Minggu, 25 Mei 2008

Melawan Kekerasan

SERUAN SOLIDARITAS
MELAWAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN PEMERINTAH
KEPADA MAHASISWA / AKTIVIS
PADA AKSI DAMAI MENOLAK KENAIKAN HARGA BBM
DI SURABAYA, 24 MEI 2008
Surabaya, 24 Mei 2008
Aliansi Pembela Rakyat (APR) menyerukan hal sebagai berikut:
1. Pada 24 Mei 2008, para mahasiswa / aktivis melakukan aksi damai menolak keputusan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla (SBY – JK) yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
2. Pasukan Polisi di Surabaya telah menyerang aksi damai tersebut yang sedianya hendak membakar poster SBY – JK sebagai simbol ketidakpercayaan kepada pemerintahan SBY – JK karena keputusan yang menyengsarakan dan melukai perasaan rakyat tersebut.
3. Akibat serangan polisi kepada para mahasiswa / aktivis dalam aksi tersebut maka jatuh korban, yaitu:
Melly, mahasiswi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, anggota PMII, menderita luka bakar.
Anisa Puji Lestari, mahasiswi Unair Surabaya, BEM Fisip Unair, menjadi korban pemukulan polisi.
Maryamah, mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya, anggota LMND, menjadi korban pemukulan polisi.
Didik Setyabudi alias Simon, mahasiswa IAIN Surabaya, anggota FMN, menderita luka bakar.
M. Darwis, mahasiswa Akademi Wartawan Surabaya (AWS), menderita luka bakar di tangan, punggung dan kaki.
Imron, mahasiswa Unair Surabaya, anggota PMII menderita luka di kaki (sobek).
Anggoro, anggota GSBI menderita luka di sekitar mata akibat pukulan polisi.
Rangga Bisma Aditya, mahasiswa Unair Surabaya, anggota BEM Fisip Unair, menderita luka sekitar mata akibat pemukulan polisi.
Iswandi Saputra, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, anggota SRMI, menderita luka-luka akibat pukulan dan tendangan polisi.
Para korban tersebut dipukuli dengan popor senjata, dan yang terluka bakar akibat serangan polisi sehingga bensin tertumpah terbakar api saat peserta aksi akan membakar poster SBY – Kalla yang mereka bawa sendiri.
Korban lainnya belum kami ketahui.
Seruan:
  1. Kami menyeru agar para advokat yang peduli bersedia memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada gerakan moral di seluruh Indonesia yang menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM yang tidak memihak rakyat dan hanya menguntungkan korporasi penguasa migas di negara ini.
  1. Gerakan perlawanan tersebut harus dilanjutkan secara terus-menerus dan semakin merapatkan barisan serta agar setiap orang / organisasi / perkumpulan turut andil dalam gerakan damai untuk melawan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada para mahasiswa / aktivis.
  1. Kita tidak akan berhenti dan akan terus-menerus semakin membesarkan gerakan untuk memperbaiki keadaan negara yang semakin parah akibat kepengurusan negara yang tidak adil dan memihak korporasi-korporasi asing.
  1. Setiap orang / organisasi / perkumpulan agar menyatukan langkah dan perjuangan untuk menuju pada reformasi yang sejati setelah 10 tahun reformasi terbukti gagal.

APR

Subagyo
Jurubicara
Tlp 081615461567
Di Surabaya --
Empat Aktivis Ditangkap setelah
Bakar Foto SBY-JK

Surabaya (Bali Post) -
Kenaikan harga BBM disikapi puluhan mahasiswa dan buruh yang tergabung dalam Front Perjuangan Rakyat (FPR) dengan berunjuk rasa Sabtu (24/5) kemarin. Aksi ini mengusung tema penolakan kenaikan BBM di depan Grahadi Surabaya. Hanya, aksi mulia dari mahasiswa dan buruh yang semula damai berakhir rusuh. Terutama saat puluhan mahasiswa dan buruh yang berbuat nekat dengan membakar foto Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla serta membakar ban bekas.

Aksi membakar foto Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, sebagai simbol ketidakpercayaan kepada pemerintahan SBY - JK karena keputusan menaikkan harga BBM dianggap menyengsarakan dan melukai perasaan rakyat. Saat massa aksi akan membakar poster bergambar Presiden SBY dan Wapres Jusuf Kalla, tiba-tiba polisi datang dan membubarkan aksi massa FPR Surabaya.

