Rabu, 24 November 2010

Cara Cessie Penyelesaian Korban Lapindo

Dalam beberapa kali pernyataannya kepada media, PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) menarget penyelesaian pembayaran jual-beli tanah korban dalam peta area terdampak (PAT) 22 Maret 2007, hingga tahun 2012. Tentu saja itu melanggar ketentuan pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 yang menentukan batas waktu pelunasan selambatnya sebulan sebelum masa kontrak rumah dua tahun habis. Jika MLJ patuh hukum, dua tahun lalu mestinya sudah beres lunas.

Molornya penyelesaian pembayaran kepada korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 membawa dampak molornya penyelesaian pembayaran warga korban Lapindo di luar PAT 22 Maret 2007. Pasal 15B ayat (5) Perpres No. 40 Tahun 2009 (perubahan ke-dua Perpres No. 14 Tahun 2007) menentukan bahwa pembayaran penanganan masalah sosial kemasyarakatan di wilayah Desa Besuki, Desa Pejarakan, dan Desa Kedungcangkring (yang dibebankan APBN) dilakukan secara bertahap sisanya mengikuti tahapan setelah dilakukannya pelunasan oleh Lapindo Brantas sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2)

Sebenarnya pemerintah pusat melalui Menteri Keuangan pernah mengeluarkan surat bernomor S-358/MK.02/2009 tertanggal 16 Juni 2009 yang memberi jalan bagaimana caranya BPLS bisa memperoleh dana talangan. Namun, Lapindo menolak dana talangan tersebut. BPLS pun tak berkutik.

MLJ dan Lapindo Brantas Inc (Lapindo) badan hukum anak-anak Grup Bakrie, punya alasan sama soal molornya pembayaran kepada korban, yaitu kesulitan finansial. Tapi pernah juga MLJ mengutarakan alasan kesulitan bahwa tanah-tanah korban yang belum bersertifikat tak dapat diaktajual-belikan meski Kepala BPN sudah memberikan jalan atau petunjuk pelaksanaan. Kalau mau sengaja ruwet, memang ada saja alasannya.

Pemerintah dan BPLS tidak melakukan upaya hukum agar pasal 15 ayat (1) Perpres No. 14 Tahun 2007 ditegakkan. Ini merupakan salah satu bukti bahwa sebenarnya Perpres No. 14 Tahun 2007 dan segala perubahannya itu merupakan “hukum perkawanan” saja. Kalau rakyat kecil melanggar hukum langsung diingkel-ingkel.

Molornya upaya penyelesaian sosial untuk korban Lapindo dengan cara melanggar Perpres No. 14 Tahun 2007 jis Perpres No. 48 Tahun 2008 dan Perpres No. 40 Tahun 2009 itu sebenarnya sudah memenuhi unsur kejahatan pasal 304 KUHP yang menentukan bahwa barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Selanjutnya pasal 306 KUHP menentukan bahwa jika salah satu perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun enam bulan. Jika mengakibatkan kematian pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Salah satu jenis akibat yang disamakan dengan luka berat ini menurut pasal 90 KUHP adalah terganggunya daya pikir selama lebih dari empat minggu. Berdasarkan keterangan warga, sudah ada korban Lapindo yang gila permanen akibat penelantaran itu. Kalau para polisi mengetahui kewajiban hukumnya, dengan adanya dugaan permufakatan jahat yang sudah sering diberitakan media seperti itu, meskipun tak ada laporan korban atau masyarakat, maka kepolisian sudah harus menangkap dan memeriksa para pengurus MLJ, Lapindo dan BPLS.

Perbuatan penelantaran tersebut bisa masuk kategori kejahatan tertangkap tangan sebab dilakukan masih secara terus-menerus sejak sekitar September 2008 hingga sekarang dan masih berlangsung. Namun, sekali lagi, para penegak hukum selalu menggunakan doktrin hukum “ewuh pakewuh” untuk menegakkan hukumnya bagi kaum atas, sebaliknya menggunakan doktrin hukum “sak karepkku” dalam menindak orang-orang kecil. Maklum, ini bangsa yang masih kuno dan banyak yang belum sekolah.


Penyelesaian dengan cessie

Saya punya saran yang jika dilaksanakan maka tak akan bisa ditolak oleh Lapindo dan MLJ. Aburizal Bakrie pun tak akan bisa menolaknya meski korporasinya bisa melumpuhkan pasal 6 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, Perpres No. 14 Tahun 2007, dan hukum pajak.

Pemerintah membeli piutang warga korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 dengan dasar hukum doktrin hukum cessie dan pasal 613 BW (KUHPerdata). Menteri Keuangan dapat memberi arah penggunaan dana BPLS untuk membeli piutang korban Lapindo dalam PAT 22 Maret 2007 itu. Atau dapat menggunakan dana-dana pemerintah yang dianggarkan untuk penempatan belanja investasi atau sejenisnya. Kebijakan diskresi boleh ditempuh untuk penyelesaian keadaan darurat warga korban tersebut.

