bengkel, warung kelontong dan lain-lain. Saat itu RK dan pengurus kampung tidak memperhatikan.

1968 Jembatan Nginden dibangun. Tidak lagi ada perahu penjual ikan dan pedagang bambu lewat di sungai.
Beberapa orang di Jagir Timur mulai bisa membangun rumah. Saat itu pengurus kampung (ketua RK) dari seberang jalan mendatangi dan melarang mereka mendirikan bangunan. Tetapi setelah bernegosiasi akhirnya mereka diijinkan tinggal dengan membayar Rp 1,00. dan diakui sebagair warga resmi kampung seberang.

1968 Warga mendapatkan KTP yang beralamatkan di lokasi pemukiman mereka oleh kecamatan Wonokromo.

1970 Warga penampungan dari Dinas Sosial direlokasi ke wilayah stren kali Jagir (depan Mangga Dua) oleh Dinas Sosial Kota Surabaya.

1970-1971 Jalan raya Jagir dibangun oleh pemerintah daerah dengan dana yang berasal dari PONSORIA WAWE (semacam SDSB). Setelah ini mulai ramai bemo dan bus Damri.

1975 Warga mulai membayar PBB (IPEDA). Penghuni mulai berganti karena banyak rumah yang diperjualbelikan hak pakainya. Daerah timur Jagir sampai tugu Panjang Jiwo mulair ramai dihuni.

1983 PLN masuk ke pemukiman warga dan mulai terpasang instalasi listrik.

1998 Daerah Barat yang dulu taman mulair dihuni oleh pedagang kayu dan alat memancing.
Daerah Timur (tugu Panjang Jiwo sampai ke Timur) mulai berpenghuni. Sebagian besar dari mereka adalah pedagang kaki lima dan bengkel kecil.

26-3- 2002 Warga yang sudah bertahun-tahun bermukim di Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo tiba-tiba dikejutkan dengan adanya surat Perintah Pembongkaran II (SP II) tanggal. Itu dilakukan tanpa ada proses sosialisasi, bahkan ada beberapa kampung seperti Karang Pilang baru mengetahui adanya SP II tersebut setahun kemudian.

Melihat kasus penggusuran warga stren kali di Panjang Jiwo, dimana setelah rumah mereka dibongkar mereka tidak juga mendapatkan haknya, sehingga harus berbulan-bulan tinggal di tenda-tenda Warga Stren Kali di Bratang, Jagir, Gunungsari, Jambangan, Kebonsai dan Pagesangan sepakat untuk bersatu membentuk PAGUYUBAN WARGA STREN KALI SURABAYA. Dalam perjalanan waktu kini Paguyuban Warga Stren Kali tersebut sudah mencakup 10 kampung, yaitu Jagir, Bratang, Bratang Kampung Baru, Gunungsari I, Gunungsari II, Jambangan, Kebonsari, Pagesangan, Kebraon dan Karang Pilang.

Warga bersama LSM JERIT kemudian melakukan advokasi, termasuk berusaha untuk bertemu dengan Menteri Kimpraswil.

10-6-2003 Menteri Kimpraswil, Ir. Soenarno berdialog dengan perwakilan warga stren kali Surabaya dan kali wonokromo yang terancam akan digusur. Dalam dialog tersebut juga hadir anggota Komisi IV DPR RI, Sekda propinsi Jawa Timur, Komisi D DPRD Jawa Timur, Walikota Surabaya, Kepala PU Pengairan Jawa Timur, serta sejumlah pejabat dari Instansi terkait.

Adapun hal penting dalam dialog di Gedung Wanita Surabaya tersebut adalah sebagai berikut :
1. Menteri Kimprawil minta kepada Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya untuk menghentikan penggusuran sampai disahkannya Peraturan Daerah (PERDA) Propinsi Jawa Timur yang mengatur tentang Bantaran Sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo
2. Untuk penerbitan PERDA Menteri akan membentuk TIM Teknis yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kota, Akademisi Independen, LSM dan wakil warga yang tergusur maupun yang terancam digusur.
3. Menteri Kimprawil sepakat dan sangat tetarik dengan konsep warga stren kali “masyarakat penjaga sungai” dalam hal menjaga fungsi sungai.