Beberapa pengunjuk rasa khususnya perempuan, berteriak histeris melihat kawan-kawannya dihalau polisi. Beberapa di antara mahasiswa yang tidak sempat menghindar dari kerusuhan itu, langsung diseret dan ditangkap. Sempat terjadi kejar-kejaran antara massa aksi dan polisi. Akibat bentrokan itu, sejumlah mahasiswa di sekujur tubuhnya mengalami luka-luka akibat pentungan dan pukulan polisi serta luka bakar. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap empat mahasiswa dan buruh yang diduga sebagai provokator.

Kasat Reskrim Polres Surabaya Selatan, AKP Yimmi Kurniawan, mengatakan dalam aksi itu empat orang diamankan petugas di Mapolres Surabaya Selatan. Keempat mahasiswa dan buruh yang diamankan itu sempat menjalani perawatan di rumah sakit karena mengalami luka ringan, sebelum dibawa ke Mapolres Surabaya Selatan. Jubir Aliansi Pembela Rakyat (APR), Subagyo, menyerukan agar para advokat yang peduli bersedia memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada gerakan moral di seluruh Indonesia yang menentang keputusan pemerintah menaikkan harga BBM yang tidak memihak rakyat dan hanya menguntungkan korporasi penguasa migas.

Menurut dia, gerakan perlawanan harus dilanjutkan terus dan semakin merapatkan barisan agar setiap orang dan organisasi turut andil dalam gerakan damai untuk melawan kekerasan demi kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah kepada para aktivis. ''Kita tidak akan berhenti dan akan membesarkan gerakan untuk memperbaiki keadaan negara yang semakin parah akibat kepengurusan negara yang tidak adil dan memihak korporasi-korporasi asing,'' katanya. (059)

Sumber: http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2008/5/25/n1.html

Rabu, 14 Mei 2008

ANALISIS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)

TENTANG

SENGKETA ANTARA WARGA PETANI MARGORUKUN LESTARI BANYUWANGI DENGAN PTPN XII



  1. KASUS POSISI


Sejak jaman Belanda, setidak-tidaknya di masa penjajahan Jepang 1942-1945, beberapa orang warga masyarakat menggarap lahan tanah bebas atau melakukan penguasaan di wilayah hutan di Desa Kebonrejo Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Pada waktu itu lokasinya berdekatan dengan lahan yang dipergunakan perusahaan perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda.

Dalam perkembangannya, sampai dengan tahun 1991 warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi (selanjutnya disebut warga), mengolah tanah penguasaan tersebut seluas kurang lebih 800 hektar. Lahan tersebut tadinya merupakan tanah negara bebas, tidak masuk kawasan pengelolaan PT. Perhutani, PT. Perkebunan Negara (PTPN) maupun korporasi manapun.

Berdasarkan keterangan pihak PTPN XII Malangsari Banyuwangi, tahun 2000 lahan yang telah dikelola warga tersebut pengelolaannya diserahkan oleh pemerintah kepada PTPN XII, tetapi proses pemberian hak pengelolaan lahan tersebut tidak diketahui oleh warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. PTPN XII mengklaim mempunyai hak mengelola tanah seluas kurang lebih 3.000 hektar.

Sejak tahun 2001, menurut keterangan warga, PTPN XII telah melakukan intimidasi bermacam-macam agar warga menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII, sehingga tahun 2003 dibuatlah perjanjian antara PTPN XII dengan warga di hadapan Notaris yang disaksikan Muspika bahwa warga harus menyerahkan lahan tersebut kepada PTPN XII sampai batas akhir 7 Maret 2007.

Ketika sampai batas waktu akhir tersebut warga tidak bersedia meninggalkan lahan dengan alasan bahwa perjanjian penyerahan lahan yang mereka lakukan kepada PTPN XII dengan cara terpaksa karena intimidasi oleh PTPN XII yang cenderung menggunakan alat keamanan negara atau polisi untuk menakut-nakuti mereka.

Tanggal 8 Maret 2007, sekitar jam 11.00 WIB ada patroli siang keamanan PTPN XII yang melakukan intimidasi kepada petani perempuan sehingga perempuan tersebut pingsan dua kali. Selanjutnya sekitar jam 15.00 WIB warga didatangi para polisi yang dikawal pasukan BRIMOB melakukan teror dan mengeluarkan kata-kata, ”Tanae embahe seng kok tiduri!” (Terjemahan: ”Tanah nenekmu yang kamu tiduri ya!”).