Syaratnya amat mudah. Dibuat akta cessie atau akta pengalihan piutang, dengan akta notariil atau bisa akta di bawah tangan. Setelah itu, pemerintah dan warga korban membuat surat pemberitahuan resmi (betekening) kepada MLJ dan Lapindo Brantas Inc. Dalam doktrin cessie, debitor itu pasif, tidak punya hak menolak. Praktik cessie ini lazim dipergunakan terutama dalam perbankan.

Setelah proses cessie selesai, pemerintah bisa langsung menagih MLJ dan Lapindo sebab piutang warga korban Lapindo sudah jatuh tempo dua tahun lalu. Jika MLJ dan Lapindo tak punya uang atau asset, pemerintah menagih kepada perusahaan induknya. Dasar hukumnya adalah doktrin instrumental sesuai dengan teori piercing the corporate veil dalam hukum korporasi modern.

MLJ dan Lapindo itu badan hukum yang tidak independen, hanya alat usaha korporasi induknya, sehingga prinsip pertanggungjawaban terbatas dalam Perseroan Terbatas atau badan hukum akan dikecualikan dengan menerapkan doktrin hukum korporasi modern tersebut. Setelah MLJ dan Lapindo melunasi utangnya, barulah hak atas tanah pada danau lumpur itu bisa diurus permintaan hak dan pendaftarannya.

Warga korban Lapindo tak hanya ditelantarkan, tapi juga dihisap para koordinatornya dengan dipungut potongan dan iuran macam-macam. Ini keluhan mereka yang sudah pernah dimuat media juga, tapi BPLS dan kepolisian juga tenang-tenang.

Jika Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur peduli, apa susahnya membeli piutang warga korban Lapindo? Agar derita para korban sedikit terkurangi.

Oleh: Subagyo, Ketua Dewan Pertimbangan Lembaga Hukum & HAM Keadilan Indonesia (LHKI) Surabaya.

Jumat, 06 Agustus 2010

Reformasi Hukum Ala Keong

Ada sebuah cerita dari nelayan Jepang. Ia memamerkan ikan tuna besar hasil tangkapannya. Katanya, ia menangkap ikan tuna tersebut dari perairan laut Indonesia. Ia tebarkan jaring ke perairan Indonesia, lalu ia berada di luar batas perairan Indonesia agar tidak bisa ditangkap petugas Indonesia. Itu contoh pencuri yang mengakali penegak hukum. Memang, ikan tuna asal Indonesia itu tak punya KTP Indonesia. Kita sedih melihat pencurian ikan laut Indonesia karena nelayan Indonesia masih miskin kumus-kumus.

Thailand tak punya laut, tapi bisa mengekspor ikan senilai 4 miliar USD pertahun. Indonesia kaya laut, tapi hanya bisa ekspor sekitar 2 miliar USD pertahun. Ke mana ikan-ikan lautan Indonesia? Yang jelas tidak sedang mengungsi ke Jepang, Thailand, Singapura, Tiongkok atau Taiwan, tapi dicuri. Itu salah satu contoh, yang dalam banyak hal kita menjadi bangsa linglung, karena mentalnya yang terjajah. Reformasi hukum yang diharap bisa menegakkan kedaulatan Indonesia kadang menghasilkan hukum yang bersekutu dengan para penggarong Indonesia.

Maret 1933, Bung Karno di Pengalengan Jawa Barat menulis bahwa masyarakat intransformasi diistilahkannya sebagai masyarakat ‘sakit’, sedang berganti bulu, makanya bangsa Indonesia yang besar bisa dijajah oleh imperialis kecil Eropa. Imperialisme itu anak dari kapitalisme, kata Bung Karno. Kapitalisme tua melahirkan imperialisme tua. kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen Seperti tak dapat dipungkiri hingga saat ini kapitalisme moderen melahirkan imperialisme moderen yang membuat bangsa Indonesia tetap menjadi bebek, tertatih-tatih dalam bernegara, terlalu bodoh untuk memikirkan nasib bangsa dan negara, tapi pintar untuk sekadar penjadi tikus-tikus pengerat terhadap bangsa dan negaranya sendiri, bersekongkol dengan asing untuk meludeskan kekayaan Indonesia. Mental terjajah itu benar-benar menyublim, membatu ke dalam jiwa bangsa Indonesia, terwariskan dari generasi ke generasi.

