Kamis, 05 Juni 2008

Pelanggaran HAM Berat Kasus Lumpur Lapindo

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) BERAT

DALAM KASUS LUMPUR LAPINDO

A. ABSTRAK


Jika dilihat dari hasil investigasi tentang proses eksplorasi di Sumur Banjar Panji 1 Sidoarjo yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. (selanjutnya disebut Lapindo, atau banyak disingkat menjadi LBI), termasuk temuan fakta-fakta pelanggaran berbagai peraturan perundang-undangan tentang syarat-syarat perizinan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (disingkat migas), tatacara penanggulangan semburan lumpur Lapindo serta upaya-upaya masalah sosialnya, maka akibat yang menimpa masyarakat korban lumpur Lapindo sudah dapat diprediksi sebelumnya.

Dengan melihat begitu besarnya intensitas, kualitas serta meluasnya penderitaan (great suffering) masyarakat korban lumpur Lapindo yang tidak memperoleh perlindungan khusus dan responsif dari pemerintah maka dalam kasus lumpur Lapindo tersebut telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang melibatkan para pengambil keputusan korporasi di Lapindo, induk korporasinya serta para pejabat pemerintah pengambil keputusan. Maka perkara tersebut harus diajukan dalam Pengadilan HAM. Jika pemerintahan Indonesia tidak dapat menuntaskan persoalan tersebut maka perkara itu dapat diajukan dalam Forum Internasional sesuai dengan prinsip Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (disingkat UU No. 39 Tahun 1999).

B. PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Persoalan HAM yang berkaitan dengan jenis-jenis pelanggaran HAM yang diuraikan dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (disingkat UU No. 26 Tahun 2006) tidak dapat dilepaskan dari ketantuan Hukum Pengadilan HAM Internasional yaitu: Roma Statute of The International Criminal Court yang dideklarasikan di Roma 17 Juli 1998 (selanjutnya disebut Statuta Roma), yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi pelanggaran HAM berat oleh UU No. 26 Tahun 2000.

Tampaknya ketentuan hukum HAM tersebut belum dilaksanakan konkrit di Indonesia dengan berbagai contoh kasus yang direkomendasikan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional HAM (Komnas HAM) – berdasarkan hasil investigasi yang mendalam – seperti pada kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur (kini negara Timor Leste) yang membuahkan putusan bebas terhadap seluruh terdakwa dan kasus Trisaksi-Semanggi I dan II yang ditolak oleh Kejaksaan. Hal itu menunjukkan bahwa pemerintahan Indonesia belum serius dalam upaya menegakkan HAM di negara ini. Tetapi hal itu tidak akan menyurutkan bangsa ini untuk terus berusaha melakukan perubahan-perubahan.

Tulisan ini bermaksud membuat korelasi antara kasus semburan lumpur Lapindo yang telah menjadi tema internasional itu dengan penegakan HAM di Indonesia. Seperti diketahui umum – telah menjadi fakta yang tak perlu lagi dibuktikan sebab telah menjadi pengetahuan umum – kasus lumpur Lapindo telah mengakibatkan penderitaan yang meluas dan luar biasa (great suffering) bagi ribuan korban yang harus hidup dalam pengungsian yang jauh dari kelayakan hidup normal.

Untuk menjaga obyektivitas tulisan ini, dalam hal kronologi peristiwa dan temuan-temuan yang berkaitan dengan proses perolehan izin serta peralihan kepemilikan Blok Brantas maka penulis akan lebih banyak menggunakan hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku lembaga negara yang telah secara lebih teliti dan detil melakukan investigasi dengan memeriksa seluruh dokumen penting yang ada di pemerintah maupun milik Lapindo dan induknya yaitu PT. Energy Mega Persada, Tbk. (EMP).

Dalam perspektif hukum pembuktian, hasil audit BPK tersebut merupakan alat bukti surat otentik yang memuat kebenaran formil sekaligus kebenaran materiil sebab hasil audit tersebut didasarkan pada penyelidikan dan temuan-temuan fakta materiil. Wewenang BPK melakukan audit terhadap pengelolaan Blok Brantas yang merupakan aset atau kekayaan negara didasarkan pada UU No. 15/2006 tentang BPK dalam rangka audit kinerja atau untuk tujuan tertentu (pasal 6 ayat (3)) sehingga hasil auditnya merupakan dokumen atau surat otentik sebagai salah satu bentuk alat bukti perkara.

Hasil audit BPK untuk kasus lumpur Lapindo tersebut tertanggal 29 Mei 2007, diantaranya menjelaskan sebagai berikut:

1. Kasus semburan lumpur itu bermula dari peristiwa eksplorasi Sumur Banjarpanji-1 (BJP-1) Sidoarjo, dimulai pada tanggal 8 Maret 2006. Lapindo sebagai operator Blok Brantas telah menunjuk PT. Medici Citra Nusa (MCN) sebagai pemenang tender kontrak pengeboran, berdasarkan kontrak Integrated Drilling Project Management Contract (IDPMC) No. Con-0144/DRLG/2005 tanggal 23 Desember 2005 dengan nilai kontrak sebesar US$24,054,625.33, untuk melakukan pengeboran 5 (lima) sumur di Blok Brantas termasuk Sumur BJP-1. Aktivitas pengeboran telah berlangsung selama 80 hari, pada saat terjadi semburan lumpur panas di sekitar Sumur BJP-1 pada tanggal 29 Mei 2006 (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

2. Dengan IDPMC, PT. MCN sebagai kontraktor utama bertanggungjawab terhadap semua pekerjaan yang terkait dengan eksplorasi sumur seperti cementing, mud lodging, penyediaan peralatan pemboran (rig) maupun pekerjaan terkait lainnya. PT. MCN telah menunjuk beberapa sub kontraktor pelaksana sebagai berikut :

PT. Halliburton Indonesia untuk pekerjaan cementing equipment and services dan directional drilling services.