18-9-2003 Tim Teknis yang sudah disepakati belum juga terbentuk, warga pun menanyakan hal itu kepada Kepala Dinas PU Pengairan dan PU Pemukiman Jawa Timur. Ternyata pada hari yang sama Gubernur Jawa Timur menyerahkan Raperda Strenkali Surabaya kepada Komisi D DPRD Jatim untuk dibahas dan direncanakan akan disah menjadi Perda.

23-9-2003 Menyikapi Raperda tersebut perwakilan warga dan LSM Jerit menemui Komisi D DPRD Jawa Timur minta agar Raperda Strenkali tersebut tidak dibahas karena Raperda tersebut tidak disusun Tim Teknis sesuai kesepakatan saat dialog dengan Menteri Kimpraswil.

1-10-2003 Warga ikut bersama Komisi D DPRD Jawa Timur yang melakukan pertemuan dengan Menteri Kimpraswil untuk membahas Raperda Stren Kali tersebut.

Akhirnya Sidang paripurna DPRD Jawa Timur memutuskan Raperda yang diajukan Gubernur tidak bisa disyahkan karena ada kesepakatan yang dilanggar oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dalam Sidang paripurnanya.


23-10-2003 Gubernur Jawa Timur membentuk Tim Kajian Teknis dan mulai bekerja 23 Oktober 2003. Setelah melakukan beberapa kali pertemuan dan pembahasan Tim Kajian Teknis dimana di dalam ada perwakilan warga Stren Kali terlibat menghasilkan sebuah kajian teknis yang akan disampaikan ke Menteri Kimpraswil.
Selain ada beberapa hal yang berhasil disepakati, namun ada juga yang tidak berhasil disepakati antara Tim Wakil pemerintah (didukung dari kalangan Perguruan Tinggi) dengan Tim Perwakilan warga.

Beberapa hal yang berhasil disepakati bahwa antara lain :
- Program normalisasi sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo harus meminimalkan terjadinya penggusuran
- Penataan sungai akan ditata terintegrasi dengan penataan permukiman yang mengacu pada konsep renovasi. Apabila hal tersebut tidak bisa dilaksanakan, maka diperlukan perumusan rencana detail dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial budaya dan teknis, sehingga apabila terjadi relokasi setempat, atau terpaksa pada lokasi sekitar/ lainnya, masyarakat tidak menjadi lebih buruk kondisinya (worst-off).
- penataan tidak akan menghilangkan akses warga stren terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, permukiman, jaringan ketetanggaaan/kekerabatan, kehidupan keagamaan yang sudah ada selama ini.

26-3-2004 Hasil kerja Tim Kajian Teknis Stren kali Surabaya disampaikan kepada Menteri Kimpraswil. Apa dan bagaimana hasilnya, Menteri melihat masih harus dilakukan kajian lebih detil lagi.

2007 Pemprop Jawa Timur untuk kesekian kalinya mengusulkan kembali Raperda penataan sempadan kali Surabaya dan kali Wonokromo.

1-10-2007 Hasil Pansus Strenkali telah menghasilkan draft Raperda penataan sempadan kali Surabaya dan kali Wonokromo yang kemudian disahkan sebagai Perda pada tanggal 1 Oktober 2007, yang kemudian dicatatkan dalam lembaran daerah dengan Perda Nomor 9 tahun 2007.