Tanggal 9 Maret 2007, sekitar jam 10.00 WIB keamanan PTPN XII yang dikawal pasukan BRIMOB dan beberapa personel TNI AD melakukan intimidasi bahwa batas waktu bagi para petani untuk pergi dari lahan tersebut sudah habis dan warga disuruh untuk meninggalkan lokasi lahan tersebut.

Tanggal 10 Maret 2007 sekitar jam 08.00, Kapolsek Kalibaru yang dikawal pasukan BRIMOB datang di lokasi warga dan mengatakan bahwa warga telah melakukan perbuatan melanggar hukum, dan jika warga tidak segera meninggalkan lahan tersebut maka PTPN XII akan menuntut warga secara hukum. Siang harinya keamanan PTPN XII dikawal oleh pasukan BRIMOB melakukan teror serta ancaman-ancaman kepada warga di lahan-lahan yang ditempati warga. Malam harinya, tanggal 10 Maret 2007 Polres Banyuwangi menyerahkan surat panggilan kepada 7 orang warga yang dituduh melakukan tindak pidana pasal 47 ayat (1) jo. pasal 21 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan dan pasal 335 KUHP.

Hingga tanggal 18 Maret 2007 Penyidik Polres banyuwangi telah menetapkan 24 orang warga sebagai tersangka.

Menurut kesaksian para warga, sejak kejadian pengusiran paksa tahun 2001 hingga Maret 2007 telah dilakukan pembongkaran paksa dan pembakaran terhadap sekitar 7 rumah warga, dilakukan perusakan terhadap tanaman warga, penebangan dan pencurian kayu besar-besaran di hutan, serta dilakukan penganiayaan terhadap sejumlah warga oleh orang-orang yang menjadi suruhan PTPN XII.

Selanjutnya upaya-upaya pengusiran paksa terhadap warga petani Margorukun Lestari terus terjadi, termasuk dengan cara-cara kriminalisasi, hingga mereka para petani tersebut mengungsi di DPRD Banyuwangi dan setelah itu juga diusir oleh Kepolisian Resor Banyuwangi bekerjasama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Pemkab Banyuwangi pada tanggal 14 Mei 2008.



  1. MASALAH


    1. Bagaimanakah kedudukan hak hukum antara warga petani Margorukun Lestari dibandingkan dengan PTPN XII terhadap lahan seluas sekitar 568 hektar tersebut?


    1. Bagaimanakah konsekuensi upaya penyelesaian yang telah dilakukan PTPN XII dan Kepolisian dalam perkara tersebut?



  1. ANALISIS


    1. Komparasi Kedukukan Hak Warga Petani Margorukun Lestari dengan PTPN XII Atas Lahan Sengketa.


Perlu dipahami lebih dulu bahwa perkara atau sengketa antara warga dengan PTPN XII merupakan perselisihan dengan obyek lahan atau tanah, yang notabene merupakan Tanah Negara. Jika dilihat dari riwayat kasus tersebut, sesungguhnya pihak yang lebih dulu menempati dan mengelola tanah tersebut sejak jaman penjajahan adalah warga petani tersebut. Setelah itu PTPN XII barulah diberikan hak untuk mengelolanya dengan alas hak PTPN XII adalah sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) No. 5 tahun 1988, sertifikat HGU No. 16 tahun 1988, dan sertifikat HGU No. 11 tahun 1999.

Sebenarnya secara hukum, penguasaan tanah yang berupa tanah yang bukan merupakan hak pihak lain (tanah bebas) dapat dibenarkan secara hukum sebab Hukum Agraria mengenal Hak Adat (pasal 5 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), di mana tanah Hak Adat muncul dengan cara penguasaan terhadap tanah bebas (bukan hak atau milik pihak lain) yang kemudian dikuasai secara turun menurun sehingga dinamakan menjadi tanah Hak Adat berdasarkan norma adat di daerah masing-masing.

Pasal 8 PP No. 36 / 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar menentukan bahwa tanah yang sudah diperoleh penguasaannya, tetapi belum diperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat dinyatakan sebagai tanah terlantar, apabila tanah tersebut oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tidak dimohon haknya atau tidak dipelihara dengan baik (ayat 1). Jika hanya sebagian dari bidang tanah yang sudah diperoleh dan dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memenuhi kriteria terlantar, maka hanya bagian bidang tanah tersebut yang dapat dinyatakan terlantar (ayat 2).