PT. MI Indonesia untuk pekerjaan mud material and services.

PT. Baker Atlas Indonesia untuk pekerjaan wireline logging services.

PT. Elnusa untuk pekerjaan mud logging services.

PT. Tiga Musim Mas Jaya untuk pekerjaan drilling rig contracto.

PT. Asri Amanah untuk pekerjaan drilling waste managemen.

PT. MI Swaco untuk pekerjaan verti “G” dryer.

PT. Fergaco untuk pekerjaan H2S monitoring services.

3. PT. MCN bersama dengan perusahaan-perusahaan sub kontraktornya memulai pemboran pada tanggal 8 Maret 2006 dan terus berlangsung hingga tanggal 29 Mei 2006. Pada tanggal 29 Mei 2006 pukul 4.30 WIB sekitar 200 meter arah barat daya dari Sumur BJP-1 muncul erupsi (semburan) lumpur panas yang kemudian dikenal dengan Lumpur Sidoarjo. Pada saat terjadinya semburan PT. MCN (dan LBI) belum menurunkan/memindahkan rig (peralatan pemboran) (Laporan Audit BPK, 29 Mei 2007).

4. Pada awalnya, Blok Brantas, lokasi terjadinya semburan, dikelola oleh operator Huffco Brantas Inc, sebuah perusahaan milik pengusaha Texas, Terry Huffington yang didirikan berdasarkan wilayah hukum negara bagian Delaware USA, berdasarkan kontrak production sharing contract (PSC) antara Pertamina dengan Huffco Brantas Inc, yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1990. Huffco Brantas Inc sebagai operator mengalami perubahan nama menjadi Lapindo Brantas Inc pada tanggal 11 April 1996. Setelah mengalami perubahan nama, kepemilikan Lapindo Brantas Inc dijual atau dialihkan kepada PT. Ladinda Petroindo pada tanggal 17 April 1996. Sejak saat itu kepemilikan atas Lapindo Brantas Inc. mengalami beberapa kali perubahan. Lapindo Brantas Inc terakhir dimiliki oleh PT. Kalila Energy Ltd (82,42%) dan Pan Asia Enterprises (15,76%). Kedua perusahaan tersebut dimiliki oleh PT. Energi Mega Persada (99,99%). Dalam operasi migas di Blok Brantas, LBI selain bertindak sebagai kontraktor dengan participating interest sebesar 50%, juga bertindak sebagai operator dengan participating partners PT. Medco Brantas E&P (32%) dan Santos Brantas Pty Ltd (18%) sesuai dengan Joint Operating Agreement (JOA) Blok Brantas. Participating partner, kontraktor dan pemilik operator Blok Brantas telah mengalami beberapa kali perubahan yaitu:

- Pada tahun 1990, Blok Brantas dimiliki 100% oleh Huffco Brantas Inc.

- Pada tahun 1992, pemilik Blok Brantas berubah menjadi Huffco Brantas Inc, Inpex Brantas Inc dan Norcen Brantas Ltd masing-masing dengan partisipasi sebesar 20% serta Oryx Indonesia Brantas Coy dengan partisipasi 40%.

- Pada tahun 1996, Oryx Brantas Coy berubah nama menjadi Novus Indonesia Brantas Coy.

- Pada tahun 1996, kepemilikan Blok Brantas berubah menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Coy masing-masing 50%.

- Pada tahun 1997, Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Inc mengalihkan masingmasing 5% partisipasinya kepada PT. Sarimbi Menur Sari sehingga komposisinya menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Brantas Inc masing-masing 45% dan PT. Sarimbi Menur Sari 10%.

- Pada tahun 1998, pemilik Blok Brantas menjadi Lapindo Brantas Inc dan Novus Indonesia Brantas Pty Ltd masing-masing 50%.

- Pada tahun 2004, Novus Indonesia Brantas Pty Ltd menjual sebagian partisipasinya (18%) kepada Santos Brantas Pty Ltd.

- Posisi terakhir pemilik Blok Brantas adalah Lapindo Brantas Inc, PT Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd dengan participating interest masing-masing sebesar 50%, 32% dan 18%. LBI bertindak pula sebagai operator, sementara Medco E&P Brantas dan Santos Brantas Pty Ltd sebagai participating partners.

5. Pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Inpex Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Novus Indonesia Brantas Coy, dan pengalihan 20% keseluruhan participating interest dari Norcen Brantas Ltd kepada perusahaan non afiliasi, Lapindo Brantas Inc hanya berdasarkan persetujuan Pertamina/BP Migas, tanpa mendapat persetujuan dari Pemerintah (Departemen ESDM). BP Migas/Pertamina dan Pemerintah perlu memberikan persetujuan perubahan participating interest kepada perusahaan non afiliasi untuk menjamin kompetensi finansial, teknis dan keahlian profesional lainnya dari participating partner baru untuk melaksanakan PSC. Pengalihan participating interest di atas tidak sesuai dengan PSC section V article 5.1.2 yang antara lain mengatur bahwa pengalihan keseluruhan hak dan participating interest kepada perusahaan non afiliasi dapat dilakukan setelah disetujui terlebih dahulu oleh Pertamina dan Pemerintah. BP Migas menjelaskan bahwa pengalihan interest ini dikategorikan sebagai pengalihan sebagian participating interest yang sesuai dengan PSC hanya memerlukan persetujuan dari Pertamina/BP Migas. BPK-RI berpendapat bahwa penjelasan tersebut tidak sejalan dengan PP No. 35 tahun 1994 yang memberikan wewenang kepada Menteri ESDM untuk menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan nasional jika terjadi pengalihan participating interest kepada pihak non afiliasi. Untuk melaksanakan ketentuan ini, maka Pemerintah perlu mengawasi perubahannya.

6. Terdapat sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh LBI sebelum memulai pemboran Sumur BJP-1 di antaranya adalah ijin lokasi pemboran dan ijin gangguan dari Pemda Sidoarjo. Selain itu peralatan dan personil pemboran harus disertifikasi oleh Departemen ESDM. Di samping itu, dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) juga harus telah disetujui oleh Ditjen Migas. Semua persyaratan di atas telah dipenuhi, sehingga LBI dapat memulai pemboran Sumur BJP-1. Hasil pemeriksaan menunjukkan beberapa pelanggaran ketentuan yang terkait dengan pemberian ijin lokasi oleh Pemda Sidoarjo, yaitu :

a. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh LBI yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman, yaitu Sumur Wunut-3, Wunut-4, Wunut-5, Wunut-6, Wunut-16 Wunut-20, dan Carat-1. Sementara Sumur Wunut-19 dan Carat-2 letaknya juga diperkirakan kurang 100 meter dari sarana umum dan pipa gas. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur Migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul. Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967.

b. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda No.16 tahun 2003. Peruntukan lokasi tanah dimaksud sesuai Perda tersebut adalah untuk kegiatan industri non kawasan. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada LBI, Perda No. 16 tahun 2003 tersebut belum direvisi. Pemda Kabupaten Sidoarjo mengakui bahwa pemberian ijin lokasi ekplorasi Sumur BJP-1 di pemukiman tersebut tidak sesuai dengan aturan dalam Inpres No. 1/1976 dan UU No. 11/1967 karena bukan sumur eksploitasi tetapi hal itu dilakukan karena tidak tersedianya aturan yang lebih teknis. Terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas.

7. Berkaitan dengan pelanggaran kaidah keteknikan yang baik BPK menjelaskan:

a. PT MCN sebagai kontraktor pemboran belum berpengalaman yang memadai untuk melaksanakan pekerjaan IDPM. Company profil PT MCN menunjukkan bahwa perusahaan tersebut baru memiliki pengalaman satu kali dalam menangani kontrak sejenis IDPM yaitu kontrak integrated drilling service (IDS) dari Semco pada tahun 2001. Kurangnya pengalaman akan meningkatkan risiko pekerjaan gagal dan berlarut-larut. LBI menjelaskan bahwa penunjukkan PT. MCN tersebut telah melalui proses tender terbuka yang highly regulated procurement process dan telah mendapat persetujuan BP Migas.

b. PT. MCN dan sub kontraktornya menggunakan personel (drilling crew) yang kurang memiliki kemampuan dalam melaksanaan pekerjaan pemboran. Berdasarkan daily drilling report disebutkan bahwa beberapa kegagalan pelaksanaan kegiatan disebabkan rendahnya kualitas personel, misalnya adanya indikasi ketidakmampuan drilling crew dalam mengoperasikan peralatan pemboran. LBI menjelaskan bahwa personil tersebut telah bersertifikat Pusat Pelatihan Tenaga Pengeboran Minyak (PPT Migas Cepu) dan telah menyampaikan CV sebelum ditunjuk untuk bekerja di Sumur BJP-1.

c. Peralatan pemboran yang digunakan oleh PT MCN dan subkontraktor sering mengalami kerusakan. Selain itu juga ada indikasi penggunaan suku cadang bekas/kualitas rendah maupun kanibalisme suku cadang antar perlatan. Kondisi tersebut mengindikasikan tidak tersedianya peralatan dan suku cadang yang berkualitas secara memadai sehingga meningkatkan risiko kegagalan kegiatan dan berlarut-larutnya pelaksanaan kegiatan. Keterlambatan pelaksanaan pemboran yang disebabkan oleh hal-hal tersebut mencapai kurang lebih 27 hari. LBI menjelaskan bahwa kontrak IDPM telah dibuat untuk melindungi kepentingan LBI jika kondisi di atas terjadi dan PT. MCN cedera janji.