23-4-2009 Surat Peringatan dari Kecamatan Wonokromo dibagikan oleh Satpol PP kepada warga Jagir. Surat berisi peringatan untuk membongkar sendiri bangunan milik warga kalau tidak akan dilakukan pembongkaran pada tanggal 30 April 2009. Surat tersebut merupakan hasil rapat antara Dinas PU Pengairan dengan Pemerintah Kota Surabaya. Perda yang dijadikan acuan penggusuran adalah peraturan yang lama, tidak menyinggung Perda terbaru No. 9 tahun 2007 sama sekali.

27-4-2009 DPRD Kota Surabaya Komisi C mengundang rapat beberapa instansi terkait untuk menyikapi surat peringatan Kecamatan Wonokromo pada tanggal 29 April 2009.

28 -4-2009 Warga melakukan aksi di Dinas Pengairan. Ketua Dinas PU Pengairan, Mustofa menemui warga dan mengatakan bahwa tidak ada rencana penggusuran dan tidak mengakui adanya rapat dengan Pemkot Surabaya.
Dari Dinas Pengairan warga mendatangi DPRD Jawa Timur Komisi D. Komisi D mengadakan rapat bersama perwakilan warga. Dalam rapat dinyatakan bahwa Surat Kecamatan Wonokromo perihal penggusuran Strenkali telah melanggar kewenangan provinsi Jawa Timur khususnya terkait Perda No.9 tahun 2007. Di pertemuan juga tebukti bahwa Rapat Dinas Pengairan dan Pemkot ternyata benar-benar terjadi dan DPRD Jawa Timur merasa tersinggung karena dilangkahi.

29-4-2009 Rapat di DPRD Kota Surabaya yang juga dihadiri DInas PU Pengairan Prop Jatim, Perum Jasa Tirta, Dinas Bina Marga dan Pematusan, Camat Wonokromo, Lurah Jagir, Perwakilan warga dan LSM Jerit memutuskan :
- Dinas PU Pengairan Provinsi Jatim menghormati Perda No.9 Tahun 2007 tentang Penataan Sempadan Sungai Kali Surabaya dan Wonokromo.
- Surat Kecamatan Wonokromo batal demi hukum dan diminta untuk melakukan pencabutan Surat Peringatan.
- Hasil Rapat berlaku di seluruh kecamatan di wilayah sempadan sungai Kali Surabaya dan Kali Wonokromo.
30-4-2009 JTV mengundang perwakilan warga untuk hadir dalam acara “Nyelatu Show” sebuah acara debat antara 2 belah pihak. JTV juga mengundang Walikota Surabaya dan Pemkot tapi tidak ada yang datang.

4-5-2009 Penggusuran terjadi di kawasan Jagir, Aparat gabungan Satpol PP dan polisi yang turun sebanyak 2.500 orang plus anjing polisi, melebihi jumlah warga di Jagir. Penggusuran dilengkapi dengan 1 Unit Canon Water Car, 1 unit Buldozer dan 3 unit Excavator (Back Hoe).

Pagar Betis berlapis yang dibuat warga tak kuasa menahan serbuan aparat yang berjumlah banyak. Penggusuran sempat dihentikan selama 3 jam ketika anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya dan Komisi D DPRD Propinsi Jawa Timur ikut berorasi. Namun setelah semua anggota dewan tersebut meninggalkan lokasi penggusuran dilanjutkan sehingga seluruh kawasan Jagir sepanjang kurang lebih 2 km dibongkar dan rata dengan tanah.

Bentrokan sempat terjadi pada sore hari dimulai dari sekelompok orang yang melempari Excavator (menurut pengamatan warga di lapangan banyak wajah-wajah tak dikenal ikut berbaur dikerumunan massa dan mereka yang memulai melempari) sehingga suasana menjadi chaos dan menyebabkan sebagian warga dipukuli dan ditangkap oleh polisi. 18 warga ditangkap oleh polisi. Sebelumnya dalam aksi ini LSM Jerit dan warga telah sepakat untuk tidak berbuat anarkis.