Artinya, warga negara Indonesia mempunyai kesempatan hukum untuk mengajukan permohonan hak milik atas tanah-tanah bebas yang mereka kuasai. Tanah-tanah penguasaan tersebut baru dinyatakan terlantar jika tidak diomohonkan hak atau tidak dipelihara dengan baik.

Masyarakat petani Desa Kebonrejo yang berselisih dengan PTPN XII itupun merupakan warga negara Indonesia yang menurut hukum dapat menguasai tanah bebas dan mengajukan permohonan hak milik atas tanah yang mereka kuasai tersebut, agar mempunyai landasan hak atas tanah yang dikuasai mereka.

Suatu Hak Pengelolaan jika dirupakan dalam bentuk HGU atas tanah, berdasarkan pasal 28 – 34 UU No. 5 / 1960 (UUPA) hanya bisa terjadi atas tanah yang langsung dikuasai negara dengan jangka waktu paling lama 35 tahun (untuk perusahaan) dan dapat diperpanjang lagi selama 25 tahun. Selanjutnya aturan soal itu dapat dilihat dalam PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah.

Sebenarnya, ada soal ketidakadilan dalam pemberian HGU kepada PTPN XII tersebut sebab mestinya dalam proses pendaftaran HGU tersebut harus melalui pengumpulan data fisik dan yuridis sebagaimana diatur menurut PP No. 24/1997 yang juga berlaku untuk pendaftaran HGU (pasal 12 ayat 1 jo. pasal 9 ayat 1.a.). Kegiatan pengumpulan data fisik dilakukan dengan pengukuran dan pemetaan (pasal 14). Jika PTPN XII memperoleh alas hak berdasarkan sertifikat HGU tahun 1988 maka pada waktu itu berlaku PP No. 10 / 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang juga mengatur prosedur pengumpulan data fisik dan yuridis. Tetapi ternyata pada saat dilakukan pengumpulan data fisik tersebut para petugas Kantor Pertanahan dan pihak PTPN XII seolah-olah tidak melihat warga yang lebih dulu menguasai lahan tersebut. Ini yang secara hukum dikatakan sebagai manipulasi pengumpulan data fisik, sehingga konsekuensinya adalah cacat yuridis.

Jika dilihat dari soal keadilan dalam memperoleh hak tempat tinggal dan matapencaharian sebagaimana dijamin dalam pasal 27 dan 28 UUD 1945, yang juga berkaitan dengan soal prioritas dalam memperoleh hak, maka warga yang sejak jaman penjajahan hingga keturunannya telah tinggal dilahan tersebut tentu mempunyai hak lebih dulu untuk mengajukan permohonan hak milik. Hukum Agraria bukanlah seperti lomba lari cepat, siapa yang mencapai garis finish yang dianggap memenangkan pertandingan, tapi hal ini berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya rakyat. Artinya, seharusnya dalam proses permohonan HGU tersebut pemerintah harus melihat bahwa di lahan tersebut ada masyarakat yang menguasai dan memelihara lahan tersebut yang perlu mendapatkan hak-hak sebagai warga negara. Seharusnya warga petani yang lebih dulu menguasai lahan tersebut mempunyai hak prioritas. Jika ini dilanggar maka sertifikasi HGU tanah sengketa atas nama PTPN XII adalah melanggar HAM, terutama hak untuk bertempat tinggal dan hak untuk mendapatkan keadilan serta akses ekonomi atas tanah negara yang mereka kuasai lebih dulu.

Hakikat Hukum Agraria bersifat menciptakan keadilan sosial sebagaimana menurut pasal 6 UUPA bahwa tanah mempunyai fungsi sosial. PTPN XII tidak boleh dengan alasan legal formal sebagai pemegang HGU lantas menyingkirkan warga dengan cara yang kasar sebab hal itu melanggar Hukum Agraria yang berkeadilan sosial. Pasal 2 UU No. 18/2004 tentang Perkebunan juga menentukan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Warga sebagai warga negara Indonesia mempunyai kedudukan hak yang tidak boleh diabaikan. Setiap penguasaan hak-hak adat atas tanah di negara manapun di dunia ini selalu dimulai dengan penguasaan tanah-tanah bebas yang pada mulanya belum masuk dalam daftar tanah negara. Bahkan berdasarkan pasal 24 PP No. 24/1997, alat bukti kepemilikan hak atas tanah jika tak dapat dibuktikan dengan alat bukti tertulis maka dibuktikan dengan alat bukti defacto yaitu fakta penguasaan hak atas tanah selama 20 tahun berturut-turut dengan syarat terbuka, beritikad baik, dengan saksi-saksi terpercaya dan tidak dipersoalkan masyarakat hukum adat, desa ataupun pihak-pihak lain.