8. Soal adanya dugaan faktor kesalahan manusia sebagai penyebab semburan lumpur Lapindo itu BPK menjelaskan:

a. Konsultan PT. Exploration Think Tank Indonesia (PT. ETTI) yang membantu BPK RI untuk mengidentifikasi penyebab semburan menyatakan bahwa penanganan kick dengan menggunakan lumpur yang beratnya melebihi kekuatan formasi batuan pada kedalaman 3.605 kaki telah mengakibatkan pecahnya formasi batuan (batu lempung) sekitar kedalaman tersebut dan keluar melalui lubang bor, lalu mengikuti rekahan yang ditimbulkan untuk akhirnya muncul di permukaan pada tanggal 29 Mei 2006 di dua tempat yang berbeda yaitu di dalam lokasi rig dan di luar lokasi rig (150-200 meter dari Sumur BJP-1). PT ETTI menegaskan bahwa eksplorasi Sumur BJP-1 telah memicu terjadinya semburan lumpur ke permukaan.

b. Pihak LBI/PT MCN sampai dengan tanggal 27 Mei 2006 telah mengebor Sumur BJP-1 sampai dengan kedalaman 9.297 kaki. Namun demikian, casing baru dipasang sampai kedalaman 3.580 kaki. Hal ini berarti ada bagian lubang sumur yang belum dipasang casing atau dibiarkan tetap terbuka (open hole) sedalam 5.717 kaki (antara kedalaman 3.580 kaki ke 9.297 kaki). Open hole yang panjang tersebut mempunyai pengaruh terhadap kecepatan dan ketepatan penyelesaian well problem seperti well kick dan loss.

c. Ada indikasi operator terlambat menutup Sumur BJP-1 sejak terjadinya kick pada kedalaman 7.415 kaki. Penutupan sumur baru dilakukan pada saat mata pipa bor berada pada kedalaman 4.241 kaki dengan besaran kick jauh di atas toleransi. Keterlambatan menutup sumur tersebut mengakibatkan kick tidak tertangani secara benar yang pada akhirnya mengakibatkan underground blowout.

d. Selain hal-hal tersebut di atas, ada indikasi tidak dilakukannya prinsip kehati-hatian dalam proses pencabutan pipa bor. Selama pencabutan pipa bor sejak kedalaman 9.297 kaki telah terjadi indikasi adanya partial loss maupun displasemen lumpur yang sulit diatasi. Namun demikian pencabutan pipa tetap dilakukan sehingga hal tersebut akhirnya menginduksi terjadinya kick.

9. Selanjutnya BPK menjelaskan bahwa pendapat BPK RI tersebut di atas sejalan dengan pendapat beberapa ahli dan instansi lain mengenai semburan lumpur Sidoarjo. Pendapat-pendapat tersebut antara lain adalah sebagai berikut:

a. Berita Acara tanggal 8 Juni 2006 tentang penanggulangan kejadian semburan lumpur di sekitar Sumur BJP-1 menyatakan bahwa BP Migas maupun LBI sepakat semburan tersebut sebagai akibat dari underground blowout. Semburan diduga berasal dari 2 (dua) zona yang berbeda yaitu overpressure zone dan Formasi Kujung (formasi batuan gamping) dan mengalir ke permukaan melalui zona patahan yang telah ada.

b. Hasil pengujian oleh LBI Perbandingan data ekstrapolasi temperatur pada saat melakukan logging dengan data temperatur lumpur dan air yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa sumber air diperkirakan berasal dari Formasi Kujung dan adanya kontribusi dari lapisan sandstone pada kedalaman di bawah 6.300 kaki. Uji analisa korelasi geokimia indeks kematangan batuan dengan membandingkan contoh cutting Sumur BJP-1 dengan lumpur yang keluar dari semburan menunjukkan lumpur yang keluar kemungkinan berkorelasi dengan sedimen shale pada kedalaman 5.600 kaki di Sumur BJP-1. Oleh karenanya, diasumsikan sumber lumpur berasal dari interval kedalaman 5.100 kaki s.d. 6.300 kaki. Uji analisa fosil formanifera dengan membandingkan contoh cutting pemboran Sumur BJP-1 dan lumpur yang keluar dari sumber semburan menunjukkan bahwa asal lumpur yang keluar dari pusat semburan berkorelasi dengan kedalaman 4.000 s.d. 6.000 kaki di Sumur BJP-1.

c. Laporan Loss Adjuster Matthews Daniel International, Pte, Ltd tanggal 5 Desember 2006 menyimpulkan bahwa semburan lumpur yang berkelanjutan merupakan hasil dari keluarnya cairan yang berasal dari Sumur BJP-1 dimana cairan tersebut berpindah ke permukaan melalui formasi geologis.

d. Pernyataan PT Energi Mega Persada Tbk (pemilik LBI) dalam press release tanggal 30 Mei 2006 yang menyatakan antara lain bahwa “perusahaan telah bekerja sama dengan pejabat Pemerintah setempat sehingga tercapai situasi yang aman terkendali dan melaporkan bahwa tekanan semburan telah berkurang setelah dilakukan upaya pemompaan lumpur pemboran ke dalam sumur.

10. Berkaitan dengan upaya penghentian semburan Lumpur tersebut BPK melakukan pemeriksaan atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo dengan mengevaluasi ketaatan pada prosedur (SOP) yang berlaku, dan efektivitas pelaksanaan kegiatan dan action plan. Hasil pemeriksaan menunjukkan hal-hal sebagai berikut.

a. Penggunaan snubbing unit, side tracking dan relief well yang dilakukan oleh LBI dan Timnas PSLS tidak dapat menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo. Upaya penghentian semburan tersebut telah menghabiskan dana lebih kurang sebesar US$ 21.832,8 ribu atau Rp 200.862 juta (kurs 1 US$ = Rp 9.200). Tidak berhasilnya upaya penghentian semburan tersebut mengakibatkan dana yang telah dikeluarkan menjadi tidak efektif dan sia-sia.

b. Operasi snubbing dan relief well tidak mencapai sasaran yang diharapkan karena terkendala oleh faktor-faktor non teknis, seperti peralatan yang tidak tersedia di lapangan pada saat dibutuhkan, peralatan yang tidak memenuhi syarat, luapan lumpur yang tidak terkendali sehingga menggenangi lokasi rig dan keterbatasan dana operasional.

c. Tiga skenario penghentian semburan yaitu dengan menggunakan metode snubbing, side tracking dan relief well tidak berhasil. Sampai akhir pemeriksaan, Timnas PSLS sedang berupaya memperlambat semburan lumpur Sidoarjo dengan menggunakan metode insersi High Density Chained Ball (HDCB).