Jumat, 23 Januari 2009

Advokasi Kepada Masyarakat dalam Sengketa Tanah

Latar belakang

Ada banyak kasus sengketa agraria khusus dalam bidang pertanahan yang terjadi di masyarakat, terutama sisa-sisa masalah Orde Baru maupun akibat pemiskinan struktural. Pemiskinan struktural adalah pemiskinan akibat pemerintahan yang memihak kepada struktur masyarakat pengusaha dan mengorbankan masyarakat lemah.

Pembebasan tanah rakyat secara paksa selain menghilangkan hak-hak milik atas tanah juga menyebabkan perpindahan penduduk yang semakin miskin mencari lahan-lahan kosong (tanah bebas) di berbagai daerah, menetap bertani selama puluhan tahun. Selanjutnya ketika ada pemilik kapital – baik pemerintah sendiri melalui BUMN atau BUMD maupun swasta – yang menghendaki tanah yang dikelola masyarakat miskin tersebut maka dilakukan pengosongan paksa dan kriminalisasi. Contoh kasus ini yang paling mutakhir adalah sengketa pertanahan antara masyarakat Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Banyuwangi melawan PTPN XII, sebuah BUMN yang bergerak di bidang perkebunan.

Sedangkan contoh sisa kasus sengketa pertanahan akibat pembebasan paksa jaman Orde Baru adalah kasus Alastlogo Pasuruan, kasus tambak garam Kalianget di Sumenep (masih bersifat laten atau belum terang-terangan). Ada pula kasus tanah sisa zaman Belanda seperti contohnya pada kasus tanah Sendi, Pacet, Mojokerto. Selain itu, di zaman reformasi juga terdapat modus-modus tukar guling tanah-tanah masyarakat bekas tanah desa yang sudah diubah menjadi kelurahan.

Tampaknya kasus-kasus tanah rakyat akan terus berlangsung dan membutuhkan perhatian tersendiri. Dalam beberapa contoh kasus tersebut seringkali berujung pada sengketa hukum yang tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat korban yang lemah untuk dapat menikmati hak keadilan mereka.

Fenomena gaya pikir hukum legal formal dan positivistik ditambah dengan praktik penegakan hukum yang korup menjadi masalah penting yang menghambat pemenuhan hak keadilan sebagai bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui dalam amandemen UUD 1945 dan secara khusus dirumuskan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam keadaan seperti itulah advokasi menjadi sebuah kebutuhan bagi masyarakat yang kurang mampu secara ekonomi dan intelektual. Tanpa ada upaya-upaya pembelaan kepada masyarakat lemah yang ditindas oleh oligarki kekuasaan politik-ekonomi maka hak keadilan hanya masih menjadi utopia.

Dalam konstruksi pemikiran hukum yang sejati, hukum adalah untuk keadilan. Para intelektual hukum yang membiarkan adanya penindasan adalah para intelektual yang tidak bertanggung jawab, sebagaimana pendidikan hukum mengamanatkan tegakknya hukum dan keadilan yang dalam pengertian lebih rasional adalah adanya upaya-upaya dan pekerjaan yang bersifat sosial, nonkomersial, untuk membantu masyarakat lemah ekonomi dan intelektual agar dapat berpartisipasi dalam hidup bernegara yang lebih adil.


BENTUK ADVOKASI

Masyarakat lemah dalam kasus-kasus sengketa pertanahan melawan penguasa (ekonomi) menurut pengalaman sekurang-kurangnya dapat dibagi menjadi beberapa jenis kategori menurut perspektif legalitas hukumnya, yaitu:

1. Kategori pertama: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang mempunyai sisa-sisa bukti formal berupa girik atau petok D;

2. Kategori kedua: Masyarakat korban pembebasan tanah secara paksa yang kehilangan surat-surat bukti hak;

3. Kategori ketiga: Masyarakat yang menempati dan mengelola tanah-tanah bebas yang tidak mempunyai alat bukti hak atas tanah, lalu berhadapan dengan korporasi yang memperoleh hak formal atas tanah negara;

4. Kategori keempat: Masyarakat yang kehilangan hak kolektif atas tanah karena perubahan status desa menjadi kelurahan.

Di luar keempat kategori tersebut dimungkinkan ada jenis lainnya.

Cara menilai aspek legalitas dari keempat jenis atau kategori tersebut sebagai berikut:

1. Kategori pertama: penegak hukum lebih mudah mengakui hak mereka, tetapi tidak jarang penegak hukum terjebak dalam pemikiran legal formal jika ternyata lawan masyarakat tersebut mempunyai alat bukti sertifikat hak atas tanah. Cara mereka berpikir adalah: sertifikat lebih kuat dibandingkan girik atau petok.
Cara berpikir ini mestinya tidak benar, sebab sertifikat hak atas tanah dimungkinkan untuk dibatalkan atau menjadi tidak sah jika diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar.

2. Kategori kedua: penegak hukum cenderung tidak mengakui hak masyarakat atas tanah yang tidak dibuktikan dengan alat bukti surat. Cara pikir itu juga keliru sebab bahkan dalam PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pun diatur cara pembuktian hak lama dengan keterangan kepala desa yang menerangkan penguasaan fisik tanah selama 20 tahun tanpa gangguan hak, jika alat bukti surat tidak ditemukan (pasal 24 ayat 2 jo. pasal 39 ayat 1 huruf b angka 1).

3. Kategori ketiga: Penegak hukum akan membela korporasi yang mempunyai alat bukti hak berupa sertifikat hak atas tanah dan cenderung tidak mau meneliti apakah sertifikat serta gambar situasi atau surat ukurnya sesuai kenyataan atau tidak.

4. Kategori keempat: Penegak hukum mengikuti ketentuan hukum administrasi negara sehingga tidak lagi mengakui hak kolektif masyarakat bekas pemilik hak kolektif atas tanah. Dalam hal ini tanah jatuh menjadi tanah negara.

Bentuk advokasi yang dilakukan berkaitan dengan sengketa pertanahan tersebut pada dasarnya sesuai prinsip manajemen. Advokasi hendaknya dilakukan secara terstruktur, sedapat mungkin beraliansi dengan organisasi lainnya termasuk merangkul kekuatan-kekuatan lokal baik organisasi kemahasiswaan, keagamaan, kepemudaan, paguyuban masyarakat yang ada dan lain-lain.

Pertama, ddvokasi dilakukan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi. dalam hal advokasi dilakukan secara sindikasi atau konsorsium maka perencanaan disusun secara bersama-sama, termasuk menyepakati target-target yang akan dicapai dan tindakan-tindakan lain ketika target serta tujuan tidak tercapai.

Kedua, memulai advokasi dengan membentuk kelompok belajar bagi warga: para pemuda, ibu-ibu, bapak-bapak, lalu mereka bertemu dalam bentuk paguyuban warga. Ini selanjutnya akan menjadi organisasi rakyat yang di dalamnya terdapat kepengurusan dan cara penggalangan dana perjuangan mereka. Organisasi perjuangan rakyat ini sangat penting agar pertama-tama terwujud manajemen gerakan masyarakat yang lebih rapi dan teratur, mampu menggerakkan semangat bersama, mengantisipasi segala keberhasilan dan yang penting siap menghadapi kegagalan-kegagalan.

Kegiatan belajar bersama yang materinya adalah tentang hukum pertanahan, HAM, organisasi pemerintahan akan memperkuat pengetahuan masyarakat yang selama ini lemah secara intelektual karena pendidikan mereka yang rata-rata rendah atau bahkan banyak yang tidak pernah sekolah.