Jadi, pemberian HGU atas lahan yang telah ditempati warga petani Margorukun Lestari tersebut kepada PTPN XII merupakan bentuk pelanggaran prinsip-prinsip keadilan sosial, melanggar asas partisipasi sosial sebab tidak dilakukan proses yang terbuka. Artinya, jika benar bahwa PTPN XII telah memperoleh HGU dilokasi tanah yang telah dikuasai warga maka perolehan HGU tersebut cacat hukum karena dilakukan engan itikad tidak baik atau dengan cara sembunyi-sembunyi. Seandainya pernah ada publikasi secara formal tapi malah mengabaikan warga petani Margorukun Lestari selaku pihak yang lebih dulu menguasai dan memelihara tanah tersebut. Setelah PTPN XII memperoleh HGU atas tanah tersebut barulah PTPN XII berkomunikasi dengan warga dengan cara mengintimidasi orang-orang kecil yang awam hukum tersebut. Fakta seperti itu oleh hukum disebut sebagai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dengan cara mempergunakan kekuasaan untuk menekan masyarakat yang lemah.

Sebenarnya bagi pemerintah, kasus ini mudah diselesaikan jika tidak ada kebijakan politik yang memihak kepada PTPN XII. Seandainya negara c.q. pemerintah bersedia memberikan hak milik atas tanah kepada rakyat maka hal itu sama mudahnya dengan dikeluarkannya HGB, HGU ataupun Hak Pakai atas tanah negara kepada para korporasi. Kasus ini hanya persoalan kehendak pemerintah pemberi hak-hak atas tanah yang masih selalu bersikap tidak adil kepada rakyat.

Ketidakadilan sosial seperti itulah yang akan terus-menerus memicu pembangkangan masyarakat sipil selaku korban, yang dalam kurun waktu ke waktu selalu menjadi masalah berat bagi pemerintah sendiri.

Atas dasar ketidakadilan, itikad tidak baik, serta penyalahgunaan keadaan seperti itulah maka warga petani Margorukun Lestari dapat menggugat pemerintah dan PTPN XII agar diperlakukan adil dalam memiliki hak atas tanah atau lahan tersebut.



    1. Pelanggaran HAM dan Tindakan Penyelesaian


Tindakan PTPN XII dan Kepolisian yang melakukan pengusiran paksa terhadap masyarakat petani tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dalam kategori Kejahatan Kemanusiaan sebagaimana pasal 7 huruf b jo. pasal 9 huruf d UU RI No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dengan ancaman pidana penjara sekurang-kurangnya 10 tahun penjara dan selama-lamanya 25 tahun penjara (pasal 37), sebab tindakan tersebut melampaui batas hukum atau bahkan tanpa adanya perintah putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Putusan pemidanaan terhadap 24 warga petani Margorukun Lestari di Pengadilan Negeri Banyuwangi tidak dapat dieksekusi dengan cara pengusiran sebab eksekusi dalam putusan pidana adalah ‘pemidanaan’.

Fakta pengusiran paksa secara sistematis dilakukan dengan cara merusak tanaman warga, membongkar paksa serta membakar rumah, menganiaya, menakut-nakuti serta memaksa menandatangani perjanjian penyerahan lahan. Cara-cara itu merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang menumbulkan penderitaan berat bagi warga petani Margorukun Lestari.

Persoalan bahwa legalitas tempat tinggal warga petani Margorukun Lestari, jika masih dalam sengketa maka merujuk pada fungsi sosial tanah berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA). Bahkan dalam hal ini setiap warga negara berhak atas tempat tinggal dan pemerintah wajib memenuhinya. (pasal 28H ayat (1) jo. pasal 28 I ayat (4) UUD 1945).

Jika PTPN XII melaporkan warga telah melakukan tindak pidana menurut UU No. 18/2004 tentang Perkebunan pasal 21 jo. 47 ayat (1) dan pasal 335 KUHP, maka warga pun dapat melaporkan para petinggi PTPN XII serta aparat Kepolisian yang terlibat, termasuk Kapolsek Kalibaru, Kapolres Banyuwangi serta para pejabat Kepolisian pengerah pasukan BRIMOB tersebut sebagai pihak-pihak yang melakukan pelanggaran HAM berat. Laporan tersebut dialamatkan ke Komnas HAM yang berwenang sebagai penyelidik. Tetapi karena perkara tersebut sudah masuk kategori ‘diketahui umum’ maka Komnas HAM bisa mengambil inisiatif untuk melakukan langkah-langkah projustisia guna membawa persoalan tersebut ke Pengadilan HAM.

Kepolisian sendiri seharusnya juga melakukan tindakan hukum penyidikan berkaitan dengan adanya perusakan hutan lindung oleh PTPN XII di wilayah operasional mereka di PTPN XII UUS Malangsari. Ini juga berkaitan dengan hak atas lingkungan yang baik bagi masyarakat Banyuwangi dan sekitarnya. Dengan pembiaran adanya kejahatan lingkungan hidup tersebut menunjukkan bahwa negara juga melanggar (by ommision) HAM.

Dengan demikian, selain masalah pelanggaran HAM beratnya diajukan ke Pengadilan HAM maka pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur dan Pusat harus mengambil langkah-langkah guna memenuhi, menegakkan dan melindungi HAM warga petani Margorukun Lestari serta warga di sekitar hutan lindung yang dikelola PTPN XII. Hak-hak yang harus dipenuhi diantaranya hak atas lingkungan yang baik, tempat tinggal serta hak-hak ekonomi. Hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah sebagaimana ditentukan pasal 28 I ayat (4) UUD 1945.



KESIMPULAN


  1. Warga petani Margorukun Lestari Desa Kebonrejo, Kecamatan Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi sebenarnya mempunyai kedudukan hak yang sama dengan PTPN XII dalam memperoleh hak atas tanah. Warga petani Margorukun Lestari tersebut seharusnya mempunyai hak prioritas sebab lebih dulu menguasai dan mengelola tanah negara bebas tersebut. Perolehan HGU oleh PTPN XII dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi sebagai itikad tidak baik adalah cacat hukum sehingga warga petani Margorukun Lestari dapat mengajukan gugatan hukum kepada pemerintah dan PTPN XII dalam soal itu agar negara memperlakukan warga secara adil untuk memperoleh hak milik atas tanah dari negara yang wajib memberikannya.


  1. Penyelesaian perselisihan antara warga dengan PTPN XII tersebut upaya-upaya represif berupa pengusiran paksa penduduk dari sebuah wilayah, yang dilakukan oleh PTPN XII, para Polisi yang merupakan kejahatan kemanusiaan, merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM yang berwenang selaku penyelidik kasus pelanggaran HAM dapat secara inisiatif melakukan tindakan projustisia untuk menyelidiki kasus tersebut agar nantinya dapat diadili di Pengadilan HAM. Tindakan pengusiran paksa terhadap komunitas masyarakat yang dilakukan sistematik ataupun dengan akibat meluas merupakan kejahatan kamanusiaan yang diancam pidana penjara minimum 10 tahun dan maksimum 25 tahun, berdasarkan UU No. 26/2000 pasal 7 huruf b jis. pasal 9 huruf d dan pasal 37.


Rabu, 07 Mei 2008

KRONOLOGI PENANGKAPAN 26 ORANG PETANI PENEGAL MARGORUKUN LESTARI DESA KEBONREJO, KECAMATAN KALIBARU, BANYUWANGI

29 April 2008, sekitar jam 14.00 -15.00 wib, serombongan polisi tak berseragam datang ke warga Margo Rukun Lestari (marules). Mereka menangkapi setiap penegal yang ditemui.