11. Salah satu akibat kasus semburan lumpur Lapindo adalah ledakan pipa gas yang merenggut 13 nyawa. BPK menjelaskan dampak kerugian ekonominya sebagai berikut:

Pada tanggal 22 November 2006 terjadi ledakan pipa gas Transmisi East Java Gas Pipeline (EJGP) milik Pertamina dilokasi jalan tol Surabaya – Gempol KM 38 di Porong, Jawa Timur. Pipa gas tersebut digunakan untuk menyalurkan gas sebanyak 63 MMscfd milik EMP Kangean yang akan didistribusikan ke Petrokimia Gresik (PKG) sebesar 50 MMscfd serta ke PLN PLTU Gresik sebesar 13 MMscfd dan menyalurkan 77 MMscfd milik Santos Maleo yang akan didistribusikan ke Perusahaan Gas Negara (PGN). PKG yang mendapat pasokan gas dari EMP Kangean sebesar 50 MMscfd pada saat terjadinya ledakan tidak dapat berproduksi sehingga dapat mengganggu penyediaan pupuk nasional terutama jenis ZA. Kebutuhan gas PKG untuk sementara di ganti dengan Swap gas PGN sebesar 15 MMscfd, PKG dari Kodeco sebesar 7 MMscfd, dan gas dari PLN dari Kodeco sebesar 27 MMscfd. Untuk memproduksi listrik karena pasokan gas dari Kodeco sebesar 27 MMscfd/hari disalurkan ke PKG maka PLN mensubstitusikan kebutuhan energi dari gas tersebut dengan menggunakan solar sebanyak 907.500 liter per hari atau memerlukan biaya produksi tambahan sebesar Rp 3.792,03 juta per hari. Jumlah biaya tambahan yang telah dikeluarkan selama periode 14 Januari s/d 28 Pebruari 2007 adalah sebesar Rp 174.433 juta.”

Demikian beberapa fakta hasil pemeriksaan BPK yang sudah menjadi data dalam bentuk akta otentik, dapat dijadikan sebagai dasar analisis perkara lumpur Lapindo tersebut berkaitan dengan pelanggaran ataupun pelaksanaan HAM.

2. Masalah

Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah yang dikemukakan di sini adalah: “Apakah dalam kasus semburan lumpur Lapindo tersebut terdapat fakta pelanggaran HAM berat?”

C. ANALISIS

1. Dasar Hukum

Dasar hukum yang dimaksudkan bersumber dari sumber-sumber hukum yang tak terbatas pada peraturan perundang-undangan (written law) tapi juga prinsip-prinsip atau asas keadilan termasuk pendapat ahli hukum. Doktrin hukum modern tidak lagi secara kaku berpegangan pada aturan hukum tertulis saja (positivistik) tetapi juga memperhatikan kebutuhan hukum sosial.

Dalam persoalan penegakan HAM, hukum tertulis juga bukan satu-satunya instrumen atau sumber hukum. Sebagai contoh, dalam kasus pelanggaran HAM berat di Abepura Papua, terdapat dessenting opinion hakim yang berpendapat berbeda dalam menanggapi putusan bebas terhadap para terdakwa. Hakim tersebut berpendapat bahwa dari pertimbangan-pertimbangan dan teori yang dipakai dalam putusan yang dikeluarkan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan sebagian hakim yang menyidang kasus Abepura terkesan positivisik dan menggunakan prinsip-prinsip hukum kolonial yang jauh dari rasa keadilan korban. Selain itu, majelis hakim inkonsisten dan inrasional antara fakta hukum dengan prinsip sistematis dan meluas terhadap kejahatan dalam hukum kemanusian. Dikatakan, putusan majelis hakim dalam hal ini tidak mempertimbangkan psikologi massa masyarakat Papua yang selama ini mendapat ketidakadilan dan perlakuan diskriminatif dalam perjuangan hak-haknya. Praktek pengadilan hak seperti itu menambah deretan fakta bahwa paradilan HAM Indonesia merupakan 'kuburan' bagi kasus-kasus pelanggaran HAM (www.freelists.org/archives/ppi/09-2005/msg00197.html).

Tuntutan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia mengikuti kecenderungan global yang mengindikasikan bahwa pelanggaran HAM berat, antara lain kejahatan genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan kejahatan perang (war crimes) termasuk kejahatan internasional (international crimes). Tujuan tuntutan ini adalah memperoleh keadilan transisional (transitional justice). Instrumen hukum yang telah dibuat oleh pemerintah tidak efektif dalam penerapannya. Muatan politik dan keengganan membawa setiap pelaku HAM berat masa lalu di pengadilan telah menuai gerakan demonstrasi oleh masyarakat korban pelanggaran HAM. Dengan demikian dikembangkanlah studi hukum kritis. (Critical Legal Studies) untuk membangun serangan terhadap peradilan dalam iklim demokrasi liberal (judiciary within liberal democracy). Berhadapan dengan praktek dan watak liberal tersebut, Critical Legal Studies menginginkan penyelenggaraan peradilan secara obyektif (judicial objectivity) dan tuntutan terhadap keadilan sosial (social justice). (Khaerul H. Tandjung pada http://khaerulhtanjung.blogster.com, 20/2/2007).

UU No. 16 Tahun 2000 diadobsi dari Roma Statute of The International Criminal Court (Statuta Roma). Penegak HAM mau tidak mau harus memasuki kawasan tafsir historis UU No. 26/2000 tersebut dengan memahami substansi Statuta Roma, yang memuat ketentuan tentang kejahatan kemanusiaan yang sangat serius (the most serious crimes) yang kemudian diterjemahkan menjadi ‘pelanggaran HAM berat’ oleh UU No. 26/2000. Tetapi pembuat UU No. 26/2000 memotong kalimat pada huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk kejahatan kemanusiaan lain, yaitu: “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.” Di sinilah pentingnya Critical Legal Studies dibangun sehingga penegakan hukum HAM dijalankan dengan cara mengembalikan politisasi hukum (dalam arti negatif) HAM ke jalan hukum HAM yang benar dengan tujuan dasar perlindungan dan penegakan HAM. Artinya, hambatan-hambatan pembatasan politis dalam undang-undang (yang positivistik) harus diatasi dengan cara menemukan kembali prinsip-prinsip HAM yang telah ‘dikorupsi’ oleh pembuat undang-undang.

Selain itu, dasar hukum HAM juga berupa prinsip-prinsip Hukum HAM Internasional yang diantaranya telah diformulasikan dalam bentuk-bentuk Kovenan Internasional.

2. Pelanggaran HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Berdasarkan hasil audit BPK, ditemukan fakta bahwa lokasi pemboran Sumur Banjar Panji (BJP)-1 berada 5 meter dari wilayah permukiman, 37 meter dari sarana umum (jalan tol Surabaya – Gempol) dan kurang dari 100 meter dari pipa gas Pertamina. Selain Sumur BJP-1, terdapat sejumlah sumur-sumur eksploitasi (sudah produksi) yang dikelola oleh Lapindo yang jarak lokasinya kurang 100 meter dari permukiman. Pemberian ijin lokasi pemboran sumur migas yang berdekatan dengan permukiman dan sarana umum serta obyek vital tidak sesuai dengan Ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia No.13-6910-2002 tentang operasi pengeboran darat dan lepas pantai di Indonesia yang antara lain menyebutkan bahwa sumur-sumur harus dialokasikan sekurang-kurangnya 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, pekerjaan umum, perumahan atau tempat-tempat lain dimana sumber nyala dapat timbul.

Pemberian ijin lokasi sumur eksplorasi Migas di wilayah pemukiman juga tidak sesuai dengan Inpres No. 1/1976 tentang sinkronisasi pelaksanaan tugas bidang keagrariaan dengan bidang kehutanan, pertambangan, transmigrasi dan pekerjaan umum dan UU No. 11/1967. Lokasi pemboran Sumur BJP-1 juga tidak sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Sidoarjo yang ditetapkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No.16 tahun 2003. Pada saat ijin lokasi diberikan kepada Lapindo, Perda tersebut belum direvisi. Menurut Pemkab Sidoarjo, terkait dengan RTRW, ijin lokasi diberikan dengan mempertimbangkan kelayakan teknis yang dikeluarkan oleh BP Migas. Jadi, jelas adanya konspirasi hitam itu.

Akal sehat (logika obyektif) manusia bisa memikirkan bahwa kegiatan eksplorasi migas yang berdekatan dengan pemukiman penduduk sudah pasti mengandung risiko atau dampak yang besar. Pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dalam memperoleh ijin eksplorasi Sumur BJP-1 (dan lain-lainnya) tersebut menunjukkan adanya unsur kesengajaan (dollus) terhadap hukum keselamatan sosial.

Meskipun seandainya semburan lumpur Lapindo tersebut bukan suatu niatan, tetapi pelanggaran secara sengaja terhadap hukum yang bertujuan menyelematkan penduduk dari bahaya kegiatan pemboran pertambangan migas cukup memberikan gambaran rasional bahwa semburan lumpur itu merupakan kemungkinan yang dapat dipikirkan sebelumnya dan akan mengakibatkan nasib buruk masyarakat di sekitarnya. Jadi, unsur ‘kesengajaan’ itu dapat dilekatkan pada perkara semburan lumpur Lapindo itu.

Alasan lain soal adanya unsur kesengajaan tersebut juga dapat disimpulkan dari hasil temuan BPK yang menyebutkan adanya pelanggaran kaidah keteknikan yang baik dalam proses eksplorasi, mulai dari penggunaan peralatan pemboran yang tidak layak serta tenaga pemboran yang kurang berkompeten sampai dengan kesengajaan tidak memasang selubung casing di kedalaman tertentu yang mengakibatkan semburan lumpur tersebut.

Sedangkan akibatnya sudah menjadi pengetahuan umum yang tak perlu dibuktikan lagi (menjadi fakta notoir) bahwa ada ribuan penduduk yang terusir (mengungsi) dan mengalami apa yang digambarkan oleh huruf k pasal 7 ayat (1) Statuta Roma yang menentukan bentuk lain kejahatan kemanusiaan, yaitu: Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health.

Fakta tersebut dapat dikaitkan dengan ketentuan pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM menentukan: “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa : … d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; …”

Unsur-unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai bentuk pelanggaran HAM berat yang dirumuskan dalam pasal pasal 9 huruf d dan e UU No. 26/2000 tersebut adalah:

- Salah satu perbuatan;

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; atau:

- Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Selanjutnya dijelaskan sebagai berikut:

- Salah satu perbuatan;

Salah satu perbuatan (bersifat alternatif) yang disebutkan dalam pasal 9 UU No. 26/2000. Dalam perkara lumpur Lapindo ini dapat ditentukan bentuk perbuatan menurut pasal 9 huruf d dan huruf e yang akan diuraikan dalam analisis selanjutnya ini.

- Dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik;

Pengertian kata “serangan” ini tidak harus ditafsirkan sebagai perbuatan yang bentuknya seperti segerombolan tentara yang menggunakan kekuatan militer untuk secara ofensif membunuh atau mengusir kelompok penduduk, tapi dapat dalam bentuk “serangan” dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan atau kemampuan teknis, konspirasi kekuasaan. Di jaman yang semakin moderen, bentuk serangan bisa bermacam-macam cara dengan metode yang moderen pula. Misalnya serangan dengan menggunakan senjata kimia, kuman atau virus penyakit, meracuni tempat atau media hidup penduduk. Dalam kasus lumpur Lapindo, bentuk “serangan” tersebut terletak pada melubernya semburan lumpur Lapindo yang dapat atau patut diduga sebelumnya bahwa semburan lumpur tersebut akan bisa terjadi. Cara-cara yang tidak memenuhi kaidah teknis yang baik dalam penanggulangan lumpur yang mengakibatkan tanggul lumpur jebol berkali-kali juga merupakan cara lain dari serangan tersebut. Pada intinya, dalam kasus lumpur Lapindo, perbuatan “serangan” ini baru dapat dilihat ketika semburan lumpur Lapindo itu terjadi akibat kesengajaan pelanggaran kaidah-kaidah hukum dan keteknikan yang baik – karena konspirasi – sehingga dengan terpaksa para penduduk korban lumpur Lapindo harus pergi untuk mengungsi atau berpindah dari tempat tinggal mereka yang sah.

Sedangkan sifatnya yang meluas dapat dilihat dari jumlah korban yang mencapai ribuan penduduk sipil yang berasal dari beberapa desa yang tergenang lumpur Lapindo. Sistematisasi serangan tersebut tampak pada fakta konspirasi antara para petinggi Lapindo (pengambil keputusan strategis) dengan aparatur negara yang berwenang mengeluarkan perijinan.

- Diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil;

Dalam kasus lumpur Lapindo, serangan tersebut sudah jelas ditujukan langsung terhadap penduduk sipil yang berada di sekitar wilayah Sumur BJP-1 Porong Sidoarjo tersebut. Masyarakat korban lumpur Lapindo merupakan penduduk sipil.

- Berupa: d. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;

Pemindahan atau pengusiran penduduk secara paksa dalam kasus lumpur Lapindo dengan cara sengaja membiarkan semburan lumpur menggenangi tempat tinggal penduduk, melakukan upaya penyelesaian semburan lumpur secara tidak serius dengan lebih memilih pertimbangan ekonomi (efesiensi) dibandingkan dengan orientasi penyelamatan penduduk di sekitar Sumur BJP-1 tersebut. Hal itu juga terjadi dalam contoh penggunaan metode relief well yang ditunda-tunda dan tidak dilanjutkan, penggunaan metode insersi bola beton yang direncanakan 400 bola tapi hanya dilakukan dengan 250 bola, dan lain-lain yang menunjukkan bahwa akibat dari ketidakseriusan dalam penghentian semburan lumpur tersebut akan mengakibatkan luberan lumpur terus bertambah sehingga memaksa penduduk untuk berpindah tempat (mengungsi) dan terusir.

- Atau: Berupa: e. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang;

Bentuk perampasan kemerdekaan dalam kasus lumpur Lapindo bermula dari pembiaran nasib ribuan penduduk korban lumpur Lapindo yang diserahkan kepada Lapindo di mana negara (pemerintah) tidak memberikan tindakan perlindungan yang maksimum kepada para korban. Kondisi penderitaan luar biasa (great suffering) para korban dimanfaatkan pihak Lapindo dengan penyodoran kontrak baku transaksi jual-beli yang disusun pihak Lapindo yang memuat klausul untuk tidak menuntut atau menggugat Lapindo, memuat pernyataan pengakuan bahwa semburan lumpur tersebut akibat bencana alam, dan lain-lain yang tidak memberikan pilihan secara wajar bagi masyarakat korban untuk mengemukakan hak-hak mereka selaku korban. Hal itu tampak dengan adanya Paguyuban korban lumpur Lapindo yang bernama PAGAR REKONTRAK yang menolak menandatangani kontrak atau perjanjian baku jual-beli tanah mereka yang telah terendam lumpur yang tidak diberikan opsi apapun untuk mengemukakan hak-hak mereka yang bahkan beberapa kali diminta dan diintimidasi dengan ancaman akan dipaksa untuk meninggalkan tempat pengungsian di Pasar Porong Baru. Hal itu membuktikan bahwa korban lumpur Lapindo tidak diberikan kebebesan atau dirampas kemerdekaan mereka untuk memperoleh ganti kerugian atau keadilan, diperdaya dengan memanfaatkan kondisi lemah mereka. Di sini terjadi penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden).

- Melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional.

Dalam Preamble (Pembukaan) International Covenant on Civil and Political Rights ditentukan bahwa setiap negara yang yang dimaksudkan kovenan tersebut :

“Recognizing that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone may enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and cultural rights.

”Considering the obligation of States under the Charter of the United Nations to promote universal respect for, and observance of, human rights and freedoms.”

Dalam kasus lumpur Lapindo justru dilakukan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, politik, hak kebebasan berupaya memperoleh keadilan, serta diciptakan ketakutan dengan ancaman pengusiran dari tempat pengungsian sehingga masyarakat korban tidak mungkin dapat menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya mereka.

Pemerintah yang seharusnya berkewajiban untuk mendorong penghormatan, menegakkan serta memenuhi HAM, tetapi dalam kasus lumpur Lapindo justru sebaliknya memberikan impunitas kepada Lapindo dan memberikan alat legalitas pelanggaran HAM berupa Perpres No. 14/2007.

Dalam menerapkan ketentuan pasal 9 UU No. 26/2000 – berkaitan dengan kasus lumpur Lapindo tersebut - haruslah melihat pada tujuan keadilan substansialnya dimana yang sangat dan lebih penting untuk dilihat adalah luasnya penderitaan dan banyaknya korban akibat konspirasi pelanggaran kaidah-kaidah hukum keselamatan rakyat serta kaidah-kaidah keteknikan yang baik pada praktik usaha pertambangan yang sengaja dilakukan di wilayah padat penduduk. Kejahatan kemanusiaan dalam kasus itu tampak pada kuatnya pertimbangan ekonomi korporasi yang mengabaikan hak-hak keselamatan manusia (penduduk). Tafsir demikian itu mutlak dilakukan untuk melindungi hak-hak para korban dan guna mencegah agar peristiwa semacam itu tidak akan terulang di masa depan. Jika kasus sebesar itu dengan ekskalasi korban yang sedemikian luas tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan, justru itu tidak masuk akal.

3. Penegakan HAM dalam Kasus Lumpur Lapindo

Salah satu cara penegakan HAM dalam kasus lumpur Lapindo tersebut adalah membawa para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo tersebut ke Pengadilan HAM sesuai dengan Hukum Acara yang diatur menurut UU No. 26/2000.

Para pelaku kejahatan kemanusiaan dalam kasus lumpur Lapindo yang terpenting harus bertanggung jawab adalah:

a. Para pejabat pemerintahan yang mengeluarkan ijin eksplorasi Sumur BJP-1, yaitu Menteri yang menawarkan wilayah pertambangan, pejabat BP Migas yang mengeluarkan rekomendasi, Bupati Sidoarjo atau Gubernur Jawa Timur yang menyetujui adanya eksplorasi serta memberikan ijin lokasi.

b. Para penanggungjawab (intelectual actor) korporasi yang memerintahkan dilakukannya pemboran di Sumur BJP-1 yang ada di Grup Bakrie. Lapindo hanyalah anak korporasi dari EMP yang berada dalam imperium bisnis Grup Bakrie.

c. Para pejabat pemerintah yang melakukan pembiaran dilakukannya kejahatan kemanusiaan, termasuk Presiden RI yang melegalisasi pelanggaran HAM berat tersebut dengan Perpres No. 14/2007 yang bahkan memfasilitasi akibat pelanggaran HAM berat itu dengan dana APBN.

Jika forum hukum nasional setelah ditempuh tetapi tidak dapat menyelesaikan kasus kejahatan kemanusiaan tersebut maka sesuai dengan prinsip penegakan HAM internasional maka kasus tersebut dibawa ke forum hukum internasional untuk mendapatkan penyelesaian yang adil sebab persoalan HAM sudah menjadi Hukum Internasional.

Namun salah satu kendala dalam penegakan HAM di Indonesia adalah tidak adanya kebaruan sistem penyidikan dan penuntutan sebab masih dilakukan oleh Kejaksaan, sedangkan wewenang Komnas HAM terbatas sebagai penyelidik. Padahal kultur lembaga penegakan hukum konvensional di Indonesia masih cenderung korup dan bergaya positivistik meski mulai juga ada perkembangan sedikit ke arah hukum yang terbuka (unstrict law).

D. SIMPULAN

Kasus lumpur Lapindo merupakan perkara kejahatan kemanusiaan yang merupakan bentuk pelanggaran HAM berat.

E. SARAN

1. Dilakukan tafsir progresif terhadap bentuk kejahatan kemanusiaan menurut UU No. 26/2000 dengan melihat luasnya korban dan beratnya penderitaan korban lumpur Lapindo. Tafsir ini diterapkan pula dalam kasus-kasus lainnya.

2. Alat bukti hasil audit BPK tersebut agar diperkuat dengan alat bukti lainnya temuan Komnas HAM.

3. Komnas HAM melakukan konsolidasi publik agar mendesak legislator untuk memperbaiki UU No. 39/1999 dan UU No. 26/2000 agar Komnas HAM diberikan wewenang sebagai lembaga penyelidik, penyidik dan penuntut seperti contohnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sepertinya hukum pengadilan Indonesia tidak mampu menyelesaikan masalah ini