Ketiga, menyusun strategi tentang arah perjuangan dan apa saja yang akan dilakukan oleh organisasi masyarakat yang diadvokasi. Dalam keadaan-keadaan tertentu terkadang penting untuk melibatkan struktur politik terlibat turut memberikan dukungan gerakan masyarakat untuk mencapai tujuan mereka. Kasus Margorukun Lestari Banyuwangi adalah contoh kurangnya dukungan jaringan organisasi dan struktur politik. Tetapi sebaliknya kasus tanah Desa Sendi Mojokerto mendapatkan dukungan yang amat luas, termasuk kekuatan politik lokal.

Dalam gerakan sosial itu hambatan yang paling sering terjadi adalah perpecahan di kalangan masyarakat sendiri yang memperlemah gerakan. Kadangkala dapat diatasi dan dapat dipersatukan tetapi banyak pula yang sulit dipersatukan.

Evaluasi advokasi dilakukan secara periodik dalam pertemuan-pertemuan evaluasi. Tak jarang bahkan dalam advokasi konsorsium terjadi kesalahpahaman dan perpecahan antar aktivis atau organisasi yang melakukan advokasi.

Keempat, setelah organisasi masyarakat terbentuk dan lebih matang dalam pengetahuan serta keberanian berargumentasi maka tiba saatnya melakukan hal-hal yang disepakati. Bagian-bagian organisasi masyarakat, misalnya: lobi, humas, hukum, penggalangan dana, pengorganisasian, pendidikan, dan lain-lain mulai digerakkan. Surat-menyurat dilakukan, mendatangai lembaga atau pejabat yang berwenang, mengumpulkan data-data sebanyak-banyaknya adalah sangat penting, serta menggalang dukungan seluas-luasnya, melakukan demonstrasi dalam hal upaya lobi dan korespondensi kurang mendapatkan perhatian.

Sedapat mungkin dalam advokasi untuk tidak terburu-buru mengajukan upaya hukum. Upaya hukum akan dilakukan jika terdapat tanda-tanda dukungan dari para penegak hukum. Untuk mencari dukungan penegak hukum maka organisasi masyarakat dan para pendampingnya harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi dengan para penegak hukum dalam rangka membuka wacana tentang persoalan yang dihadapi masyarakat.


PRINSIP ADVOKASI

Advokasi dilakukan hendaknya tidak dengan gaya berpikir legal formal atau positivistik. Advokasi pada prinsipnya adalah BERPIHAK KEPADA YANG LEMAH. Meski dalam hal ini tidak bermaksud untuk membenarkan suatu kesalahan.

Sebagai ilustrasi dalam melakukan advokasi dapat diberikan contoh penerapan hukum pada jaman Nabi Muhammad dan para khalifah yang adil, di mana para pencuri yang miskin diberikan ampunan dan negara diwajibkan untuk mengurusi kebutuhan keluarganya hingga mampu.

Tetapi dalam praktiknya di Indonesia terjadi hal yang sebaliknya, di mana dilakukan kriminalisasi kepada kaum lemah, dengan cara rekayasa hukum. Hukum ditegakkan dengan cara melanggar hukum. Orang yang miskin hidup di tanah negara dipenjara dengan alasan tidak mempunyai dasar hak, tetapi negara membiarkannya dalam keadaan miskin. Itu adalah contoh pelanggaran HAM oleh pemerintah sebab pemerintah (pusat dan daerah) wajib menegakkan dan memenuhi HAM warga negara (pasal 28 I ayat 4 UUD 1945).

Hal yang mendasar dalam negara hukum Indonesia yang selama ini dilupakan adalah pelaksanaan keadilan sosial. Dengan semakin banyaknya produk hukum yang disisipi kepentingan para pemilik kapital maka advokasi juga harus mengarah pada kontrol penyusunan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk tentang tataguna usaha tanah dan rencana tata wilayah.

Advokasi juga dilakukan dalam rangka menciptakan kemandirian sosial di mana rakyat tidak lagi bergantung kepada pemerintah.

Surabaya, 22 Januari 2009.