Terlalu banyak dimensi sebagai bukti ketertundukan bangsa ini. Umat hanya berputar-putar untuk memikirkan masing-masing nasib sendiri, langka dengan semangat kolektivitas untuk mewujudkan kebesaran Indonesia. Salah satu bukti tersebut adalah reformasi bidang hukum yang berjalan tleyak-tleyek, klemak-klemek, loyo seperti jalannya keong di atas lumpur. Para penegak hukum sibuk memikirkan kesenangan diri, mengabaikan tanggung jawab publik mereka. Taruhlah contoh kasus penyalahgunaan narkoba yang diduga dilakukan terdakwa Hany Risdiansya yang diadili di Pengadilan Negeri Surabaya (diberitakan hampir semua media di Surabaya, 1 – 2 /2/2008) yang memunculkan kisah tabiat buruk para jaksa di negara ini. Jaksa tak hanya meminta uang, cermin mental pengemis, tapi juga ‘meminta’ isteri terdakwa. Bagaimana negara bisa merekrut penegak hukum seperti itu? Itu tak akan terjadi jika tidak pada budaya hukum yang korup. Masyarakat lebih banyak disandera kekuasaan hukum oleh para pejabat penegak hukum. Tak ada perlawanan berarti, cermin kaum tunduk terjajah.

Jika dikuliti sebenarnya bukan hanya satu kasus itu yang terjadi. Boleh jadi setiap hari ada ‘transaksi’ jual-beli hukum dan keadilan yang terdapat di ruang-ruang tersembunyi. Dalam sebulan ini saja saya menerima keluh-kesah tentang seorang tersangka penggelapan gitar yang dimintai penyidik (polisi) uang Rp. 10 juta, kasus kecelakaan lalu-lintas orang kurang mampu yang dimintai uang Rp. 1,5 juta oleh polisi, kasus korupsi kredit usaha tani (KUT) yang disimpan penyidik di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur selama tiga tahun dengan alasan: “Wis gak ana sing iso digraji.” (tak ada tersangka yang mampu dimintai uang). Ada juga orang Jepang yang geram sebab berkas perkara pidananya dipingpong selama tiga tahun di Polwiltabes Surabaya dan Kejaksaan Negeri Surabaya. Ada juga seorang ibu-ibu tua tidak mampu di Surabaya yang kasusnya disimpan di Polwiltabes Surabaya selama 9 (sembilan) tahun dan berujung mengenaskan sebab akhirnya penyidikannya dihentikan dan saksi kuncinya meninggal dunia sebelum si ibu tua pencari keadilan itu mendapatkan keadilan. Si ibu tua itu mengeluh, katanya dahulu ia dibantu para pengacara ‘sosial’ yang biasa parkir di pengadilan, tapi di tengah jalan ‘diterlantarkan.’ Pasti ada sebabnya. Menyedihkan.

Itu kasus-kasus yang luput dari pemberitaan media dan memang media hanya mampu memberitakan sedikit saja dari banyaknya kasak-kusuk penegak hukum. Herannya juga tak ada wartawan yang ‘berani’ menginvestigasi kebobrokan advokat Indonesia, tapi malah lebih banyak menulis kebaikannya. Padahal dunia advokat juga simpul penegakan hukum yang harus dikontrol oleh media. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pengacara Indonesia, Sugeng Teguh Santoso mengatakan profesi advokat sudah menjadi profesi bisnis sehingga kepentingan advokat adalah kemenangan kliennya. Seringkali masyarakat tidak mengenal advokat sebagai penegak hukum, tetapi sebagai trouble maker (Kompas, 29/6/2004).

Seperti halnya korupsi di Indonesia merajalela. Dari tahun ke tahun Indonesia melahirkan para wakil rakyat dan pejabat nggragas, tukang caplok uang rakyat. Kalkulator Indonesia sudah tak sanggup menampung angka kerugian negara dan jumlah koruptor di Indonesia. Padahal, ketika KUHP dirasa tidak cukup dibuat Undang-undang untuk memberantas korupsi (pidana khusus): UU No. 3/1971 (jaman Orde Baru), diubah dengan UU No. 31/1999, diperbaharui dengan UU No. 20/2001. Apa hasilnya? Korupsi malah menjadi hamparan ‘perkebunan’ di republik ini. Koruptor menjadi peternakan yang beranak-pinak. Para polisi, jaksa dan hakim malah bebas menjual hukum. Para advokat menikmati suasana itu sebagai ‘berkah’.

Kalau masih banyak masyarakat yang mengeluh menjadi korban ’pemerasan’ penegak hukum, itu tanda bahwa tak ada kemajuan apa-apa dalam mereformasi hukum Indonesia. Indonesia tak akan benar-benar menjadi negara dan akan terus didera bencana jika hukumnya tak mampu melindungi ketertiban dan keamanan masyarakat. Pun hanya hukum yang bermental keong dan tunduk kepada uang yang membiarkan kehancuran lingkungan, membawa petaka longsor dan banjir di mana-mana, di samping raibnya kekayaan dan uang negara. Kapan kita melepas mental keong terjajah?