Rabu, 14 Mei 2008

ANALISIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

TENTANG

SENGKETA ANTARA WARGA PETANI MARGORUKUN LESTARI BANYUWANGI DENGAN PTPN XII



  1. KASUS POSISI


Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi (selanjutnya disebut warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun korporasi manapun.

Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.

Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007.

Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.

Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata, ”Tanae embahe seng kok tiduri!” (Terjemahan: ”Tanah nenekmu yang kamu tiduri ya!”).

Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.

Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.

Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka.

Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.

Selanjutnya upaya-upaya pengusiran paksa terhadap warga petani Margorukun Lestari terus terjadi, termasuk dengan cara-cara kriminalisasi, hingga mereka para petani tersebut mengungsi di DPRD Banyuwangi dan setelah itu juga diusir oleh Kepolisian Resor Banyuwangi bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2008.



  1. MASALAH


    1. Bagaimanakah kedudukan hak hukum antara warga petani Margorukun Lestari dibandingkan dengan PTPN XII terhadap lahan seluas sekitar 568 hektar tersebut?


    1. Bagaimanakah konsekuensi upaya penyelesaian yang telah dilakukan PTPN XII dan Kepolisian dalam perkara tersebut?



  1. ANALISIS


    1. Komparasi Kedukukan Hak Warga Petani Margorukun Lestari dengan PTPN XII Atas Lahan Sengketa.


Perlu dipahami lebih dulu bahwa perkara atau sengketa antara warga dengan PTPN XII merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan adalah warga petani tersebut. Setelah itu PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya dengan alas hak PTPN XII adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No. 5 tahun 1988, sertifikat HGU No. 16 tahun 1988, dan sertifikat HGU No. 11 tahun 1999.

Sebenarnya secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.

Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat 2).

Artinya, warga negara Indonesia mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan baik.

Masyarakat petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka.

Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.

Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam pemberian HGU kepada PTPN XII tersebut sebab mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14). Jika PTPN XII memperoleh alas hak berdasarkan sertifikat HGU tahun 1988 maka pada waktu itu berlaku PP No. 10 / 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang juga mengatur prosedur pengumpulan data fisik dan yuridis. Tetapi ternyata pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. Ini yang secara hukum dikatakan sebagai manipulasi pengumpulan data fisik, sehingga konsekuensinya adalah cacat yuridis.

Jika dilihat dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih dulu untuk mengajukan permohonan hak milik. Hukum Agraria bukanlah seperti lomba lari cepat, siapa yang mencapai garis finish yang dianggap memenangkan pertandingan, tapi hal ini berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat. Artinya, seharusnya dalam proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Seharusnya warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut mempunyai hak prioritas. Jika ini dilanggar maka sertifikasi HGU tanah sengketa atas nama PTPN XII adalah melanggar HAM, terutama hak untuk bertempat tinggal dan hak untuk mendapatkan keadilan serta akses ekonomi atas tanah negara yang mereka kuasai lebih dulu.

Hakikat Hukum Agraria bersifat menciptakan keadilan sosial sebagaimana menurut pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. PTPN XII tidak boleh dengan alasan legal formal sebagai pemegang HGU lantas menyingkirkan warga dengan cara yang kasar sebab hal itu melanggar Hukum Agraria yang berkeadilan sosial. Pasal 2 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan juga menentukan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Warga sebagai warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara. Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa ataupun pihak-pihak lain.

Jadi, pemberian HGU atas lahan yang telah ditempati warga petani Margorukun Lestari tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial, melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Seandainya pernah ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga petani Margorukun Lestari selaku pihak yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh HGU atas tanah tersebut barulah PTPN XII berkomunikasi dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah.

Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan kehendak pemerintah pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.

Ketidakadilan sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah berat bagi pemerintah sendiri.

Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti itulah maka warga petani Margorukun Lestari dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.