Warga Penegal yang ditangkap pada hari itu ± 26 orang, yaitu:

  1. Sugianto (ketua)
  2. Pak Wahid
  3. Pak Samiati
  4. Antok
  5. Pak Surawi
  6. Bu Samiati
  7. Ropi’i
  8. Pak Sunar
  9. Bu Sop
  10. Pak Ketut
  11. Pak Win
  12. Farhan (3th) anak Bu Sop
  13. Pak Ti Cikrak
  14. Bisri
  15. Pak Sop
  16. Pak Hikmah
  17. Pak Yusuf
  18. Pak Imron
  19. Pak Sanusi
  20. Pak Paesa
  21. Pak Siti
  22. Pak Sulhan
  23. Zaini
  24. Pak Atim
  25. Pak Slamet
  26. Pak Karim

Informasi tambahan, bahwa masih ada proses penangkapan oleh pihak kepolisian. Walaupun tanggal 30 april, Komnas HAM melalui surat No: 875/K/PMT-WATUA I/IV/08. yang ditandatangani wakil Ketua KOMNASHAM Ridha Saleh telah meminta Penghentian Penangkapan.
Penegal yang tidak tertangkap tercerai berai. Sebagian besar mereka lari ke hutan tanpa membawa perbekalan.

30 April 2008, 2 (dua) orang penegal (Agus dan Musleh) mengadu ke Komnas HAM. Pengaduan berkenaan dengan penangkapan terhadap ± 28 penegal Margo Rukun Lestari (marules) yang ditangkap pada tanggal 29 April 2008. Saat itu juga, Komnas HAM melalui wakil ketuanya (M. Ridha Shaleh) mengirimkan surat kepada Kapolres Banyuwangi, berisi penghentian tindakan penangkapan kepada para petani. Dalam surat ini, Komnas HAM mendesak Kapolres Banyuwangi untuk menghentikan penangkapan dan mengeluarkan 28 orang penegal yang ditangkap sebelumnya. Komnas HAM juga mengingatkan bahwa sengketa agraria antara Penegal Margorukun Lestari dengan PTPN XII UUS Malangsari masih dalam tahap mediasi.

1 Mei 2008, sebanyak 2 truk polisi bersama keamanan kebun (PTPN XII UUS Malangsari) datang kembali ke Margo Rukun Lestari (marules). Mereka mengintimidasi penegal yang masih bertahan di Margorukun Lestari. Penegal diberi batas waktu hingga hari senin tanggal 05 mei 2008 untuk meninggalkan tanah yang dikelola penegal.

4 Mei 2008, serombongan keamanan dan polisi masih terus mengintimidasi penegal (ibu-ibu dan anak-anak). Mereka juga mendobrak rumah-rumah penegal. Penegal yang dicari adalah: Pak Mat Rais, pak Slamet, dan Pak Yusuf Bahri

Sampai dengan 6 Mei 2008 ini masyarakat petani penegal tersebut telah diblokir aksesnya dari jalan keluar melaui PTPN XII UUS Malangsari, lalu warga penegal memutar melalui Glenmor hendak mengungsi di gedung DPRD Banyuwangi. Tetapi tampaknya mereka dihadang oleh petugas Polres Banyuwangi.(*)

Senin, 05 Mei 2008

LAPORAN INVESTIGASI KASUS PETANI MARGORUKUN LESTARI (MARULES)

28 Pebruari 2008 :

Pukul 04.30 Rumah Pak Marsamo dibakar. Letak rumah berada di kelompok 1, samping Musholla. Dalam kejadian itu rumah sebelah kirinya sebagian dinding rumahnya juga ikut terbakar. Padahal Musholla di samping rumah tersebut Pukul 04.00 masih digunakan untuk tempat jaga sekitar 8 orang Marules.


29 Pebruari 2008 :

Sururi, Gangsar, Amin, dan Embah bertemu dengan Kyai Hasan Afdillah yang beralamat di pasar Glenmore. Dalam pertemuan tersebut petani Marules meminta dukungan, perlindungan dari kemungkinan – kemungkinan serangan yang dilakukan oleh buruh kebun dan juga izin lebih dulu untuk menemui PCNU Banyuwangi. Hasil dari pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa PCNU bukanlah lembaga Politik tetapi merupakan ormas Islam yang tidak mengurusi masalah politik tanah.


1 Maret 2008:

Relawan pendamping warga Marules (Yoyok, Amin, dan Mbah) bertemu dengan ketua PCNU Banyuwangi Kyai Maskur Ali untuk meminta dukungan agar PCNU sebagai Ormas terbesar di Banyuwangi untuk mengeluarkan pernyataan secara politik untuk menghentikan segala bentuk intimidasi, kekerasan dan penangkapan yang dilakukan oleh PTPN XII Malangsari. Dalam kesempatan tersebut Kyai menghubungi Ketua DPRD Banyuwangi yaitu Wahyudi namun sampai beberapa waktu di hubungi HP-nya tidak diangkat. Kemudian Kyai menghubungi Samsul dari Komisi A DPRD Banyuwangi. Dalam percakapan tersebut Samsul menjelaskan akan berencana ke Marules besok harinya tepatnya tanggal 2 Maret 2008 bersama “ Tim “. Pada pertemuan tersebut Kyai mengatakan bahwa Kyai bersedia membantu asal mendapat Fatwa dari Kyai Hasan Afdillah selaku Dewan Penasihat PCNU Banyuwangi.

Dalam perjalanan naik ke atas di tengah jalan Yoyok, Amin dan Mbah dihubungi salah satu Dewan Pimpinan Marules agar jangan naik dulu. Hal ini dikarenakan bila kami naik pasti akan dihadang oleh 2 anggota polisi dan puluhan keamanan yang sedang membersihkan jalan di kelompok 1, guna mencegah konflik.


2 Maret 2008:

Samsul (dari Komisi A DPRD Banyuwangi) datang ke lokasi atas desakan Marules. Saat bertemu warga Marules di kelompok 1 Samsul mengatakan hanya untuk melihat – lihat pembangunan jalan lintas. Dalam percakapan di kantor Samsul berjanji akan menjadi orang paling depan untuk membantu Marules asalkan Marules benar. Dalam kunjungan itu Samsul datang secara individu ditemani dengan Iskhak yang mengaku dari LSM Gempa, bukan sebagai Tim DPRD Banyuwangi.


3 Maret 2008:

Warga Marules bernama Nanang salah satu dari 3 saksi (selain Muslih dan Agus) yang akan memberikan kesaksiaannya terhadap perkara Pak Supardi pada kasus Marules ditangkap di Depan PN Banyuwangi oleh sekitar 8 orang dari Reserse Polres Banyuwangi beserta surat panggilan dengan alasan Nanang merupakan Daftar Pencarian Orang atas dugaan Penyerobotan Lahan.

Nanang ditangkap saat akan meluncur ke DPRD Banyuwangi beserta Agus. Hal itu dilakukan karena ternyata pada persidangan Pak Supar yang digunakan sebagai saksi hanyalah Muslih.


4 Maret 2008:

7 warga Marules mendatangi Ketua PCNU Banyuwangi untuk meminta dukungan dan bantuan penyelesaian agraria kasus Marules. Kyai menganjurkan untuk bertemu Haji Hasan di Kalibaru. Herman dan Janarko dua anggota Polres Banyuwangi mengantar surat panggilan dan penahanan terhadap Nanang.


5 Maret 2008:

9 warga Marules atas saran Kyai Maskhur Ali meluncur ke Haji Hasan dalam pertemuan itu NU ternyata sudah membentuk Tim antara lain anggotanya Asmadi (LPBHNU) dan Misnadi (LPBHNU) dengan nomor kontak 08124910596 atau 420770.


9 April 2008:

Pak Poniri, salah satu penegal Marules meninggal di LP Banyuwangi. (sebelumnya penegal bernama MISLADI meninggal dunia tanggal 18 Juni 2007 di LP Banyuwangi).


Selama bulan April 2008:

Intimidasi untuk mengusir warga Marules tetap terjadi, namun warga Marules tetap bertahan.


29 April - 1 Mei 2008:

28 warga tani Marules ditangkap polisi Polres Banyuwangi dibantu petugas keamanan PTPN XII di rumah-rumah mereka. Diantaranya seorang ibu dengan anaknya berumur 3 tahun.


1-5 Mei 2008:

Rumah-rumah warga tani Marules dijarah dan dirusak para petugas keamanan PTPN XII, para petani tersebar di beberapa titik, dan jalan masuk serta akses makanan ke warga Marules ditutup.

--- bersambung ---

Catatan komentar:

Itulah penyelesaian kasus sengketa agraria antara warga Marules dengan PTPN XII yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan yang dibiarkan pemerintah daerah kabupaten Banyuwangi, pemerintah provinsi Jawa Timur dan pemerintah Pusat. Katanya jaman reformasi ini mau lebih demokratis, tapi hanya pemilunya saja yang ramai dihiasi puluhan parpol dan menghabiskan anggaran negara. Rakyat kecil tetap saja disiksa.

Lembaga-lembaga atau organisasi keagamaan serta kampus di sekitarnya juga tidak terlalu responsif. Ada banyak rakyat di sini yang telah kehilangan negara, seperti halnya para korban lumpur Lapindo.