    1. Pelanggaran HAM dan Tindakan Penyelesaian


Tindakan PTPN XII dan Kepolisian yang melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat petani tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kategori Kejahatan Kemanusiaan sebagaimana pasal 7 huruf b jo. pasal 9 huruf d UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan ancaman pidana penjara sekurang-kurangnya 10 tahun penjara dan selama-lamanya 25 tahun penjara (pasal 37), sebab tindakan tersebut melampaui batas hukum atau bahkan tanpa adanya perintah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pemidanaan terhadap 24 warga petani Margorukun Lestari di Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak dapat dieksekusi dengan cara pengusiran sebab eksekusi dalam putusan pidana adalah ‘pemidanaan’.

Fakta pengusiran paksa secara sistematis dilakukan dengan cara merusak tanaman warga, membongkar paksa serta membakar rumah, menganiaya, menakut-nakuti serta memaksa menandatangani perjanjian penyerahan lahan. Cara-cara itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menumbulkan penderitaan berat bagi warga petani Margorukun Lestari.

Persoalan bahwa legalitas tempat tinggal warga petani Margorukun Lestari, jika masih dalam sengketa maka merujuk pada fungsi sosial tanah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan dalam hal ini setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan pemerintah wajib memenuhinya. (pasal 28H ayat (1) jo. pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Jika PTPN XII melaporkan warga telah melakukan tindak pidana menurut UU No. 18/2004 tentang Perkebunan pasal 21 jo. 47 ayat (1) dan pasal 335 KUHP, maka warga pun dapat melaporkan para petinggi PTPN XII serta aparat Kepolisian yang terlibat, termasuk Kapolsek Kalibaru, Kapolres Banyuwangi serta para pejabat Kepolisian pengerah pasukan BRIMOB tersebut sebagai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat. Laporan tersebut dialamatkan ke Komnas HAM yang berwenang sebagai penyelidik. Tetapi karena perkara tersebut sudah masuk kategori ‘diketahui umum’ maka Komnas HAM bisa mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah projustisia guna membawa persoalan tersebut ke Pengadilan HAM.

Kepolisian sendiri seharusnya juga melakukan tindakan hukum penyidikan berkaitan dengan adanya perusakan hutan lindung oleh PTPN XII di wilayah operasional mereka di PTPN XII UUS Malangsari. Ini juga berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Dengan pembiaran adanya kejahatan lingkungan hidup tersebut menunjukkan bahwa negara juga melanggar (by ommision) HAM.

Dengan demikian, selain masalah pelanggaran HAM beratnya diajukan ke Pengadilan HAM maka pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan Pusat harus mengambil langkah-langkah guna memenuhi, menegakkan dan melindungi HAM warga petani Margorukun Lestari serta warga di sekitar hutan lindung yang dikelola PTPN XII. Hak-hak yang harus dipenuhi diantaranya hak atas lingkungan yang baik, tempat tinggal serta hak-hak ekonomi. Hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana ditentukan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.



KESIMPULAN


  1. Warga petani Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi sebenarnya mempunyai kedudukan hak yang sama dengan PTPN XII dalam memperoleh hak atas tanah. Warga petani Margorukun Lestari tersebut seharusnya mempunyai hak prioritas sebab lebih dulu menguasai dan mengelola tanah negara bebas tersebut. Perolehan HGU oleh PTPN XII dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi sebagai itikad tidak baik adalah cacat hukum sehingga warga petani Margorukun Lestari dapat mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah dan PTPN XII dalam soal itu agar negara memperlakukan warga secara adil untuk memperoleh hak milik atas tanah dari negara yang wajib memberikannya.


  1. Penyelesaian perselisihan antara warga dengan PTPN XII tersebut upaya-upaya represif berupa pengusiran paksa penduduk dari sebuah wilayah, yang dilakukan oleh PTPN XII, para Polisi yang merupakan kejahatan kemanusiaan, merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM yang berwenang selaku penyelidik kasus pelanggaran HAM dapat secara inisiatif melakukan tindakan projustisia untuk menyelidiki kasus tersebut agar nantinya dapat diadili di Pengadilan HAM. Tindakan pengusiran paksa terhadap komunitas masyarakat yang dilakukan sistematik ataupun dengan akibat meluas merupakan kejahatan kamanusiaan yang diancam pidana penjara minimum 10 tahun dan maksimum 25 tahun, berdasarkan UU No. 26/2000 pasal 7 huruf b jis. pasal 9 huruf d dan pasal 37.


Tidak ada komentar: